KOMPAS.com - Ludruk merupakan pertunjukan khas yang berasal dari wilayah Jawa Timur. Ludruk termasuk drama Jawa tradisional. Biasanya ludruk banyak berkembang di Jawa Timur. Maka, penggunaan ragam bahasa dialek Jawa Timuran sangat kental.
Pemain ludruk telah menguasai dialek secara fasih. Mereka juga menguasai tarian dan tembang. Tampaknya, ludruk ini merupakan pengembangan seni kentrung. Hanya saja ludruk cenderung tidak menggunakan terbangan.
Mari, Kita mengenal ludruk lebih dalam!
Ludruk sebagai media kritik sosial
Pada zaman Jepang kesenian ludruk berfungsi sebagai media kritik terhadap pemerintah. Ini tampak terutama dalam ludruk Cak Durasim yang terkenal dengan parikan "pagupon omahe dara, melok nippon tambah sengsara".
Dengan parikan serupa itu Cak Durasim ternyata berhasil membangkitkan rasa tidak senang rakyat terhadap Jepang.
Cak Durasim akhirnya ditangkap dan meninggal dalam tahanan Jepang. Hal ini menandai bahwa ada pengaruh jelas antara karya sastra dengan masyarakatnya. Nilai sastra tampak dapat menggerakkan masyarakat.
Nilai kritik sosial pada ludruk memang sulit dibantah. Pada zaman Republik Indonesia, seni ludruk masih hidup dan berkembang sebagai kesenian rakyat tradisional yang berbentuk teater.
Hanya saja, kalau pada masa sebelumnya kesenian ini berfungsi sebagai penyalur kritik sosial, pada masa yang kemudian fungsinya bergeser menjadi penyampai kebijaksanaan pemerintah. Selain itu, ludruk juga digunakan sebagai media promosi barang dagangan tertentu oleh sponsor tertentu.
Ludruk termasuk jenis teater tradisional Jawa yang lahir dan berkembang di tengah-tengah rakyat dan bersumber pada spontanitas kehidupan rakyat. Ludruk disampaikan dengan penampilan dan bahasa yang mudah dicerna masyarakat.
Selain berfungsi sebagai hiburan, seni pertunjukan ini juga berfungsi sebagai pengungkapan suasana kehidupan masyarakat pendukungnya. Di samping itu, kesenian ini juga sering dimanfaatkan sebagai penyaluran kritik sosial.
Hingga sekarang belum didapat kepastian mengenai tempat asal kelahiran ludruk. Usaha untuk menentukannya biasanya selalu terbentur pada dua pendapat yang berbeda.
Pendapat pertama mengatakan bahwa kesenian ini berasal dari Surabaya, sedang pendapat yang kedua menganggap bahwa ludruk berasal dari Jombang. Kedua pendapat ini sama-sama kuat argumentasinya.
Sejarah kesenian ludruk
Menurut penuturan beberapa narasumber dari kalangan seniman ludruk bernama "Ngesti Pandowo" di bawah pimpinan Sastrosabdo, embrio kesenian ludruk pertama kali muncul sekitar tahun 1890.
Pemulanya adalah Gangsar, seorang tokoh yang berasal dari desa Pandan, Jombang. Gangsar pertama kali mencetuskan kesenian ini dalam bentuk ngamen dan joged tari. la mengembara dari rumah ke rumah. Dalam pengembaraannya ini, Gangsar kemudian melihat seorang lelaki sedang menggendong anaknya yang sedang menangis.
Lelaki itu berpakaian perempuan, dan dianggap Gangsar lucu dan menarik, sehingga dia terdorong menanyakan alasan pemakaian baju perempuan tersebut.
Menurut si lelaki, ia memakai baju perempuan tersebut untuk mengelabui anaknya, untuk membuat anaknya merasa bahwa dia digendong oleh ibunya. Menurut narasumber ini, peristiwa itulah yang menjadi asal munculnya laki-laki yang berperan sebagai wanita dalam kesenian ludruk.
Narasumber lain menuturkan bahwa hal terakhir bermula dari pengembaraan seorang pengamen yang bernama Alim. Seperti halnya Gangsar, dan pengembaraannya, Alim berjumpa dengan seorang lelaki yang sedang menghibur anaknya. Laki-laki itu mengenakan pakaian wanita.
Diceriterakan bahwa Alim berasal dari daerah Kriyan yang kemudian mengembara sampai Jombang dan Surabaya.
Dalam pengembaraannya Alim disertai oleh beberapa orang temannya. Mereka bersama-sama memperkenalkan bentuk seni ngamen dan joget, kemudian kelompok Alim ini mengembangkan bentuk tersebut menjadi bentuk seni yang berisi parikan dan dialog. Oleh karena tarian yang dibawakan selalu menghentak (gedruk-gedruk) kaki, seni itu kemudian diberi nama "ludruk”.
Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda, ludruk dikenal sebagai media penyalur kritik sosial kepada pemerintah.
Kritik sosial ini ditampilkan melalui parikan (pantun), yang berisi sindiran terselubung, yang disebut besutan. Oleh karena itu ludruk yang mengandung kritikan disebut ludruk besutan.
Dalam ludruk besutan yang disamarkan tidak hanya kritik sosial, tetapi juga nama pemain seperti Tumino, Ruswini, Singogambar dan sebagainya.
Permaian ludruk besutan tersusun dari tari (menari bebas), dagelan (lawak), dan besutan. Dalam ludruk ini belum dikenal cerita yang utuh. Yang ada hanya dia yang dikembangkan secara spontan.
Baca juga: Tari Tambun dan Bungai, Kesenian Kalimantan Tengah
Referensi:
- Sutarto, A. (2009). Reog dan Ludruk: Dua Pusaka Budaya dari Jawa Timur yang Masih Bertahan. Makalah untuk Jelajah Budaya: Pengenalan Budaya Lokal Sebagai Wahana Peningkatan Pemahaman Keanekaragaman Budaya, Javanologi, Yogyakarta.
- Labania, L. (2019). Kebijakan Kesenian Guna Melestarikan Seni Ludruk Di Jawa Timur. Jurnal Penelitian Humaniora, 24(2).