KOMPAS.com - Versi Ramayana cukup berbeda dari pewayangan, terutama versi Jawa. Dalam versi ini, Sinta disebut dengan gelar lengkap Rakyan Wara Sinta. Ia unik karena sering disebut sebagai putri kandung Rahwana.
Di versi Jawa, Rahwana jatuh cinta pada seorang pendeta bernama Wedawati. Namun, Wedawati menolak cintanya dan memilih untuk bunuh diri. Oleh karena itu, Rahwana bertekad untuk mencari dan menikahi reinkarnasi Wedawati.
Versi aslinya hampir sama dengan versi Jawa, dengan perkawinan Sinta dengan Sri Rama dan penculikannya hingga kematian Rahwana dalam perang besar. Namun versi Jawa mengatakan bahwa Rama tidak lagi menjadi raja di Ayodhya dan membangun kerajaan baru yang disebut Pancawati setelah perang.
Perkawinan Sinta dengan Rama melahirkan dua orang putra yaitu Ramabatlawa dan Ramakusiya. Putra pertama, Ramabatlawa, menurunkan Basudewa, salah satu raja Kerajaan Mandura, dan putra kedua, Ramakusiya, menurunkan Kresna.
Hubungan Rama dan Sinta dalam versi Jawa disebut sebagai reinkarnasi Rama, dan adiknya Subadra disebut sebagai reinkarnasi Sinta. Dengan demikian, hubungan mereka yang pertama adalah suami-istri berubah menjadi kakak dan adik.
Baca juga: Apa Manfaat Wayang bagi Pengembangan Warisan Budaya?
Mari, Kita mengenal lebih dalam tokoh Dewi Sinta!
Arti nama Dewi Sinta
Kata "Sinta" dalam bahasa Sanskerta bermakna "kerut", dan pada zaman kuno India, istilah puitis ini menggambarkan rasa kesuburan.
Dewi Sinta, yang disebutkan dalam Rigweda sebagai dewi bumi yang memberkati ladang dengan hasil panen yang baik, mungkin berasal dari nama Sinta dalam Ramayana.
Asal usul Dewi Sinta
Menurut Ramayana, Sinta bukanlah putri kandung Janaka. Dalam suatu waktu, Kerajaan Wideha mengalami kekurangan makanan. Sebagai raja, Janaka membajak tanahnya untuk melakukan upacara atau yadnya di suatu wilayah ladang.
Ternyata bayi perempuan dimasukkan ke dalam peti oleh mata bajak Janaka. Dia mengambil bayi itu sebagai anak angkat dan menganggapnya sebagai titipan dari Pertiwi, dewi kesuburan dan bumi.
Permaisuri Janaka dan Sunayana mengasuh Sinta di istana Mithila, ibu kota Wideha. Janaka mengadakan sayembara untuk menemukan pasangan yang tepat untuk putrinya setelah dewasa.
Sri Rama, seorang pangeran dari Kerajaan Kosala, memenangkan sayembara untuk membentangkan busur pusaka maha berat yang diberikan oleh Dewa Siwa. Setelah menikah, Sinta pun tinggal di Ayodhya, ibu kota Kosala, bersama suaminya.
Penculikan Dewi Sinta oleh Rahwana
Raja bangsa Rakshasa di Kerajaan Alengka adalah Rahwana. Rama membantai pasukan yang bertugas di Janastana karena mereka suka mengganggu kaum brahmana. Rahwana pun melakukan pembalasan bersama Marica, pembantunya.
Mula-mula, Marica menyamar menjadi seekor kijang berbulu keemasan di depan pondok Rama. Sinta tertarik dengan kijang itu dan ingin memilikinya. Rama akhirnya mengejar dan berusaha menangkapnya karena dia terus didesak.
Suara jeritan Rama tiba-tiba terdengar di kejauhan. Kemudian Sinta menyuruh Laksmana untuk menyusul suaminya itu.
Namun, Laksmana yakin kijang itu adalah gambar raksasa dan meniru suara jeritan Rama. Sinta marah mendengar jawaban Laksmana dan menuduh adik iparnya itu berkhianat dan memiliki niat buruk.
Tuduhan Sinta membuat Laksmana tersinggung. Sebelum berangkat, ia membuat pagar gaib dari garis pelindung yang mengelilingi pondok tempat Sinta menunggu. Setelah Laksmana pergi, seorang brahmana tua yang kehausan muncul dan meminta minum. Namun, pagar gaib Laksmana menghalanginya untuk memasuki pondok.
Dengan rasa belas kasihan, Sinta mengulurkan tangannya untuk memberi minum sang brahmana yang sudah tua. Tiba-tiba, Sinta kabur ketika brahmana itu menarik lengannya. Brahma tersebut adalah representasi dari Rahwana. Ia menggendong tubuh Sinta dan melepaskannya ke langit.
Seekor burung bernama Jatayu, yang bersahabat dengan ayah Rama, Dasarata, mendengar suara tangisan Sinta. Jatayu menyerang Rahwana tetapi justru kalah dan terluka parah. Meskipun Sinta masih dibawa kabur oleh Rahwana, ia sempat menjatuhkan perhiasannya di tanah sebagai tanda kepada Rama bahwa ia diculik oleh Rahwana.
Baca juga: Upaya Melestarikan Wayang sebagai Aset Negara Indonesia
Referensi:
- Ariani, I. (2016). Feminisme dalam pergelaran wayang kulit purwa tokoh dewi shinta, dewi kunti, dewi srikandi. Jurnal Demo, 26(2), 272-290.
- Saputri, K. N. (2019). Figur Wayang Kulit Dewi Sinta dalam Cerita Ramayana (Doctoral dissertation, Institut Seni Indonesia Yogyakarta).