KOMPAS.com - Hari Raya Nyepi adalah perayaan Tahun Baru Saka yang dirayakan oleh umat Hindu, termasuk di Indonesia.
Pada tahun 2025, Nyepi akan jatuh pada hari Sabtu, 29 Maret. Perayaan ini memiliki sejarah panjang dan makna mendalam yang mencerminkan filosofi kehidupan dan spiritualitas dalam ajaran Hindu.
Sejarah Nyepi
Hari Raya Nyepi berakar dari zaman India kuno, ketika konflik sosial dan fisik sering terjadi di antara berbagai suku.
Pada masa itu, suku-suku seperti Saka (Scythia), Yueh-ci (Tiongkok), Yavana (Yunani), Malava (India), dan Pahlava (Parthia) terlibat dalam perselisihan berkepanjangan akibat perebutan wilayah subur.
Wilayah subur menjadi aset berharga karena mampu menopang kehidupan jangka panjang.
Meskipun konflik berlangsung lama, sesekali terjadi masa damai atau gencatan senjata.
Dalam periode ini, akulturasi dan sinkretisme budaya berkembang, yang akhirnya mengarah pada perdamaian.
Baca juga: Kerajaan Bercorak Hindu Tertua di Indonesia, Ada di Mana?
Perdamaian tercapai setelah bangsa Saka menaklukkan suku-suku lain dan menduduki berbagai wilayah.
Dengan berakhirnya peperangan, bangsa Saka mulai mengalihkan fokusnya ke bidang lain di luar perebutan wilayah.
Bangsa Saka menetapkan awal tahun Saka pada 78 Masehi, bertepatan dengan penobatan Chashtana sebagai raja.
Kalender Saka menggunakan bulan Caitra sebagai bulan pertamanya, yang bertepatan dengan periode Maret hingga April dalam kalender Masehi.
Perkembangan sistem penanggalan ini semakin meluas setelah Raja Kaniskha I (127-150 M) dari Dinasti Kushan mengadopsinya.
Ia tidak hanya menggunakan kalender Saka sebagai sistem penanggalan resmi kerajaannya, tetapi juga berperan dalam memperkenalkannya ke wilayah yang lebih luas.
Tahun baru Saka kemudian diperingati dengan cara bertapa, brata, dan samadhi.
Tradisi ini berkembang di Indonesia dan dikenal sebagai Hari Raya Nyepi, di mana umat Hindu menjalankan berbagai ritual sebagai bentuk perenungan dan penyucian diri.
Baca juga: Mengenal Sistem Kasta dalam Hindu
Makna keheningan dan refleksi diri
Kata "Nyepi" sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti "sepi" atau "hening."
Berbeda dengan perayaan tahun baru di budaya lain yang identik dengan pesta dan kemeriahan, umat Hindu merayakan Tahun Baru Saka dengan hening, menahan diri dari berbagai aktivitas duniawi.
Keheningan ini bukan sekadar simbol, melainkan sebuah refleksi spiritual untuk membersihkan diri dari pengaruh buruk, mengendalikan hawa nafsu, dan mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widhi Wasa.
Selama 24 jam, umat Hindu di Bali menjalankan Catur Brata Penyepian, yang meliputi tidak menyalakan api atau listrik, tidak bekerja, tidak bepergian, serta tidak mencari hiburan.
Keempat hal ini bertujuan memberikan waktu bagi diri sendiri untuk merenung, mengevaluasi kehidupan, dan memulai tahun yang baru dengan hati yang bersih.
Bali yang biasanya ramai dengan wisatawan dan aktivitas budaya, berubah menjadi pulau yang benar-benar sunyi.
Jalanan kosong, tidak ada suara kendaraan, dan bahkan bandara pun ditutup. Hanya alam yang berbicara dalam senyapnya angin dan suara deburan ombak.
Keheningan ini tidak hanya memberikan ketenangan bagi manusia, tetapi juga bagi alam yang sejenak bisa beristirahat dari hiruk-pikuk peradaban.
Baca juga: Perkembangan Agama Hindu-Buddha di Nusantara
Nyepi: lebih dari sekedar tradisi
Hari Raya Nyepi bukan hanya tentang ritual keagamaan, tetapi juga tentang makna kehidupan itu sendiri.
Dalam keheningan, manusia diajak untuk melihat lebih dalam ke dalam dirinya, memahami siapa dirinya, dan apa tujuan hidupnya.
Keheningan ini menjadi ruang untuk memperbaiki diri, menyelaraskan hubungan dengan alam, dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Lebih jauh dari itu, Nyepi juga mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.
Dengan berhentinya aktivitas manusia selama satu hari penuh, Bumi seolah diberi kesempatan untuk bernapas kembali.
Tidak heran jika banyak orang, termasuk yang bukan beragama Hindu, mulai melihat esensi dari Nyepi sebagai cara untuk menemukan ketenangan di tengah dunia yang semakin bising.
Pada akhirnya, Nyepi bukan hanya milik umat Hindu, tetapi juga menjadi pengingat bagi semua orang bahwa dalam keheningan, ada kebijaksanaan yang dapat ditemukan.
Bahwa dalam diam, ada kesempatan untuk memahami hidup dengan cara yang lebih dalam dan bermakna.
Baca juga: 5 Teori Masuknya Kebudayaan Hindu-Buddha ke Indonesia
Referensi:
- S. Pendit, Nyoman. (2001). Nyepi: Kebangkitan, Toleransi, dan Kerukunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Agus Siswadi, Gede. (2020). Beragama Tanpa Rasa Takut: Upaya Menjawab Tantangan Umat Hindu Masa Kini. Nilacakra: Bali
- Fauziyah, Siti. (2024). Sejarah Agama & Kepercayaan di Dunia. Anak Hebat Indonesia: Yogyakarta