KOMPAS.com - Di setiap gedung pemerintahan, di halaman depan sekolah, hingga di sampul buku pelajaran, kita sering melihat burung garuda dengan perisai di dadanya dan pita yang bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika, sebagai lambang negara.
Itulah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang menjadi lambang negara.
Namun, tahukah kamu bahwa lambang negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika tertuang dalam Pasal 36A Undang-Undang Dasar 1945? Yuk kita bahas.
Baca juga: Lirik Garuda Pancasila dan Maknanya
Landasan hukum Garuda Pancasila
Dalam Perubahan Kedua UUD 1945, Indonesia secara resmi menetapkan landasan hukum bagi lambang negara dalam Pasal 36A, yang berbunyi:
"Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika."
Sebelum amandemen UUD 1945, lambang negara belum dicantumkan secara eksplisit dalam konstitusi.
Namun, keberadaannya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951, yang kemudian diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
Undang-undang ini menegaskan bahwa Garuda Pancasila adalah lambang resmi negara Indonesia dan harus dihormati serta digunakan dengan penuh kehormatan dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baca juga: Sultan Hamid II, Perancang Lambang Garuda Pancasila
Sejarah pembuatan lambang Garuda Pancasila
Sejarah panjang lambang negara Indonesia dimulai sejak tahun 1949, ketika pemerintah Indonesia merancang simbol nasional yang mencerminkan nilai-nilai dasar bangsa.
Tim perancang yang diketuai oleh Sultan Hamid II dari Pontianak akhirnya memilih desain burung Garuda sebagai lambang utama, dengan menambahkan perisai yang berisi lima sila Pancasila.
Lambang ini pertama kali diresmikan sebagai lambang negara pada 11 Februari 1950 oleh Presiden Soekarno.
Filosofi di balik Garuda Pancasila mencerminkan kekuatan, keberanian, dan keabadian bangsa Indonesia dalam menghadapi berbagai tantangan.
Baca juga: Jelaskan Alasannya Mengapa Garuda Menjadi Lambang Negara Kita?
Makna Garuda Pancasila dan semboyan Bhineka Tunggal Ika
Burung Garuda yang digunakan dalam lambang negara bukan burung biasa. Dalam mitologi Hindu dan Buddha, Garuda adalah kendaraan Dewa Wisnu yang melambangkan kebijaksanaan dan keberanian.
Setiap elemen dalam Garuda Pancasila memiliki makna mendalam:
Jumlah buluJumlah bulu pada Garuda melambangkan tanggal kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945):
- 17 helai bulu di setiap sayap.
- 8 helai bulu di ekor.
- 19 helai bulu di bawah perisai.
- 45 helai bulu di leher.
Perisai di dada Garuda mewakili Pancasila, dasar negara Indonesia:
- Bintang (Ketuhanan yang Maha Esa)
- Rantai (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab)
- Pohon Beringin (Persatuan Indonesia)
- Kepala Banteng (Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan)
- Padi dan Kapas (Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia)
Baca juga: Makna yang Terkandung pada Perisai Garuda Pancasila
Cakar Garuda PancasilaCakar Garuda yang mencengkeram pita bertuliskan "Bhinneka Tunggal Ika" mengajarkan bahwa meskipun Indonesia terdiri dari berbagai suku, agama, dan budaya, kita tetap satu bangsa.
Pita Bhineka Tunggal IkaSemboyan Bhinneka Tunggal Ika sendiri berasal dari kitab Sutasoma, karya Mpu Tantular pada abad ke-14, yang menegaskan pentingnya persatuan dalam keberagaman.
Lambang negara Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya simbol kebanggaan nasional, tetapi juga memiliki landasan hukum yang kuat dalam Pasal 36A UUD 1945.
Setiap elemen dalam lambang ini mencerminkan nilai-nilai Pancasila yang menjadi pedoman bangsa Indonesia dalam menjaga persatuan dan kesatuan.
Melalui sejarah dan maknanya yang mendalam, Garuda Pancasila mengajarkan kita untuk selalu menghormati perbedaan dan tetap bersatu demi Indonesia yang lebih maju.
Baca juga: Kontingen Garuda dalam Misi Pemeliharaan Perdamaian PBB
Referensi:
- UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan
- Rahmawati, Femi Eka. (2019). Meneroka Garuda Pancasila dari Kisah Garudeya: Sebuah Kajian Budaya Visual. Universitas Brawijaya Press : Malang