KOMPAS.com - Saat mendengar istilah seperti skizofrenia atau depresi, mungkin yang terlintas di benakmu adalah terapi psikologis atau obat-obatan seperti antipsikotik dan antidepresan.
Namun, sejarah mencatat ada satu prosedur medis ekstrem yang dulu sempat dipercaya sebagai solusi ampuh untuk gangguan jiwa, yaitu lobotomi.
Lobotomi adalah prosedur bedah otak yang kini telah dilarang karena efek sampingnya yang mengerikan, tetapi pernah dianggap sebagai terobosan besar dalam dunia psikiatri.
Dalam praktiknya, lobotomi melibatkan pemotongan atau penghilangan bagian dari otak, khususnya di area korteks prefrontal, yang diyakini berperan dalam pengendalian emosi dan perilaku.
Bayangkan, bagian otak yang membuatmu bisa merasakan cinta, empati, dan kesedihan dipotong demi ‘menenangkan’ jiwa yang dianggap terganggu.
Baca juga: 7 Tahap Utama Perkembangan Otak Manusia: Proses dan Faktornya
Pengertian lobotomi
Bayangkan suatu masa ketika ilmu kedokteran mencoba menyembuhkan gangguan jiwa bukan dengan terapi atau obat-obatan, melainkan dengan membedah otak manusia. Di sanalah lobotomi lahir, sebuah prosedur medis radikal yang dikenal juga sebagai lobotomi.
Dilansir dari Healthline, prosedur ini merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai psikosurgery, yaitu intervensi bedah yang secara fisik mengubah atau mengangkat bagian otak.
Lobotomi dilakukan untuk meredakan gejala gangguan mental, seperti skizofrenia dan gangguan suasana hati.
Lobotomi berfokus pada bagian otak yang disebut korteks prefrontal, wilayah yang berperan besar dalam pengendalian emosi, pengambilan keputusan, dan perilaku sosial. Untuk mencapai area ini, dokter memiliki dua pendekatan utama.
Baca juga: Bertindak seperti Otak Manusia, Apa Itu? Ini Jawabannya ....
Yang pertama adalah frontal lobotomy, di mana ahli bedah mengebor lubang di kedua sisi tengkorak pasien dan memotong jaringan otak menggunakan alat tajam mirip tusuk es, yang disebut leucotome.
Sementara metode kedua, yang dikenal sebagai transorbital lobotomy, terdengar jauh lebih mengerikan. Alat yang sama dimasukkan melalui rongga mata, menembus lapisan tulang tipis di belakangnya dengan bantuan palu kecil, lalu digunakan untuk merusak jalur saraf di otak.
Metode ini kini tak lagi dipraktikkan di Amerika Serikat dan Eropa, namun jejaknya tetap membekas dalam sejarah sebagai salah satu percobaan medis paling kontroversial terhadap jiwa manusia.
Sejarah mengerikan lobotomi
Dilansir dari PsychCentral, sejarah mengerikan lobotomi dimulai tahun 1935, ketika Egas Moniz, seorang ahli saraf asal Portugal, memperkenalkan prosedur yang ia sebut leucotomy.
Ia terinspirasi dari eksperimen awal milik psikiater Swiss Gottlieb Burckhardt yang mencoba memodifikasi otak pasien untuk “menghentikan” gangguan mental.
Baca juga: Kleptomania, Penyakit Mental yang Membuat Seseorang Suka Mencuri?
Moniz melakukan prosedur ini pertama kali di Lisbon, dengan mengebor tengkorak pasien dan menyuntikkan alkohol ke lobus frontal untuk menghancurkan jaringan saraf.
Hasilnya? Campur aduk. Beberapa pasien terlihat membaik, tapi banyak yang tidak menunjukkan perubahan, bahkan mengalami kekambuhan.
Tapi dunia medis kala itu belum sepenuhnya memahami risiko jangka panjangnya. Pada tahun 1949, Moniz justru dianugerahi Penghargaan Nobel di bidang Fisiologi atau Kedokteran.
Sebuah keputusan kontroversial yang kini sering dikritik sebagai salah satu keputusan paling kelam dalam sejarah Nobel.
Tak lama setelah Moniz memperkenalkan prosedur ini, seorang neurolog Amerika, Walter Jackson Freeman, mengadopsinya dan menamainya "lobotomy".
Bersama rekannya, James Watts, ia melakukan lobotomi pertama di Amerika Serikat pada tahun 1936. Freeman kemudian menciptakan versi yang lebih cepat dan “praktis”, yaitu lobotomi transorbital.
Baca juga: Jenis Penyakit Saraf dan Gejalanya
Transorbital lobotomyDilansir dari Encyclopedia Britannica, lobotomi transorbital adalah versi modifikasi yang sangat terkenal dan menakutkan. Alih-alih membuka tengkorak, Freeman memasukkan alat tajam seperti paku es (leucotome) melalui rongga mata.
Dengan bantuan palu kecil, alat itu menembus tulang tipis yang memisahkan rongga mata dan otak. Kemudian, alat itu digerakkan untuk memutus sambungan antara korteks prefrontal dan talamus.
Prosedur ini bisa selesai hanya dalam waktu kurang dari 10 menit. Tidak ada sayatan, tidak ada bekas luka, dan tak perlu ruang operasi besar.
Freeman bahkan melakukan prosedur ini di kantor, ruang praktik, bahkan ruang kelas, seolah itu hanyalah tindakan medis ringan.
Pasien yang sebelumnya agresif atau gelisah memang terlihat lebih tenang. Tapi sayangnya, banyak dari mereka juga kehilangan kemampuannya untuk merasa, berpikir, atau bertindak seperti manusia utuh.
Baca juga: Pengertian Gangguan Kognitif, Penyebab, Gejala, dan Jenisnya
Risiko lobotomi: efek samping yang jauh lebih buruk dari penyakitnya
Meski awalnya dianggap efektif dan merupakan keajaiban, efek sampingnya kemudian tidak bisa lagi diabaikan.
Dilansir dari Medical News Today, risiko lobotomi mencakup berbagai komplikasi serius seperti:
- Sakit kepala kronis
- Kejang
- Perdarahan dalam tengkorak (hemoragi intrakranial)
- Demensia
- Infeksi otak (abses otak)
- Kematian
Yang lebih tragis lagi, lobotomi tidak menyembuhkan gangguan jiwa. Ia hanya meredam gejalanya dengan cara menghancurkan fungsi otak.
Freeman percaya bahwa psikosis muncul karena terlalu banyak “refleksi diri” yang berulang di otak. Maka, solusinya? Putuskan jalur pikiran tersebut secara literal.
Freeman dan timnya melakukan lebih dari 3.500 prosedur lobotomi hingga akhir 1960-an. Ia bahkan pernah melakukan 25 lobotomi dalam sehari, hingga seorang pasien meninggal akibat prosedurnya.
Baca juga: Faktor Risiko, Diagnosis, dan Pencegahan Kleptomania
Bertahun-tahun setelah era lobotomi berakhir, pandangan kritis terhadap prosedur ini terus bermunculan dari kalangan medis. Salah satunya datang dari Henry Marsh, seorang ahli bedah saraf asal Inggris.
Dalam wawancaranya dengan BBC, Marsh tidak segan menyebut lobotomi sebagai contoh dari ilmu yang buruk dan pengobatan yang buruk.
Menurutnya, prosedur ini mencerminkan betapa minimnya pemahaman medis saat itu terhadap kondisi mental pasien.
Ia menyoroti kurangnya tindak lanjut setelah operasi. Di mana pasien memang terlihat membaik secara fisik: mereka bisa berjalan, bicara, bahkan mengucapkan terima kasih kepada dokter.
Namun, di balik penampilan luar itu, ada kenyataan yang jauh lebih suram. Di mana pasien lobotomi dari luar mungkin tampak normal, tapi secara sosial, mereka telah benar-benar hancur.
Baca juga: Tahukah Kamu Bahwa Otak Tidak Bisa Merasakan Sakit?
Meski banyak ahli yang mulai bersuara, pengaruh Freeman masih kuat hingga antipsikotik dan antidepresan mulai dikembangkan pada pertengahan 1950-an.
Obat-obatan seperti Thorazine dan pengobatan psikoterapi modern mulai menunjukkan hasil yang jauh lebih baik, tanpa merusak otak pasien. Sejak itu, lobotomi perlahan-lahan ditinggalkan dan akhirnya dilarang di sebagian besar dunia Barat.
Sehingga, lobotomi adalah bukti tragis betapa sedikitnya pemahaman kita di masa lalu tentang kompleksitas otak manusia.
Kini, kita belajar dari kesalahan itu. Bahwa bahaya lobotomi jauh lebih besar daripada manfaatnya, dan bahwa kesehatan mental bukanlah masalah yang bisa diatasi dengan tidakan infansif terhadap tubuh.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.