Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Hari Pendidikan Nasional, Mengenang Ki Hajar Dewantara dan Perjuangannya

Baca di App
Lihat Foto
canva.com
Ilustrasi Hari Pendidikan Nasional 2025.
|
Editor: Silmi Nurul Utami

KOMPAS.com - Setiap tahun, masyarakat Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional, atau yang akrab disingkat Hardiknas. Tapi, kapan Hari Pendidikan Nasional 2025?

Sama seperti setiap tahunnya, Hari Pendidikan Nasional 2025 jatuh pada Jumat, 2 Mei 2025. 

Hari Pendidikan Nasional diperingati setiap 2 Mei untuk mengenang kelahiran Ki Hajar Dewantara, pelopor pendidikan nasional.

Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem pendidikan kolonial dan perjuangan membangun pendidikan yang merdeka dan berjiwa kebangsaan.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Untuk lebih memahami sejarah Hari Pendidikan Nasional, yuk kita simak penjelasannya di bawah ini!

Baca juga: Pedoman Hari Pendidikan Nasional 2025: Tema dan Logo Hardiknas 2 Mei

Awal mula lahirnya hari pendidikan nasional

Menurut Suhartono Wiryopranoto, dkk dalam buku "Perjuangan Ki Hajar Dewantara: Dari Politik ke Pendidikan" (2017), peringatan Hari Pendidikan Nasional resmi ditetapkan oleh pemerintah Indonesia pada 16 Desember 1959, lewat Keputusan Presiden No. 316/1959.

Tanggal 2 Mei dipilih sebagai bentuk penghormatan atas hari lahir Ki Hajar Dewantara, yang dilahirkan pada 2 Mei 1889 di kampung Soerjadiningratan, Yogyakarta.

Beliau berasal dari keluarga bangsawan Paku Alaman, namun memilih hidup sederhana dan dekat dengan rakyat.

Setelah sebelumnya aktif dalam dunia politik dan dikenal karena kritik keras terhadap kebijakan kolonial Belanda, ia kemudian memilih jalur pendidikan sebagai medan perjuangan.

Baca juga: Definisi Historiografi Kolonial dan Ciri-cirinya

Perjuangan Ki Hajar Dewantara dari politik ke pendidikan

Sebelum menjadi Bapak Pendidikan Nasional, Suwardi Suryaningrat (nama asli Ki Hajar Dewantara) merupakan politikus yang dikenal karena pernyataannya yang tajam.

Salah satunya dalam artikel "Als Ik Een Nederlander Was" (Seandainya Aku Seorang Belanda). Kritiknya membuat ia diasingkan ke Belanda, namun di sanalah ia belajar lebih dalam tentang pendidikan.

Setelah kembali ke tanah air, pada 3 Juli 1922, ia mendirikan Perguruan Kebangsaan Taman Siswa di Yogyakarta. Inilah titik balik besar: perjuangan melalui pendidikan.

Sekolah ini bertujuan untuk mendidik anak-anak Indonesia agar menjadi pribadi merdeka, berjiwa nasionalis, dan mampu berpikir kritis di tengah penjajahan.

Didirikannya Taman Siswa

Taman Siswa bukanlah sekolah biasa. Ia merupakan bentuk nyata dari pendidikan nasional yang melawan sistem pendidikan kolonial.

Di bawah kepemimpinan Ki Hajar Dewantara, perguruan ini berdiri tanpa bantuan pemerintah kolonial, menolak subsidi, dan berjalan dengan kekuatan sendiri yang dilandasi semangat pengabdian dan kemandirian.

Prinsip-prinsip pendidikannya terangkum dalam semboyan-semboyan abadi seperti:

  • Ing ngarso sung tulodo (di depan memberi teladan)
  • Ing madyo mangun karso (di tengah membangun semangat)
  • Tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan)

Semboyan terakhir bahkan kini digunakan sebagai moto resmi Kementerian Pendidikan, mencerminkan betapa kuatnya pengaruh pemikiran Ki Hajar dalam sistem pendidikan Indonesia.

Menurut Darsiti Soeratman dalam buku berjudul Ki hajar Dewantara (1989), keberadaan Taman Siswa tidak selalu diterima dengan tangan terbuka oleh penguasa kolonial.

Justru sebaliknya, pemerintah Belanda merasa terancam oleh pengaruh pendidikan ini, hingga menerbitkan "Ordonansi Sekolah Liar". Yaitu, aturan yang mengekang sekolah-sekolah non-pemerintah.

Namun Ki Hajar tidak tinggal diam. Ia menggalang solidaritas dari berbagai pihak: tokoh agama, perempuan, organisasi politik, hingga pejuang sosial.

Bersama-sama, mereka melawan ordonansi tersebut demi mempertahankan hak rakyat atas pendidikan yang merdeka.

Baca juga: Definisi Mendidik Menurut Ki Hajar Dewantara 

Pengaruh Taman Siswa hingga ke mancanegara

Keberhasilan Ki Hajar Dewantara tak hanya menggugah bangsa sendiri, tapi juga menarik perhatian dunia. Cendekiawan dan tokoh pendidikan dari Belanda, Inggris, Jepang, Australia, hingga Amerika Serikat datang mempelajari sistem Taman Siswa.

Bahkan Rabindranath Tagore, pujangga besar asal India, menyempatkan diri berkunjung ke Yogyakarta untuk melihat langsung cita-cita dan perjuangan Ki Hajar.

Taman Siswa pun berkembang pesat, membuka cabang di berbagai wilayah seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali, hingga Ambon, menjadikannya simbol pendidikan nasional yang inklusif, bukan hanya untuk masyarakat Jawa.

Baca juga: Sejarah Taman Siswa: Pendirian dan Ajarannya

Sehingga, peringatan Hari Pendidikan Nasional 2025 seharusnya tak hanya dirayakan dengan upacara atau kegiatan formalitas.

Ini adalah saat yang tepat untuk merenungi kembali nilai-nilai perjuangan Ki Hajar Dewantara: bahwa pendidikan adalah alat pembebasan, pemberdayaan, dan jalan menuju bangsa yang bermartabat.

Warisan beliau bukan sekadar bangku sekolah, tapi semangat untuk terus belajar, mengabdi, dan membangun manusia Indonesia seutuhnya.

Hardiknas 2025 adalah undangan bagi kita semua, baik guru, pelajar, orang tua, dan pemimpin untuk menghidupkan kembali semangat pendidikan nasional. Sebab seperti kata Ki Hajar: “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.”

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi