KOMPAS.com - Media sosial belakangan diramaikan dengan video pacu jalur viral, di mana seorang anak kecil tampak menari di ujung perahu panjang yang melaju kencang di sungai, diiringi puluhan pendayung yang mendayung kompak.
Aksi lincah sang penari memikat perhatian netizen dan disebut-sebut punya “aura farming”, istilah populer Gen Z untuk menggambarkan penampilan yang memikat dan penuh pesona.
Tapi tahukah kamu pacu jalur dari mana asalnya?
Pacu Jalur adalah tradisi lomba mendayung perahu panjang khas Kuantan Singingi, Riau, yang sarat nilai budaya. Yuk kita kenali lebih dekat tradisi ini!
Baca juga: 9 Tari Tradisional Riau
Pengertian Pacu Jalur
Menurut Sri Chairani, dkk dalam Unsur-Unsur Magis Tradisi Pacu Jalur dalam Persepsi Masyarakat Kenegerian Kari Kecamatan Kuantan Tengah Kabupaten Kuantan Singingi (2022), Pacu jalur adalah perlombaan mendayung perahu panjang (disebut jalur) yang berasal dari Kuantan Singingi, Provinsi Riau.
Tradisi ini sudah ada sejak awal abad ke-17, saat jalur digunakan sebagai alat transportasi utama di sepanjang Sungai Batang Kuantan.
Namun sejak tahun 1900, jalur mulai dipacukan sebagai bentuk perayaan hari besar Islam seperti Idul Fitri dan Maulid Nabi.
Asal pacu jalur tak bisa dilepaskan dari budaya masyarakat Rantau Kuantan yang hidup berdampingan dengan alam dan sungai.
Baca juga: Sumber Daya Alam di Provinsi Riau
Keunikan Pacu Jalur: panjang perahu dan peran para pendayung
Menurut Cici Maiyuliani dan Emri dalam “Berpacu dalam Pacuan” : Semangat Kebersamaan Anak Pacu Jalur dalam Perlombaan Pacu Jalur (2022), setiap jalur memiliki panjang antara 25 hingga 40 meter, dan bisa ditumpangi oleh 40 sampai 60 pendayung pria dewasa, tergantung ukuran jalur.
Perahu-perahu ini dibuat dari batang kayu utuh, terutama pohon kulim yang terkenal kuat. Jalur dihias cantik, dilengkapi ukiran kepala hewan mitologis seperti naga, harimau, atau ular di bagian haluan.
Dalam satu tim pacu jalur terdapat beberapa peran penting:
- Tukang onjai: menjaga ritme dan memberi aba-aba melalui gerakan menggoyang badan.
- Tukang tari: anak kecil atau remaja yang berdiri di ujung jalur menari mengikuti irama.
- Tukang timbo: bertugas menimba air agar perahu tidak tenggelam.
- Tukang galah: mengarahkan haluan saat mendekati garis akhir.
Penari kecil di ujung perahu inilah yang baru-baru ini mencuri perhatian netizen. Gaya menarinya yang energik membuat istilah “aura farming” bermunculan, ekspresi kekaguman warganet atas daya tarik sang penari Pacu Jalur.
Tidak hanya sebagai penari, tukang tari juga membantu tukang onjai memberi tekanan yang seimbang dibagian haluan jalur.
Baca juga: Mengenal Rumat Adat Riau: Rumah Lontik dan Balai Selaso Jatuh
Sejarah Pacu Jalur
Sejarah pacu jalur mencerminkan perjalanan panjang budaya lokal yang dinamis.
Menurut Hasbullah dalam Pacu Jalur dan Solidaritas Sosial Masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi (Kajian Terhadap Tradisi Maelo) (2015), Pacu Jalur bermula pada awal abad ke-17 sebagai alat transportasi utama masyarakat Rantau Kuantan, khususnya di sepanjang Sungai Kuantan.
Jalur atau perahu panjang digunakan untuk mengangkut hasil bumi seperti pisang dan tebu, serta mengangkut orang hingga 40 orang karena transportasi darat belum berkembang saat itu.
Sekitar tahun 1900, Pacu Jalur mulai dikenal sebagai lomba perahu yang diselenggarakan masyarakat untuk memperingati hari besar Islam, seperti Maulid Nabi dan 1 Muharram. Setelah lomba, biasanya diadakan makan bersama dengan sajian khas lokal.
Pada masa sebelum penjajahan Belanda, penghulu adat memberi hadiah kepada pemenang berupa "marewa" sebagai bentuk penghargaan.
Baca juga: Perahu Jong, Permainan Tradisional asal Riau
Selanjutnya, jalur berevolusi dengan hiasan kepala binatang di haluannya, digunakan tidak hanya untuk lomba, tapi juga sebagai kendaraan kehormatan bagi tokoh adat dan bangsawan. Jalur jenis ini diberi hiasan seperti payung, kain, dan tiang khusus.
Seiring berkembangnya tradisi, dukun atau pawang jalur juga mulai dilibatkan, khususnya sejak era kolonial Belanda sekitar tahun 1903.
Pada masa penjajahan Jepang dan masa agresi militer, tradisi Pacu Jalur sempat terhenti karena kondisi sosial dan ekonomi yang sulit.
Namun, setelah tahun 1950, perlahan tradisi ini kembali dibangkitkan seiring membaiknya kondisi masyarakat dan ekonomi, terutama karena tingginya harga karet alam. Kegiatan Pacu Jalur kembali menjadi bagian penting dari kehidupan budaya masyarakat.
Pacu Jalur pun berkembang menjadi pesta rakyat yang meriah dan diadakan rutin setiap peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia, yakni 17 Agustus.
Tradisi ini tidak hanya menjadi simbol budaya dan kekuatan kolektif masyarakat Kuantan Singingi, tapi juga menarik perhatian wisatawan dari berbagai daerah karena kemeriahan dan keunikannya yang mencerminkan nilai gotong royong serta kecintaan pada warisan leluhur.
Baca juga: Tari Joget Lambak, Tarian Tradisional Kepulauan Riau
Kini, pacu jalur go internasional. Tak hanya diikuti oleh peserta dari berbagai daerah di Indonesia, pacu jalur juga menarik minat tim dari negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, hingga Thailand.
Bahkan, video pacu jalur sering dibagikan oleh kreator luar negeri, membuat dunia bertanya-tanya, “Pacu jalur dari mana sih?” atau “Kok tradisi sekeren ini baru viral sekarang?”
Jawabannya tentu saja: dari Kuantan Singingi, tanah para pelaju sungai, penjaga tradisi, dan pemilik budaya yang patut dilestarikan dan dibanggakan.
Lebih dari sekadar perlombaan, pacu jalur adalah simbol jati diri, kerja sama, dan cinta terhadap warisan budaya. Tak heran jika generasi muda sekarang mulai mengangkatnya ke panggung digital global.
Pacu Jalur viral adalah bukti bahwa budaya Indonesia tak hanya kaya, tapi juga punya daya saing dan pesona yang menembus batas zaman.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.