KOMPAS.com - Tradisi Pacu Jalur berasal dari Kuantan Singingi, Riau, kembali menjadi sorotan publik setelah video seorang anak menari di ujung perahu viral di media sosial.
Aksi penari di ujung perahu disebut-sebut memiliki "aura farming", istilah populer Gen Z untuk penampilan yang memikat perhatian.
Namun, di balik viral tersebut, Pacu Jalur memiliki sejarah panjang dan nilai budaya yang tinggi.
Tradisi ini bukan sekadar perlombaan perahu, tetapi juga simbol kerja sama, kekompakan, dan kecintaan masyarakat Riau terdahap warisan leluhur.
Kini, Pacu Jalur bahkan mulai dikenal hingga Go Internasional.
Baca juga: Pacu Jalur Mendunia, Jumlah Wisatawan ke Kuansing Riau Meningkat Tajam
Sejarah Pacu Jalur
Melansir dari jurnal Unsur-Unsur Magis Tradisi Pacu Jalur Dalam Persepsi Masyarakat Kenegerian Kari Kecamatan Kuantan Tengah Kabupaten Kuantan Singingi’ (2022) karya Sri Chairani, Febri Haswan, and Ria Asmeri Jafra, tradisi Pacu Jalur telah ada sejak tahun 1900 di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau.
Daerah yang dikenal sebagai Rantau Kuantan ini menjadi tempat berkembangnya tradisi mendayung perahu panjang yang semula bersifat lokal, hingga akhirnya tumbuh menjadi festival budaya tahunan berskala nasional.
Pada masa itu, jalur atau perahu panjang merupakan alat transportasi air utama masyarakat.
Jalur digunakan untuk mengangkut hasil bumi seperti pisang dan tebu, dan mampu memuat hingga 40 orang.
Karena jalur memiliki ukuran besar, pembuatannya melibatkan banyak orang dan tidak dimiliki secara pribadi, melainkan menjadi milik bersama setiap desa.
Seiring waktu, jalur dipacu dalam rangka memperingati hari besar Islam, seperti Maulid Nabi, Idul Fitri, dan Tahun Baru Hijriah. Usai perlombaan, masyarakat mengadakan makan bersama sebagai bentuk kebersamaan.
Sebelum masa kolonial Belanda, lomba jalur diselenggarakan oleh para pemuka adat. Pemenang akan mendapatkan marewa, yaitu bendera segitiga dari kain warna-warni dengan renda, sebagai bentuk penghargaan. Ukuran marewa disesuaikan dengan posisi juara.
Baca juga: Pacu Jalur Diklaim Malaysia, Dinas Pariwisata: Ini Milik Kuansing Riau!
Transformasi Pacu Jalur PascakolonialPada masa penjajahan Belanda, Pacu Jalur mulai mengalami perubahan bentuk dan fungsi.
Selain digunakan untuk lomba, jalur juga dipakai untuk menyambut tokoh adat atau bangsawan, dihias dengan kain, selendang, dan payung.
Tradisi Pacu Jalur juga sempat dijalankan untuk memperingati hari lahir Ratu Wilhelmina dari Belanda pada bulan November.
Namun, saat masa penjajahan Jepang, kegiatan ini terhenti karena kondisi ekonomi masyarakat yang memburuk.
Baru pada tahun 1950, saat situasi sosial dan ekonomi mulai membaik, Pacu Jalur kembali digelar oleh masyarakat Kuantan Singingi. Kenaikan harga karet (komoditas utama) pada saat itu juga turut mendukung kebangkitan tradisi ini.
Seiring berjalannya waktu, Pacu Jalur mengalami perubahan makna. Dari tradisi yang awalnya berkaitan dengan perayaan keagamaan atau peristiwa kolonial, kini menjadi bagian penting dalam perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia.
Festival ini telah masuk dalam kalender pariwisata nasional dan menjadi simbol kebanggaan serta kekompakan masyarakat Kuantan Singingi.
Baca juga: Tari Anak Pacu Jalur Kuansing Aura Farming Mendunia, Begini Ceritanya
Keunikan Pacu Jalur
Melansir dari Kompas.com, berdasarkan jurnal "Berpacu dalam Pacuan": Semangat Kebersamaan Anak Pacu Jalur dalam Perlombaan Pacu Jalur (2022) karya Cici Maiyuliani, Pacu Jalur menggunakan perahu sepanjang 25 hingga 40 meter, terbuat dari batang pohon utuh, terutama pohon kulim yang kuat.
Perahu ini bisa ditumpangi 40–60 pendayung pria dewasa dan dihias dengan ukiran kepala naga, harimau, atau ular di bagian depan.
Setiap perahu memiliki peran penting yang dibagi ke dalam beberapa posisi, yaitu:
- Tukang onjai: memberi aba-aba dan menjaga ritme gerakan.
- Tukang tari: penari kecil di ujung perahu yang menari mengikuti irama.
- Tukang timbo: menimba air agar jalur tetap ringan.
- Tukang galah: membantu arahkan haluan saat mendekati garis finis.
Baca juga: Bocah Penari Pacu Jalur Viral di TikTok, AC Milan hingga PSG Ikut Tren Aura Farming
Warisan budaya yang harus dilestarikan
Lebih dari sekadar ajang lomba, Pacu Jalur merupakan warisan budaya tak benda yang mencerminkan semangat gotong royong dan identitas masyarakat Riau.
Keberadaan tradisi ini menjadi bukti bahwa budaya lokal Indonesia memiliki kekuatan untuk dikenal dunia.
Melalui keterlibatan generasi muda dan dukungan digital, Pacu Jalur berhasil memperluas pengaruhnya secara global.
Tradisi ini layak dilestarikan dan dibanggakan sebagai bagian dari kekayaan budaya Nusantara yang hidup dan berkembang.
(Sumber: KOMPAS.com/Silmi Nurul Utami)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.