KOMPAS.com - Apakah kamu mengira musim di Bumi hanya sebatas hujan, kemarau, semi, panas, dan dingin? Faktanya, dunia kita kini mulai mengalami musim-musim baru yang tidak pernah tercatat sebelumnya dalam sejarah.
Fenomena ini bukan berasal dari rotasi Bumi atau posisi Matahari, melainkan dari aktivitas manusia sendiri.
Sepanjang sejarah, manusia telah menyelaraskan kehidupannya dengan pergantian musim.
Namun kini, perubahan iklim dan eksploitasi lingkungan secara besar-besaran telah menciptakan ritme alam yang kacau. Musim-musim yang kita kenal tak lagi berjalan teratur.
Menurut studi berjudul Seasons and the Anthropocene (12 Juni 2025), ilmuwan Thomas El Smith dan Felicia HM Liu menyebut bahwa dunia sedang memasuki era baru: Musim-Musim Antroposen.
Ini adalah musim-musim antropogenik, yaitu musim yang diciptakan akibat ulah manusia.
Baca juga: 2 Jenis Musim di Indonesia
Musim baru hasil campur tangan manusia
Salah satu contohnya adalah musim kabut asap yang kini jadi "musim tahunan" di Asia Tenggara.
Selama musim kemarau, pembakaran hutan untuk pembukaan lahan menyebabkan langit tertutup asap pekat hingga berminggu-minggu. Fenomena serupa juga terjadi di Indonesia, salah satunya musim sampah di Bali.
Musim sampah terjadi hampir setiap tahun antara Oktober hingga Maret, saat angin barat membawa sampah plastik dari lautan ke Pantai Kuta, Legian, dan Seminyak.
Menurut Ni Kadek Suryani dan Ni Putu Emilika Budi Lestari dalam jurnal Program Pengabdian Kepada Masyarakat Bersih Pantai Kuta Bali (2022), tumpukan sampah kiriman ini tidak hanya merusak estetika pantai, tapi juga mengancam ekosistem laut dan perekonomian masyarakat lokal yang bergantung pada sektor pariwisata.
Baca juga: Apa Itu Sampah Residu dan Contohnya? Waspadai Dampaknya!
Musim-musim lama yang mulai punah
Ironisnya, di saat musim-musim baru muncul, musim-musim lama justru mulai lenyap. Dilansir dari Live Science, perilaku alami seperti musim kawin burung laut di Inggris utara kini terganggu.
Bahkan, salju yang dulu menjadi andalan olahraga musim dingin pun kian langka, mempersulit pelaksanaan kegiatan seperti ski dan snowboarding.
Selain itu, pola musim kini semakin sinkop, istilah musikal yang menggambarkan ketukan tak terduga karena cuaca ekstrem datang di luar dugaan.
Perubahan ini membuat musim panas lebih panas, musim dingin tak lagi dingin, dan fenomena musiman seperti gugurnya daun atau migrasi hewan menjadi tidak menentu.
Para peneliti bahkan menciptakan istilah baru: musim aritmik. Musim ini ditandai dengan pergeseran ritme yang mengacaukan siklus alam: musim kawin datang lebih awal, musim tanam jadi lebih panjang, dan masa hibernasi menjadi lebih pendek.
Ketidaksinkronan ini berdampak besar pada kehidupan tumbuhan, hewan, bahkan manusia.
Baca juga: Apakah Setiap Manusia Memiliki Siklus Pertumbuhan yang Sama?
Dampak sosial dan ekonomi dari musim baru
Di Thailand utara, misalnya, perubahan musim telah memengaruhi aliran sungai Mekong yang selama ini menjadi sumber kehidupan petani dan nelayan.
Bendungan dan perubahan pola hujan mengganggu pasokan air, mengancam ketahanan pangan, dan memicu kebakaran.
Situasi serupa juga terjadi di Asia Tenggara saat menghadapi musim kabut asap. Meskipun masyarakat mulai memasang filter udara dan mengikuti prakiraan cuaca, pendekatan yang hanya bersifat adaptif ini tidak menyelesaikan akar masalah.
Sebaliknya, bisa jadi memperparah krisis karena gagal mengatasi penyebab utamanya, seperti deforestasi dan pembakaran hutan.
Baca juga: Alasan Dibutuhkannya Bendungan untuk Menghasilkan Listrik
Pergantian musim seharusnya menjadi momen refleksi tentang bagaimana manusia memperlakukan alam.
Kita selama ini terbiasa menghitung waktu dengan jam dan kalender, tetapi lupa bahwa nenek moyang kita mengenal waktu melalui musim, posisi matahari, dan tanda-tanda alam lainnya.
Musim bukan sekadar penanda waktu tapi merupakan penghubung antara manusia dan alam. Saat musim mulai kehilangan keteraturannya, kita perlu mendengarkan kembali ritme alam yang berubah.
Kita bisa belajar dari sistem pengetahuan lokal dan masyarakat adat yang lebih peka terhadap perubahan lingkungan.
Dengan memahami musim-musim baru ini secara kritis, kita bisa merespons perubahan secara lebih adil, bertanggung jawab, dan berkelanjutan.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.