KOMPAS.com – Setiap orang pasti familiar dengan siklus tujuh hari yang kita sebut Seminggu. Dari Senin sampai Minggu, pola itu selalu berulang tanpa pernah berubah.
Tapi pernahkah kamu berpikir, kenapa harus tujuh hari, bukan lima atau sepuluh?
Pertanyaan sederhana ini ternyata menyimpan sejarah panjang yang jarang disadari. Sejak ribuan tahun lalu, peradaban manusia sudah mencoba mengatur waktu berdasarkan hitungan tertentu.
Namun, tidak semua sistem bertahan hingga sekarang. Lalu, bagaimana akhirnya angka tujuh bisa menjadi patokan yang dipakai seluruh dunia?
Baca juga: Apa Itu Gerakan Numerasi Nasional? Pentingnya Numerasi dalam Kehidupan Sehari-hari
Awal mula jumlah hari
Jumlah hari dalam seminggu yang terdiri dari tujuh hari berawal dari kalender Babilonia kuno sekitar abad ke-21 SM.
Mereka memilih angka tujuh karena melihat fase bulan yang berubah signifikan setiap tujuh hari sekali dalam siklus 29,5 hari.
Selain itu, angka tujuh dianggap istimewa karena berkaitan dengan tujuh benda langit yang terlihat tanpa teleskop, yaitu matahari, bulan, dan lima planet.
Konsep ini kemudian diadopsi bangsa Yahudi dan Romawi. Pada tahun 321 M, Kaisar Konstantinus menetapkan sistem tujuh hari sebagai aturan resmi Kekaisaran Romawi, menggantikan siklus delapan hari yang sebelumnya digunakan.
Sejak itu, sistem ini menyebar luas dan bertahan hingga kini, dengan nama-nama hari yang berakar dari tradisi Romawi dan berbagai budaya setelahnya. Hingga sekarang, pola tujuh hari menjadi dasar aktivitas manusia di seluruh dunia.
Baca juga: Mengapa Upacara Bendera Penting dalam Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia?
Jumlah hari saat Revolusi Perancis
Pada masa Revolusi Perancis, sistem penanggalan mengalami perubahan besar dengan diberlakukannya Kalender Revolusi Perancis (Calendrier Républicain Français) yang digunakan antara tahun 1793 hingga 1805. Salah satu perubahan utama adalah penggantian minggu dari 7 hari menjadi 10 hari.
Dalam kalender ini, setiap bulan terdiri atas 30 hari yang dibagi menjadi 3 dekade, dan tiap dekade berisi 10 hari. Nama-nama harinya pun baru, yakni Primidi, Duodi, Tridi, Quartidi, Quintidi, Sextidi, Septidi, Octidi, Nonidi, dan Décadi. Hari terakhir, Décadi dijadikan hari libur.
Perubahan tersebut merupakan bagian dari semangat revolusioner untuk mendesimalkan sistem kehidupan sehari-hari sekaligus menghapus pengaruh gereja dari penentuan waktu.
Namun, kalender ini kurang disukai masyarakat karena hari libur hanya muncul sekali setiap 10 hari, sehingga terasa lebih panjang dibanding sistem 7 hari. Akhirnya, kalender revolusioner ini tidak bertahan lama dan digantikan kembali oleh kalender Masehi pada 1806.
Baca juga: Mengapa Bisa Pusing Setelah Berhenti Minum Kopi? Ini Fakta Medisnya
Asal usul penamaan hari di Indoneisa
Asal usul penamaan hari di Indonesia dipengaruhi oleh dua budaya besar, yakni budaya Arab dan Portugis.
Enam hari dalam seminggu menggunakan nama yang berasal dari bahasa Arab yang masuk bersamaan dengan penyebaran agama Islam di Nusantra, sedangkan satu hari, yaitu Minggu, berasal dari bahasa Portugis.
Berikut penjelasan masing-masing hari:
- Senin dari bahasa Arab Isnain, artinya dua.
- Selasa dari Tsalatsa, artinya tiga.
- Rabu dari Arba‘a, artinya empat.
- Kamis dari Khamsa, artinya lima.
- Jumat dari Jumu‘ah, artinya berkumpul, merujuk pada hari ibadah umat Islam.
- Sabtu dari Sabt, artinya tujuh.
- Minggu dari bahasa Portugis Domingo, yang berarti “hari Tuhan”, berakar dari istilah Latin dies Dominicus atau “hari Tuhan kita.”
Baca juga: Mengapa Berlian Memiliki Warna yang Berbeda-Beda? Ini Penjelasan Ilmiahnya!
Sebelum mengenal kata Minggu, masyarakat Indonesia juga mengenal istilah Ahad untuk menyebut hari pertama dalam pekan. Kata ini berasal dari bahasa Arab yang berarti “satu”.
Namun, sejak masa kolonial Portugis dan Belanda, sebutan Minggu lebih banyak digunakan, terutama karena pengaruh Kristen serta tradisi Eropa yang dibawa ke Nusantara.
Proses standarisasi global pada era modern
Standarisasi global penggunaan sistem tujuh hari dalam seminggu pada era modern merupakan hasil dari proses panjang yang dipengaruhi oleh budaya, agama, hingga kebutuhan praktis masyarakat dunia.
Agama-agama Abrahamik seperti Yahudi, Kristen, dan Islam berperan penting dalam memperkuat konsep pekan tujuh hari karena masing-masing memiliki hari suci atau istimewa yang dijadikan pedoman beribadah.
Seiring berkembangnya perdagangan dan interaksi antarperadaban, kebutuhan akan sistem waktu yang seragam membuat konsep ini semakin diterima luas.
Adopsi kalender Gregorian sejak 1582 oleh berbagai negara juga mendorong pekan tujuh hari menjadi standar internasional.
Di era globalisasi, sistem ini mempermudah koordinasi lintas negara dalam bidang ekonomi, pendidikan, hingga komunikasi, meskipun beberapa komunitas masih mempertahankan kalender tradisional mereka.
Kini, meski dunia digital mulai mengaburkan batasan waktu, pekan tujuh hari tetap menjadi acuan utama dalam ritme kehidupan global.
Baca juga: Mengapa Hati Merasa Tersentuh saat Mendengarkan Musik?
Referensi:
- Goshu, B. S., & Ridwan, M. (2024). Naming the Days: The Influence of Ancient Astronomy on Modern Religious and Cultural Practices. LingLit Journal Scientific Journal for Linguistics and Literature, 5(3), 115-141.
- Putra, N. A. P., & Izzuddin, A. (2024). Asal Usul Penamaan Hari Perspektif Mitologi. ELFALAKY: Jurnal Ilmu Falak, 8(1), 18-35.