Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gulo Puan, Gula Bangsawan dari Pampangan

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS/IRENE SARWINDANINGRUM
Warga menyajikan gulo puan bersama penganan kecil di pusat pembuatan gulo puan di Desa Pulo Layang, Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Jumat (13/2/2015). Makanan olahan tradisional Sumatera Selatan berbahan susu kerbau rawa dan gula yang kini langka ini juga biasa disajikan bersama teh atau kopi.

KONON, di zaman kesultanan, gulo puan merupakan kegemaran para bangsawan Palembang. Diolah dari susu kerbau rawa di pedesaan di kawasan rawa-rawa Sumatera Selatan, makanan pelengkap ini merupakan kekayaan rasa yang hadir dari kekayaan alam Sumatera Selatan. Keberadaannya saat ini terbilang langka.

Puan berarti ’susu’ dalam bahasa daerah Sumatera Selatan (Sumsel). Gulo puan bisa diartikan ’gula susu’ sesuai bahan dasarnya, yaitu gula dan susu yang dibuat menjadi sejenis karamel. Teksturnya lembut sedikit berpasir dengan warna coklat. Gulo puan yang rasanya mirip keju manis itu sangat sedap untuk campuran minum kopi atau olesan roti dan pisang goreng.

Tak mudah memperolehnya. Penganan yang diolah secara tradisional ini hanya dijual oleh beberapa pedagang kaki lima di waktu tertentu saja, yaitu sekitar waktu shalat Jumat di Masjid Agung Kota Palembang. Kadang kala makanan ini juga dijual di Pasar 26 Ilir Palembang pada Sabtu dan Minggu dengan harga sekitar Rp 100.000 per kilogram (kg).

Melacak asalnya, membawa Kompas ke sebuah desa kecil di tengah kawasan rawa di Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, sekitar 100 kilometer (km) dari Kota Palembang. Desa Pulo Layang mungkin satu-satunya desa sentra pembuatan gulo puan untuk dipasarkan ke Palembang. Di desa yang juga pusat peternakan kerbau rawa Pampangan itu ada empat pembuat gulo puan yang semua perempuan dengan produksi 100-150 kg setiap pekan.

”Ada satu lagi pembuat gulo puan di desa tetangga, Desa Pulo Bangsal, tapi hanya satu orang. Dia juga bergabung bersama kami menjual ke Palembang. Selain itu, sepertinya tidak ada lagi,” kata Ba’a (40), salah seorang pembuat gulo puan di Pulo Layang.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gurat kelelahan tampak jelas di wajah Ba’a saat ditemui di rumahnya, Jumat (27/2) malam. Setiap Jumat, ibu dua anak ini menempuh perjalanan Pulo Layang-Palembang selama berjam-jam untuk mengantar gulo puan ke pedagang pengumpul di Jakabaring. Dari rumahnya, ia harus melalui jalan tanah ke desa tetangga untuk naik bus antarkabupaten karena angkutan umum tak mencapai Pulo Layang.

Di puncak musim hujan, perjalanan Ba’a kian berat karena air naik. Berulang kali sebagian jalan tanah menuju desanya terendam sehingga ia menggunakan perahu mesin (ketek). Saat air naik hingga kawasan permukiman, Desa Pulo Layang dengan rumah-rumah panggungnya terlihat seperti mengapung di tengah hamparan rawa.

Setiap hari, kecuali Jumat, Ba’a membuat gulo puan. Rutinitas ini dimulai sejak matahari terbit. Menggunakan ketek, Ba’a bersama suaminya, Komerih (43), menyeberang rawa menuju kandang komunal peternak kerbau rawa Desa Pulo Layang untuk memerah dan membeli susu. Sebagian susu segar itu ia antar ke rumah ibunya yang sudah membuat dan menjual gulo puan sejak lebih dari 20 tahun lalu.

Sesampainya di rumah, susu tersebut ia campur dengan gula, dengan perbandingan 5 liter susu dan 1 kg gula. Campuran tersebut dimasak dengan api kecil sambil diaduk. Setelah sekitar 5 jam, susu mengental hingga mengering dan membentuk gumpalan kecoklatan.

Pembuatan gulo puan ini bergantung pada peternakan kerbau rawa di Pulo Layang. Saat ini terdapat sekitar 500 kerbau rawa di desa itu. Saat musim hujan, produksi susu tinggi, setiap kerbau rawa yang menyusui menghasilkan 1,5-2 liter susu. Kondisi ini didorong oleh melimpahnya pakan saat rawa-rawa kembali tergenang.

Namun, di musim kemarau, hasil susu turun karena rawa menyusut sehingga pakan juga berkurang. Akibatnya, harga gulo puan lebih mahal saat kemarau, yaitu sekitar Rp 70.000 per kg. Saat musim hujan, harga  gulo puan di tingkat perajin Rp 60.000 per kg. Selain mengawetkan susu kerbau, usaha gulo puan juga menambah nilai jual susu kerbau yang hanya  Rp 15.000-Rp 20.000 per liter dalam bentuk segar.

Makanan bangsawan

Peternak kerbau rawa di Desa Rambutan, Kabupaten Banyuasin, Kartubi (52), mengatakan, menurut cerita para orang tua, gulo puan digemari keluarga bangsawan dan para haji di Palembang. Susu kerbau rawa Pampangan juga bisa diolah menjadi minyak samin, sagon puan, dan tape puan.

Minyak samin ini dibuat dengan cara mengendapkan susu sehingga lapisan dadih terpisah. Minyak samin berupa endapan putih dengan aroma dan rasa mirip mentega.

Menurut Kartubi, nama samin berasal dari saman atau sebutan bagi komunitas Arab yang ada di Palembang. ”Disebut begitu karena minyak ini biasanya dipakai untuk memasak nasi samin oleh wong Arab. Nasi samin itu mirip dengan nasi lemak,” ujar Kartubi yang merupakan generasi ketiga peternak kerbau rawa di Rambutan.

Pemerhati kerbau rawa dari Sumsel, Ade Gita Pramadianta, mengatakan, menurut penelitian, susu kerbau rawa di Sumsel mempunyai kandungan protein lebih tinggi daripada susu sapi. Kandungan protein inilah yang membuat susu kerbau rawa dapat diolah menjadi gulo puan dan minyak samin.

Bahkan, menurut penelitian, susu kerbau rawa berpotensi diolah menjadi keju mozzarella yang lazim digunakan untuk campuran piza. ”Sebenarnya pasarnya sangat luas karena Italia sudah sulit menambah produksi susu untuk bahan keju,” katanya.

Namun, saat ini usaha pengolahan susu kerbau rawa memang belum banyak berkembang. Di Rambutan, misalnya, saat ini gulo puan hanya dibuat berdasarkan pesanan. Makanan ini biasanya baru disajikan saat hajatan besar. Padahal, di Desa Rambutan terdapat sekitar 800 kerbau rawa.

Di Pulau Layang, usaha gulo puan juga tak berkembang sejak sekitar 10 tahun terakhir. Jumlah pembuat tak pernah bertambah. Produksi dilakukan dengan alat-alat rumah tangga seadanya. Pemasaran gulo puan masih sangat sederhana, yaitu hanya dibungkus kantong plastik yang tentu kurang menarik.

Ba’a mengaku sulit mengembangkan usaha gulo puan karena berbagai keterbatasan. Ia pernah coba mengembangkan pengemasan gulo puan seperti permen dengan kertas minyak berwarna-warni. Namun, tak berhasil karena kesulitan memperoleh bahan pengeras. Penambahan produksi juga terkendala pada keterbatasan produksi susu.

Apalagi, saat ini populasi kerbau rawa terus menyusut. Sejauh ini belum terlihat sentuhan berarti dari pemerintah untuk pengembangan usaha olahan tradisional susu kerbau tersebut.

Di tengah kondisi tersebut, Ba’a tetap setia dengan perjalanannya mengambil susu setiap pagi ke kandang di tengah rawa atau pulang-pergi Pulo Layang-Palembang mengantar gulo puan. Kesetiaan Ba’a ini menjaga gulo puan dari kepunahan. (Irene Sarwindaningrum)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Sumber: Kompas Cetak
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Editor: I Made Asdhiana
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi