Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jogja, Pemindahan Ibu Kota dan Rencana Besar Jokowi...

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN
Presiden Joko Widodo dengan baju adat suku Sasak NTB menyampaikan pidato kenegaraan dalam rangka HUT Ke-74 Kemerdekaan RI dalam Sidang Bersama DPD-DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8/2019).
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Presiden Jokowi secara resmi menyatakan pemindahan ibu kota ke Kalimantan.

Rencana tersebut disampaikannya dalam pidato kenegaraan dalam Sidang Bersama DPD-DPR pada 16 Agustus 2019.

Menurut Jokowi, rencana pemindahan ibu kota dilakukan demi pemerataan.

Menilik ke belakang, Indonesia pernah mempunyai sejarah melakukan pemindahan ibu kota. Yogyakarta dan Bukittinggi, Sumatera Barat menjadi salah satu wilayah yang pernah menjadi ibu kota.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah mencatat setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 1945, pada tahun berikutnya terjadi serangan agresi militer oleh Belanda.

Akhir Oktober 1945, Inggris sebagai tentara sekutu dan Nederlandsch Indië Civiele Administratie (NICA) datang ke Indonesia dengan maksud melucuti senjata di Jepang.

Berdasarkan pemberitaan Kompas.com (10/11/2018), alasan kedatangan sekutu karena adanya kesepakatan Mountbatten antara Amerika dan Inggris.

Inggris pada saat itu beranggapan bahwa wilayah Eropa masih berhak atas jajahannya yang pernah mereka duduki terutama dari jajahan Jerman, Jepang, dan Italia yang berperang pada saat itu.

Baca juga: 5 Pernyataan soal Pemindahan Ibu Kota dalam Sidang di MPR, DPR, dan DPD

Inggris menganggap saat itu Indonesia pernah masuk ke dalam jajahan Belanda. Sehingga Inggris merasa mempunyai hak untuk menduduki Indonesia kembali.

Pemindahan Ibu Kota ke Yogyakarta

Berdasarkan pemberitaan Kompas.com (17/8/2017), pelucutan senjata mengakibatkan kondisi di beberapa wilayah di Jakarta tidak stabil yang berakibat pada pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta.

Pemerintah Republik Indonesia, termasuk di dalamnya Bung Karno, Bung Hatta beserta seluruh kabinet pun mengungsi ke Yogyakarta.

Namun ternyata gelombang pengungsi juga berasal dari orang-orang yang datang dari berbagai wilayah. Mereka yang merasa terancam keselamatannya, memilih mengungsi ke Yogyakarta yang keamanannya relatif stabil dibandingkan wilayah lain.

Akibatnya, jumlah penduduk yang ada di Yogyakarta bertambah dari sekitar 1,5 juta penduduk menjadi 1,7 penduduk.

Selain itu dampak dari kepadatan penduduk menimbulkan permasalahan sosial, ekonomi, kesehatan dengan munculnya penyakit frambusia dan pes.

Bukan cuma menyerang orang miskin tapi juga kaum elite. Dalam Minggu Pagi edisi 19 April 1951, dikisahkan frambusia membuat jari tangan Wali Kota Yogyakarta, Poerwokoesoemo menjadi gatal-gatal. Jarinya penuh bintik merah dan bernanah.

Baca juga: Prabowo Sebut Pemindahan Ibu Kota Bagian dari Perjuangan Gerindra

Kantor berita Antara melaporkan peningkatan penggunaan obat suntik pes sebesar 2.253.240 liter pada tahun 1947 dan meningkat hampir 6 kali lipat di pertengahan tahun 1948. Belum usai, kesulitan dan tekanan hidup di Yogyakarta kemudian juga memicu depresi.

Lihat Foto
Website TNI AU
Pesawat cureng

Agresi Militer Pertama

Penduduk asli dan para pengungsi yang tinggal di Yogyakarta juga berhadapan dengan situasi ekonomi yang buruk. "Harga-harga melambung dan membuat barang-barang kebutuhan sehari-hari menjadi sulit didapat," kata Galuh Ambar Sasi, salah satu penulis buku Gelora di Tanah Raja: Yogyakarta Pada Masa Revolusi 1945-1949 saat ditemui Kompas.com, Kamis (10/8/2017).

Seperti dikutip dari Kompas.com (9/4/2018), 21 Juli 1947 agresi militer Belanda yang pertama diluncurkan. Meski pemindahan ibu kota diharapkan dapat menjaga sistem pemerintahan dari sekutu, nyatanya Belanda melancarkan aksi militer.

Agresi militer difokuskan ke wilayah Yogyakarta yang saat itu menjadi ibu kota.

Operasi militer dipusatkan di wilayah Maguwo dan Wonocatur terutama serangan ke arah bandara udara Maguwo.

25 Juli 1947 Belanda melancarkan serangan udara menggunakan P-40 Kitty Hawk. Serangan juga diarahkan ke pangkalan udara Bugis, Maospati, Panasan, Ciberuem, dan Kalijati.

Ibu Kota Darurat

Dikutip dari Kompas.com (19/12/2018), serangan yang dilakukan Belanda dalam rangka agresi militer pertama membuat Indonesia mencoba strategi diplomasi dengan berunding dengan Belanda. Dari hasil perundingan tersebut disepakati perjanjian Renville yang ditandatangani pada 17 Januari 1948.

Namun Belanda melanggar perjanjian tersebut dengan melancarkan serangan ke Yogyakarta pada 17 Januari 1948 dalam rangka agresi militer II.

Serangan Belanda disiagakan penuh dengan menerjunkan beberapa pesawat DC-3, pesawat Jaegers serta pasukan bermotor Tijger Brigade yang tergabung dalam Komando Kolonel Van Langen.

Baca juga: Bahas Ibu Kota Baru, Gubernur Kumpulkan Seluruh Kepala Daerah se-Kaltim Dialog dengan Menteri PPN

Gencarnya serangan Belanda membuat Soekarno menginstruksikan pemindahan ibu kota secara darurat kepada Menteri Kemakmuran Syafrudin Prawiranegara di Bukittinggi.

Syafrudin Prawiranegara melaksanakan tugas yang diberikan Soekarno beserta Kolonel Hidayat
dan Gubernur Sumatera Teuku Mohammad Hasan yang secara sepakat merealisasikan mandat Soekarno.

Serangan 1 Maret 1949

Dikutip dari Kompas.com (1/3/2019), adanya keinginan agar dapat diakui secara de facto oleh negara-negara lain, membuat Indonesia melancarkan serangan balasan merebut ibu kota Yogyakarta pada tanggal 1 Maret 1949.

Penyerangan dipimpin oleh Komandan Brigade 10/Wehrkreise III, Soeharto. Serangan difokuskan dari wilayah Barat Yogyakarta sampai Malioboro.

Sementara, sektor timur dipimpin oleh Venjte Sumual, sektor selatan dan timur dipimpin Mayor Sardjono, dan sektor utara oleh Mayor Kusno.

Wilayah kota dipimpin oleh Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki.

Serangan yang dilancarkan dari berbagai arah membuahkan hasil. Pada pukul 12.00 WIB Yogyakarta berhasil direbut selama 6 jam.

Pada dasarnya tujuan dari serangan tersebut bukan sebagai perebutan ibu kota, namun agar
disoroti dunia internasional. Itulah sebabnya kedudukan ibu kota hanya berlangsung selama 6 jam.

Dilansir dari Historia, hasil serangan 1 maret menimbulkan reaksi keras dari berbagai negara. Pada akhirnya wacana tentang kedaulatan Indonesia masuk dalam agenda dewan PBB.

Perundingan yang melibatkan Indonesia dan Belanda menghasilkan perjanjian Roem Royen yang menjadikan Indonesia mendapatkan kembali pemerintahannya.

Baca juga: Soal Rencana Pemindahan Ibu Kota, Tina Toon Ibaratkan Jakarta seperti New York

Selesainya perundingan tersebut juga secara otomatis mengembalikan pemerintahan dari perpindahan di Yogyakarta dan Bukittinggi kembali ke Jakarta.

Kini, Presiden Joko Widodo merencanakan pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan. 

Jokowi menegaskan pemindahan ibu kota dimaksudkan dalam konteks pemerataan.

Ia berharap pemindahan ibu kota akan mendorong pertumbunan ekonomi baru, sekaligus memacu pemerataan dan keadilan ekonomi di luar Jawa.

"Ibu kota baru dirancang bukan hanya sebagai simbol identitas, tetapi representasi kemajuan bangsa, dengan mengusung konsep modern, smart, and green city, memakai energi baru dan terbarukan, tidak bergantung kepada energi fosil," kata Jokowi seperti diberitakan Kompas.com (16/8/2019).

(Sumber: Kompas.com/Aswab Nanda Pratama, Monika Novena, Rakhmat Nur Hakim)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi