Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wartawan dan akademisi
Bergabung sejak: 13 Mar 2018

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Cukup Sudah, Hentikan Kekerasan di Papua

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.COM/NURSITA SARI
Sejumlah mahasiswa Papua di Jakarta yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Anti Rasisme, Kapitalisme, Kolonialisme, dan Militerisme, menggelar aksi unjuk rasa di seberang Gedung Kementerian Dalam Negeri, Jalan Medan Merdeka Utara, Kamis (22/8/2019).
Editor: Laksono Hari Wiwoho

Oleh: Selma Theofany

RENTETAN penahanan dan intimidasi terhadap masyarakat Papua yang terjadi di Malang dan Surabaya, Jawa Timur, minggu lalu menambah daftar panjang kekerasan terhadap mereka.

Kekerasan di dalam konflik yang menyudutkan masyarakat Papua telah berlarut dan memiliki pola berulang dari waktu ke waktu. Amnesty Internasional telat mencatat 69 kasus dugaan pembunuhan di Papua sepanjang Januari 2010 hingga Februari 2018.

Yang menyedihkan, aparat negara menjadi dua pelaku utama dalam tindak kekerasan, yakni 34 kasus oleh aparat kepolisian dan 23 kasus oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Kekerasan, baik langsung maupun struktural, harus segera dihentikan dan perbaikan hubungan pemerintah pusat dengan rakyat Papua yang selama ini timpang harus segera dilakukan jika pemerintah ingin menghilangkan konflik di Papua.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengakhiri konflik

Christopher Mitchell, sejarawan sekaligus ahli resolusi konflik dari Inggris, mencatat tiga kondisi yang dapat membuat konflik berakhir: hilangnya sikap negatif serta perseteruan, tidak berlakunya isu yang menjadi sengketa, dan berhentinya perilaku koersif dan kekerasan.

Ketiga kondisi ini mencerminkan adanya penghentian kekerasan struktural, kultural, dan langsung, yang menjadi pekerjaan utama untuk dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik.

SETARA Institute, dalam laporannya mencatat tiga periode penyelesaian konflik Papua oleh pemerintah berdasarkan cara yang digunakan.

Periode pertama antara 1963 dan 1998, dengan pendekatan keamanan dan menjadikan Papua menjadi Daerah Operasi Militer (DOM).

Periode kedua antara 1998 dan 2014, melalui kebijakan kesejahteraan yang diwujudkan lewat Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus Papua.

Periode ketiga yaitu sejak 2014 hingga sekarang, melalui penekanan pembangunan sesuai dalam visi Nawacita Presiden Joko “Jokowi” Widodo.

Pada praktiknya, ketiga periode masih menjadikan pendekatan keamanan sebagai rujukan yang naasnya disertai dengan berbagai praktik kekerasan dan pelanggaran HAM.

Mengadopsi teori Mitchell, solusi untuk Papua bisa dimulai dengan menghapus sikap perseteruan yang dapat dimulai dengan permintaan maaf kepada masyarakat Papua.

Permintaan maaf merupakan salah satu obat penyembuh dalam rekonsiliasi.

Masyarakat Indonesia secara keseluruhan perlu meminta maaf karena telah membiarkan kekerasan terjadi kepada saudara sebangsa dan se-Tanah Air terjadi.

Permintaan maaf dari pemerintah juga harus dilakukan sebagai pengakuan atas kegagalan negara dan langkah awal komitmen berbenah.

Pelaku kekerasan--aparat keamanan, ormas, dan pihak-pihak terkait--harus secara langsung mengakui kesalahan fatal yang mereka lakukan, selain juga meminta maaf.

Penertiban perilaku koersif dan penggunaan kekerasan juga harus segera dilakukan. Kepolisian harus menindak tegas aparat yang terlibat dalam kekerasan serta ormas sebagai preseden pengurangan tindakan represif sekaligus memastikan tindakan tidak akan terulang (guarantees of non-repetition) di masa depan.

Selain itu, pemerintah harus mengondisikan agar kekerasan tidak menjalar lebih jauh dan situasi di Papua menjadi kondusif.

Upaya yang dapat dirintis sedini mungkin adalah memulai dialog holistik antara pemerintah pusat dan Papua.

Dialog ini mencakup rencana pembangunan yang tidak terbatas pada infrastruktur fisik, tetapi berpusat pada manusia dengan menerapkan perspektif HAM.

Pembukaan dialog tidak bisa hanya berada pada tataran elite politik pemerintah daerah, tetapi juga melibatkan masyarakat untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan mengingat maraknya praktik korupsi yang terjadi di Papua.

Tentu saja, dialog yang dilakukan harus mengedepankan pendekatan sipil, bukan pendekatan keamanan yang terbukti rawan kekerasan seperti di masa lalu.

Dengan membuka dialog dan mendengarkan aspirasi semua pihak, konflik diharapkan bisa berakhir.

Tidak boleh terus berlangsung

Konflik di Papua yang melibatkan kekerasan dimulai sejak dekolonisasi ketika pemerintah kolonial Belanda beranjak dari Papua dan Indonesia mulai menapakkan kekuatan melalui militer di sana.

Rasialisme dan stigmatisasi terhadap masyarakat Papua menyebabkan dehumanisasi yang melanggengkan sikap negatif dan perseteruan.

Masyarakat Papua menghadapi rasialisme dan stigmatisasi di Indonesia dengan pandangan bahwa mereka "setengah binatang".

Pandangan ini tampak pada sebutan "monyet" yang ditujukan kepada mahasiswa Papua dalam insiden di Surabaya baru-baru ini.

Menyebut masyarakat Papua dengan binatang merupakan bentuk dehumanisasi; martabat masyarakat Papua sebagai manusia yang harus dijaga dan dihormati oleh sesama tidak digubris.

Pandangan ini kemudian menjadi pembenaran atas tindak kekerasan terhadap masyarakat Papua. Kekerasan telah hadir dalam sejarah panjang Papua dan menjadi salah satu sumber konflik.

Aparat keamanan, termasuk kepolisian dan TNI, memiliki jejak kekerasan disertai pelanggaran HAM yang mendalam di tanah Papua, terlebih pada masa daerah operasi militer (DOM).

Hingga kini, cara-cara koersif dan kekerasan masih menjadi rujukan penanganan konflik yang melibatkan masyarakat Papua, baik di Papua maupun di luar Papua, bahkan masyarakat sipil seperti anggota organisasi masyarakat (ormas) pun terlibat. Kekerasan yang dipelihara akan menjadi residu konflik.

Kekerasan langsung memang lekat dengan konflik Papua, tetapi kekerasan struktural juga menjadi masalah mendasar di sini.

Ketimpangan akibat pembangunan ekonomi dan kegagalan pembangunan menjadi akar konflik yang berlarut di Papua.

Meski kini pemerintahan Jokowi mulai menggalakkan pembangunan di Papua, tetapi pembangunan hanya dimaknai secara fisik dan membiarkan pelanggaran HAM terjadi di dalamnya.

Selain itu, hubungan pemerintah pusat dan Papua tidak harmonis karena ketidakselarasan pemaknaan integrasi dan konstruksi identitas politik di antara keduanya.

Papua dan masyarakatnya menyimpan luka sebagai akibat kekerasan struktural ini.

Selma Theofany
Researcher, Setara Institute

Artikel ini tayang di Kompas.com berkat kerja sama dengan The Conversation Indonesia. Tulisan diambil dari artikel asli berjudul "Cara hentikan konflik di Papua: Stop kekerasan". Isi di luar tanggung jawab redaksi Kompas.com.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi