Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kolumnis
Bergabung sejak: 16 Mei 2017

Mantan wartawan harian Kompas. Kolumnis 

Maengket dan Permesta

Baca di App
Lihat Foto
Dok J Osdar
Tari Maengket dan Katrili di Manado
Editor: Amir Sodikin

“PERMESTA” dan “maengket” adalah dua kosa kata yang bersatu dalam pikiran dan hati saya sejak masih duduk di bangku sekolah dasar.

Di dalam anganku, maengket adalah suasana keindahan hidup bersama dalam tarian, lagu dan pesta pengucapan syukur kepada Tuhan dan alam semesta yang telah memberi kehidupan.

Sedangkan Permesta atau perjuangan rakyat semesta, adalah “pemberontakan” atau “aksi protes” atau “kritik keras” orang-orang Minahasa (Sulawesi Utara) kepada pemerintahan pusat di Jakarta (tahun 1957/1958 - 1961).

Dalam hati dan pikiran saya, kosakata Permesta adalah sebuah misteri hidup ini.
Mendengar kosa kata “maengket” angan saya pertama adalah terbang ke masa lalu di tiga kampung di sekitar tangsi-tangsi militer/Angkatan Darat di Magelang, Jawa Tengah.

Baca juga: Tomohon International Flower Festival ke-8 Akan Digelar Lebih Meriah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketiga kampung itu adalah Pasartelo, Ngentak dan Kwayuhan. Sejak zaman kolonial Belanda ketiga kampung itu dihuni oleh banyak orang dari Minahasa (Sulawesi Utara) dan Ambon (Maluku Selatan).

Ketika masih kecil bila orang Magelang bertanya tempat tinggal saya dan saya jawab, tinggal di Kwayuhan, maka sang penanya langsung menebak, “kamu orang Manado/Minahasa ya?”.

Ketiga kampung itu sejak tahun 1960-an terkenal di Magelang sebagai kampung RW (menu daging anjing dengan bumbu rica-rica khas Minahasa/Manado ) dan tarian maengket.

Hampir satu minggu sekali, masyarakat Minahasa/Manado di ketiga kampung itu latihan tarian maengket atau cakalele (tarian kabasaran atau tarian perang). Secara bergiliran, setiap keluarga warga Minahasa/Manado di ketiga kampung itu menyediakan tempat untuk latihan maengket.

Tuan rumah yang halamannya dipakai untuk latihan maengket otomatis menghidangkan berbagai menu makanan khas Minahasa, seperti sayur pangi, saut, RW, tinorangsak, dabu-dabu, nasi bungkus, nasijaha, sayur gedi, panikisantang dan seterusnya.

Di siang hari atau sore hari, bila genderang tambur dibunyikan, masyarakat di ketiga kampung itu tahu ada latihan maengket. Suara tambur cukup keras hingga terdengar sampai di setiap penjuru kampung.

Baca juga: Penampakan Sapi Kurban yang Dibeli Jokowi di Sulut, Putih, Tegap, dan Berotot

Beberapa menit kemudian akan terdengar suara alunan lagu-lagu maengket yang menggema di langit. Maengket yang digelar masyarakat Minahasa di perantauan ini menjadi tontonan bagi banyak orang Magelang.

Maengket bagian dari kehidupan

Bagi orang Minahasa di perantauan, maengket adalah bagian dari kehidupannya, budaya. Tarian dan lagu ini adalah sebuah doa yang diserukan kepada Tuhan dan alam semesta.

Emiliana Teta adalah salah satu penari maengket yang cukup andal dan piawai di Magelang saat itu. Para penari maengket adalah om-om, tante-tante, oma-oma, opa-opa, nona-nona, nyong-nyong, anak-anak laki dan perempuan.

Tarian ini sangat indah dan memesona bila digelar di alam terbuka di halaman rumah atau lapangan terbuka. Simbol bersatunya manusia dengan alam akan terhayati sekali.

Jiwa dari maengket terasa hilang bila dipentaskan di atas panggung. Gerak tari dan alunan lagu maengket cukup sederhana dengan iringan genderang tambur (tambor).

Semua penari bergerak seirama sambil menyanyi, melantunkan lagu madah pujian pada Tuhan dan alam semesta. Maengket juga menjadi simbol kerjasama atau gotong royong atau mapalus dalam membangun rumah, menanam padi dan panen.

Opo wailan kamangene, se mangale-aley wene, oe kamberu e...Kamberube wailan, upu’en katepu-tepu’na... (Tuhan yang mahakuasa berikan kami berkat, kami minta tanaman padi yang subur, beras yang baru, oh Tuhan biarlah kami memetik pada padi yang subur... )

Begitulah salah satu syair lagu tarian maengket. Syair lagu maengket lainnya berbunyi: “Kai rumambak mo e makawale. Sesake pinengale e makawale.“ Artinya, kami permisi mau naik ke rumah yang baru, tuan.

Suatu hari, acara latihan maengket menjadi lebih meriah dari biasanya. Ketika itu puluhan pemuda Minahasa berseragam militer datang dan ikut latihan maengket.

Saat itu juga saya mengenal kosa kata “permesta.” Pendatang baru ini, kata orang-orang saat itu, adalah para mantan tentara Permesta yang sudah direhabilitasi dan dilatih untuk masuk TNI.

Ada orang yang mengatakan, mereka itu mantan “pejuang”, tapi ada pula yang mengatakan mereka itu mantan “pemberontak” atau “gerombolan” yang belum lama keluar dari hutan-hutan di Sulawesi. Kebetulan saat itu yang memimpin latihan maengket adalah seorang prajurit Kaveleri TNI/AD, Yan Lengkong.

Beberapa waktu kemudian, setelah para pemuda mantan Permesta itu ikut latihan maengket, sering terjadi keributan. Di antara para mantan gerilya Permesta sering hampir berkelahi.

Beberapa orang tua bercerita pada saya saat itu, mereka berkelahi atau baku hantam karena masih ada rasa dendam di antara mereka. Mereka berasal dari kelompok-kelompok pasukan yang saling bertentangan ketika aksi perjuangan berlangsung di Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah.

Ketegangan di antara para mantan orang-orang Permesta ini lebih sering terjadi di saat latihan tarian cakalele, tarian kabasaran atau tarian perang.

“Meijo torang ganti peda kayu ini den peda baja (Mari kita ganti pedang kayu ini dengan pedang baja atau besi)," teriak salah seorang peserta latihan cakalele yang saya dengar waktu itu. Sampai kini kata-kata itu tidak pernah saya lupakan.

Suatu pagi, orangtua saya menerima amplop surat dari Bandung, Jawa Barat, yang berisi kertas bertuliskan tangan dan foto dua sosok tentara berpangkat kapten Angkatan Darat/TNI.

Orangtua saya hanya mengatakan kedua orang itu, Om Mogot dan Om Buha, adalah famili saya dari Kampung Woloan dan Taratara, Tomohon, Sulawesi Utara. Ketika mereka datang dan menginap di rumah, saya mendapat banyak cerita tentang Permesta.

Mereka juga bercerita tentang adik mama saya, Yoseph Rory Ngenget (Om Osep), pernah ke Woloan sebagai anggota Brigade Mobil (Brimob) yang ikut menumpas Permesta. Om Osep pernah bercerita pada saya, Permesta itu adalah gerakan orang-orang yang tidak sabar.

“Bayangkan Republik ini baru berusia beberapa tahun, masak sudah harus sempurna dalam memberi perhatian pada daerah,” ujar Om Osep di Bogor, Jawa Barat beberapa tahun lalu.

Ketika saya tinggal di Pineleng, Tomohon, Sulawesi Utara, pertengahan tahun 1970-an, saya sering diundang untuk jadi juri lomba maengket dan berbagai tari dan lagu Minahasa. Antara lain saya pernah jadi juri di Kampung Lemoh, Lola, Kawangkoan, Kembes, Rumengkor dan lain-lainnya.

Saat itu saya bisa menikmati sepuas hati keindahan tari maengket dan tari tradisionil Minahasa lainnya. Saya semakin yakin saat itu, maengket adalah bagian yang indah dari kehidupan Minahasa.

Maengket sangat indah bila digelar di alam terbuka, di antara meja-meja dari kayu atau bambu tempat meletakan makanan (tinutuan yang ditaruh di atas daun pisang, RW, apang, balapis, brudel, saut, pangi dan seterusnya) dan minuman (saguer, cap tikus dan lainnya).

Menarik lagi tarian itu bisa digelar di kala anak-anak kampung sedang berlari-lari, bermain dan bertriak-teriak secara bebas. Sementara itu, gunung-gemunung, hutan cengkeh, enau, rumbia, pohon nyiur ikut tersenyum.


Tidak perlu menjiplak

Empat tahun terakhir ini hampir satu minggu sekali saya ke Sulawesi Utara dan sering berkeliling ke berbagai kampung di pelosok propinsi ini. Kini Sulawesi Utara sedang dilihat banyak orang di seluruh Indonesia dan sejumlah negara lain, sebagai tempat tujuan wisata.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo telah menetapkan, Sulawesi Utara, sebagai salah satu dari 10 wilayah yang akan jadi Bali baru. Kampung tradisional, acara pesta pengucapan syukur, dan maengket, bisa jadi obyek wisata yang khas Minahasa.

Ini bisa jadi keunikan seperti yang dimiliki Bali. Jadi Sulawesi Utara tidak perlu harus menciptakan obyek wisata jiplakan dari wilayah lain atau bahkan mencontoh luar negeri.

Eropa Barat, menjual sejarahnya, termasuk benda bendanya dan situs-situsnya, untuk menarik wisata. Sulawesi juga punya sejarah, termasuk sejarah Permesta yang punya pertalian unik dengan Amerika Serikat, Singapura, Hongkong, Filipina dan beberapa negara lainnya.

Jumat, 9 Agustus 2019 lalu, setelah menghadiri Kongres Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, di Bali, saya terbang ke Manado. Di pesawat itu saya bersama staf khusus Gubernur Sulawesi Utara, Olden Kansil.

Dalam penerbangan dengan sebuah pesawat yang penuh sesak, saya melihat beberapa turis dari Amerika Serikat yang duduk di depan saya, masing-masing sedang membaca buku berjudul Permesta: Half - a- Rebellion yang ditulis Barbara Sillars Harvey dan diterbitkan pertama kali di Amerika Serikat tahun 1984.

Saya iseng bertanya kepada mereka tujuan mereka terbang ke Manado. “Saya tertarik untuk datang ke Sulawesi Utara karena membaca buku sejarah ini,” ujar salah satu dari mereka.

Saya jadi ingat salah satu ucapan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dalam orasinya dalam kongres di Bali itu. Mega mengumandangkan kembali seruan Bung Karno, jangan sekali-kali melupakan sejarah.

Peristiwa mirip dengan itu, ketika saya ikut dalam rombongan Ratu Beatrix dari Belanda, berkunjung ke Sulawesi Utara bulan Agustus 1995.

Ketika rombongan tiba di Woloan, seorang wartawan Belanda dalam bahasa Indonesia yang fasih bertanya pada saya, “Ini Desa Woloan, tempat upacara dan defile pasukan Permesta yang menyerah kepada Tentara Nasional Indonesia tahun 1961.”

Saya tanya dari mana dia tahu tentang hal ini, sang wartawan berkata, “Saya baca buku tulisan Barbara Sillars Harvey, berjudul Permesta: Half a rebellion atau Permesta: Pemberontakan Setengah Hati (versi terjemahan Bahasa Indonesia terbitan PT Pustaka Utama Grafiti tahun 1989).”

Saya sangat kecewa, ketika datang ke Desa Woloan akhir Juli 2019 lalu dan bertemu dengan Sekretaris Desa, Jane M Kures. Perempuan muda ini bilang tidak tahu sama sekali tentang Permesta.

Wartawan Belanda itu juga pernah jumpa dengan saya, ketika saya bersama Kristin Samah (wartawati Suara Pembaharuan), Nasir Tamara (Republika), Erik (Media Indonesia), Suradi (Harian Angkatan Bersenjata), dan Jasmin Subali (RRI) diundang Pemerintah Belanda bertemu Ratu Beatrix dalam rangka persiapan kunjungan Ratu Beatrix ke Indonesia dari 21 sampai 30 Agustus 1995.

Wartawan Belanda yang namanya saya lupakan itu banyak membaca tentang budaya Minahasa. Para wartawan Indonesia yang diundang ke Belanda itu juga diberi kesempatan bertemu dengan Perdana Menteri (waktu itu), Wim Kok.

Hal yang paling saya ingat sampai sekarang, dalam pertemuan itu disinggung tentang keunikan perang Permesta. Dari Belanda ini saya menyimpulkan Permesta bisa juga jadi obyek wisata sejarah Sulawesi Utara atau Indonesia.

Setibanya di Manado dari Bali (tanggal 9 Agustus 2019), saya langsung mendatangi tempat-tempat bersejarah yang berkaitan dengan Permesta. Juga saya temui para pelaku yang langsung ikut dalam perang Permesta.

Saya jadi punya kesimpulan dan versi sendiri tentang sejarah Permesta. Saya mencatat ucapan spontan salah satu pelaku pemberontakan ini, Bena Tengker (85 tahun) yang saya temui di Manado.

“Biar lae kita so tua bagini, kalo ada yang cumu nyanda bae tentang Permesta di muka kita, kita langsung lap pa dia. Biar lae nanti kita kalah, mar kita mobage lebe dulu pa dia,” ujar Bena Tengker yang pangkal lengannya ditato tulisan Permesta 2 Maret 1957.

Dia bilang biar saya sudah tua kalo ada orang yang menjelek-jelekan Permesta di muka saya, saya mau pukul dia. Biar nantinya saya kalah, saya sudah pukul dia lebih dahulu.

Dari tanggal 10 sampai 13 Agustus 2019 lalu saya, saya berkeliling di wilayah kota dan desa di kaki Gunung Lokon, Gunung Soputan, Gunung Mahawu dan Gunung Kalabat. Saya datang ke Tomohon, karena kota ini sedang menyelenggarakan pesta pengucapan syukur.

Banyak peristiwa penting terjadi di kota ini selama perang Permesta. Sebelum pecah perang, antara akhir bulan Agustus sampai awal September 1957, Presiden Sukarno datang ke Sulawesi Utara.

Bung Karno saat itu juga datang ke Tomoho,n menghadiri acara hari ulang tahun ke 22 Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) di gedung Gereja Sion. Sebelumnya Bung Karno juga datang dan mengadakan acara tanya jawab dengan para mahasiswa Sekolah Tinggi Seminari Pineleng (tempat saya belajar pertengahan tahun 1970-an).

Dari Tomohon saya ke Desa atau Kampung Kakaskasen, sekitar empat kilo meter dari pusat kota Tomohon. Di Kampung Kakaskasen, saya menemui seorang wartawan berusia 80 tahun yang pernah menjadi seorang letnan intelijen Batalion I Permesta, Tarantula.

Namanya, Phill M Sulu penulis buku Permesta dalam Romantika, kemelut & Misteri - Menyikap Latar Belakang RPI dan Misteri Gugurnya J.F Warouw, diterbitkan pertamakali tahun 2011 oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Phil M Sulu bercerita tentang kesedihannya ketika menyaksikan kampung kelahirannya hancur lebur karena perang, sehingga kampungya disebut, “kampung maut”.

Ia juga bercerita kisah sengsaranya ketika “ditahan” di Dinoyo, Mojokerto, Jawa Timur, setelah para pemimpin Permesta menyerah tahun 1961.

Ia sempat menolak untuk dipekerjakan sebagai buruh perkebunan tebu di Mojokerto. Tapi ia sempat jatuh cinta (cinlok atau cinta lokal) dengan seorang gadis di Mojokerto.

Phil M Sulut juga mencatat, para “pejuang “ tetap sempat menggelar tarian maengket dan katrili di hutan-hutan selama perang gerilya dari tahun 1958 sampai 1960.

Kata-kata salah seorang pemimpin Permesta, J.F Warouw (almarhum), nampaknya sangat berkesan di hati wartawan tua ini. “Orang Minahasa itu romantis dan advonturir”.

Saya juga datang ke Desa Taratara, tempat asal kakek atau opa saya, Johanes Tobias Ngenget. Desa ini adalah tempat markas pasukan Tarantula, nama salah satu batalion Permesta di bawah pimpinan Mayor Boy Potu.

Boy Potu adalah sebuah nama cukup tenar dan legendaris dalam perang Permesta. Ketika akan melintasi gapura Kampung Taratara III, saya berhenti dan mengamati sebuah rumah panggung tradisional Minahasa.

Rumah yang sudah rusak itu adalah tempat menginap salah seorang pimpinan Permesta Alex Kawilarang bila datang di Taratara (1958 - 1961).

Dari Taratara, saya ke kota Manado, ibukota Sulawesi Utara, menemui seorang perempuan berusia 80 tahun. Ia adalah Connie Waworuntu, salah seorang pendiri Pasukan Wanita Permesta (PWP).

Perempuan tua ini terkenal sebagai atlet yang pernah jadi juara lempar besi dan lari cepat di tingkat provinsi untuk lomba atletik lansia. Kini ia bekerja sebagai pemimpin sebuah yayasan yang mengurusi orang-orang lanjut usia.

Ketika saya bertanya kepada seorang pengurus rumah lansia di Manado itu, ia berkata “Ibu Connie sampai sekarang tetap kuat, sepatunya hak tinggi, dan beliau masih bisa memukul orang.”

Ketika berhadapan tokoh perempuan Permesta ini, saya punya kesan dia adalah perempuan intelektual lulusan SMA Negeri I Manado tahun akhir 1950-an. Sebelum bergerilya di hutan-hutan, ia bekerja di sebuah penerbitan koran di Manado.

Setelah kota Manado di bom oleh TNI Angkatan Udara Republik Indonesia pagi hari, 27 Frebuari 1958, Conni Waworuntu memimpin ratusan orang anggota pasukannya berjalan kaki siang dan malam dari Manado ke Minahasa Selatan, sekitar 200 kilometer.

“Yang menyedihkan bila persediaan makanan habis,” ujarnya..

Dari berbagai buku tentang Permesta dan wawancara banyak pihak saya punya versi sendiri tentang sejarah Permesta. Pemberontakan Permesta ini adalah bagian rentetan dari sejarah kemelut di Indonesia setelah Belanda mengakui kedaulatan RI akhir tahun 1949.

Kemelut yang disebut krisis daerah ini antaralain berujung di peristiwa 2 Maret 1957 di Makasar, ibukota Sulawesi saat itu (waktu itu seluruh Sulawesi masih satu propinsi).

Saat itu Panglima Tentara dan Teritorium VII (TT VII Wirabuana yang membawai wilayah Indonesia Timur), Letnan Kolonel HNV Sumual atau akrab dipanggil Vence Sumual di Makasar membacakan teks Proklamasi Piagam Perjuangan Semesta (Permesta).

Teks proklamasi Permesta ini ini antara lain berbunyi, “Demi keutuhan Republik Indonesia, serta demi keselamatan dan kesejahteraan Rakyat Indonesia pada umumnya dan Rakyat Daerah di Indonesia Bagian Timur pada khususnya, maka dengan ini dinyatakan seluruh wilayah Teritorium VII dalam keadaan darurat perang serta berlakunya pemerintahan militer.......”.

Piagam Permesta ini ditandatangi 51 orang pejabat tinggi militer dan sipil Indonesia Timur (waktu itu Papua atau Irian Barat masih dikuasai Belanda).

Nama-nama terkenal dari penandatangan piagam ini antaralain, Andi Pangerang (gubernur Sulawesi saat itu), Mohammad Jusuf atau M Jusuf, J Latumahina, JE Tatengkeng, M Saleh Lahade, SH Ngantung, J Ottay, Andi Burhanuddin, Andi Mattalatta, dan seterusnya.

Tuntutan dari piagam ini antara lain adalah otonomi daerah seluas-luasnya. Pengumuman piagam ini disambut meriah masyarakat Sulawesi dan berbagai propinsi di Indonesia Timur saat itu.

Setelah itu, selama tahun 1957 terjadi pertemuan, perundingan dan kompromi antara tokoh-tokoh Permesta dengan para pejabat tinggi sipil dan militer dari pemerintahan pusat di Jakarta. Pertengahan tahun 1957, Vence Sumual diberhentikan dari jabatan panglima TT VII.

Wilayah militer di Sulawesi dipecah dua, yakni Komando Daerah Militer Selatan dan Tenggara (KDM-SST) dengan markas besanya di Makasar dan Komando Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah (KDMSUT) bermarkas besar di Manado dengan panglimanya Letnan Kolonel Yus Somba (merangkap sebagai Gubernur Militer Permesta).

Beberapa minggu setelah dicanangkan Piagam Permesta, terjadilan perpecahan antara para tokoh Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. Para penandatangan piagam Permesta dari Sulawesi Selatan dan propinsi lainnya di Indonesia lebih condong menolak pertikaian tajam dengan Jakarta.

Para tokoh dari Sulut, terutama Vence Sumual memindahkan markas Permesta ke Kinilow, sekitar 20 kilometer selatan Manado (di tepi jalan antara Manado - Tomohon).

Sumual melanjutkan perjuangan Permesta dengan mengadakan perjalanan ke berbagai wilayah di Jawa dan Sumatera. Terjadilah kesepakatan antara Sumual dengan para proklamator Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang beribukota di Bukittinggi, Sumatera Barat.

Antara Permesta di Kinilow dan PRRI di Bukittinggi menjadi seiring sejalan. Dari suasana ini munculah nama PRRI/Permesta.

Dari Sumatera, Sumual mengadakan perjalanan cari bantuan di Singapura, Hongkong, Jepang dan Filipina untuk perjuangan Permesta di Sulawesi Utara dan Tengah serta Maluku Utara. Dalam perjalanan ini Sumual memperoleh bantuan dari Pemerintah Amerika Serikat.

Setelah piagam Permesta diproklamirkan, Sumual merekrut para tokoh militer dan sipil asal Sulawesi Utara (terutama Minahasa) untuk merealisasi perjuangan.

Tokoh-tokoh yang direkrut antara lain, Yus Somba, Dolf Runturambi, Nun Pantouw, Abe (AC) Mantiri, Sam Ogi, Bob Tilaar, Lexi Tambayong, Boetje Pandeirot, No Ticoalu, Wim Ratulangi, Nus Kandou, Lexi Tambayong, Vence Sual, Wimpie Kaligis, Her Toar, Yo Mandang, Wim Tenges, Laurens Saerang dan seterusnya.

Pemerintahan Permesta melakukan pembangunan di Sulawesi Utara dengan uang (sebagian besar ) dari hasil perdagangan (barter) kopra dengan luar negeri atau daerah lain di Indonesia.

“Dari luar negeri Permesta Manado menerima barang-barang untuk pembangunan, antara lain, truk-truk, traktor medium dan besar, alat-alat besar untuk pembuatan jalan seperti stomwals, alat pemecah batu, semen, besi beton dan keperluan-keperluan untuk irigrasi dan jembatan, serta beras,” demikian kata Dolf Runturambi, mantan Kepala Staf Gubernur Militer Permesta dalam buku memoirnya, Permesta , Kandasnya Sebuah Cita-cita (Dicetak dan Diterbitkan Sarunjaya - Jakarta tahun 1988).

Sepanjang tahun 1957, Sulawesi Utara dibanjiri bantuan luar negri dan berpesta pora. Hampir satu bulan setelah mengumuman Piagam Permesta 2 Maret 1957, tokoh utama Permesta, Vence Sumual (awal April 1957) tiba di bandar udara Mapanget, Manado.

Ia disambut gegap gempita masyarakat Manado dan sekitarnya. Di sepanjang jalan raya Mapanget - Manado (30 kilometer), rakyat dan anak-anak sekolah melambaikan bendera merah putih dan memekikan, “Hidup Permesta”.

Hari itu Yus Somba dilantik jadi Gubernur Militer Permesta dan Dolf Runturambi sebagai Kepala Staf Gubernur Militer Permesta.

Tanggal 15 Frebuari 1958, Letnan Kolonel Ahmad Husein mengumumkan PRRI di Padang. Malam 16 Frebuari 1958, Panglima Komando Daerah Militer Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah Yus Somba mengadakan rapat kilat dengan para tokoh militer setempat.

Hadir dalam rapat di Sario, Manado itu, antara lain Eddie Gagola, Dee Gerungan dan Dolf Runturambi. Rapat membicarakan soal PRRI di Padang.

Dalam rapat Yus Somba, membacakan radiogram yang dikirimkan Vence Sumual dari luar negeri. Radiogram itu beirisi pesan Vence Sumual agar Somba dan teman-teman Permesta lainnya jangan melakukan langkah-langkah sebelum Vence balik di Manado.

Ketika itu masuk ke ruang rapat, tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI) Manado, Abe Mantiri. Dia mengatakan, agar Permesta bersikap tegas, solider dan mendukung PRRI.

Tanggal 17 Frebuari 1958 pagi, Yus Somba dan rekan-rekannya rapat lagi. Rapat ini memutuskan, Permesta solider dengan PRRI dengan memutuskan hubungan dengan Pemerintah RI/Kabinet Juanda.

Hasil rapat ini diumumkan oleh Yus Somba di depan rapat massa di Lapangan Sario, Manado. Massa saat itu berteriak gemuruh, “Setujuuu” “Hidup Permesta”.

Lima hari kemudian, yakni tanggal 22 Frebuari 1958, Angkatan Udara RI membom Manado. Pecah perang Permesta di Sulawesi Utara - Tengah dan Maluku Utara.

Ketika itu Vence Sumual dalam perjalanan dari Filipina ke Manado. Siang hari, jam 14.00, tanggal 22 Frebuari 1958, Vence Sumual mendarat di lapangan rumput di Mapanget.

Pemboman ini membuat para tokoh militer TNI asal Sulawesi Utara, seperti Kolonel Alex E Kawilarang (atase militer RI di Washington DC, Amerika Serikat) dan Kolonel JF Warouw (atase militer di Beijing, RRC) pulang kampung di Sulawesi Utara dan bergabung dengan Permesta.

Kawilarang sudah menjadi Panglima Besar Angkatan Perang PRRI/Permesta sedangkan Warouw menjadi Wakil Perdana Menteri PRRI/Permesta.

Para putera putri Minahasa di perantauan, termasuk para mahasiswa yang belajar di Jawa juga pulang kampung bergabung dengan Permesta.

Gerombolan bersenjata di bawah Jan Timbuleng juga bergabung dengan Permesta. Semua ikut Permesta saat itu, dan munculnya ungkapan, rumput pun ikut Permesta.

Awal April 1958, Vence Sumual, Alex Kawilarang dan Yoop Warouw serta Prof Sumitro Djojohadikusumo (Menteri Perekonomian PRRI/Permesta) berkumpul di Gedung Bioskop Sonya di Tomohon yang dipenuhi massa pendukung Permesta.

Tepuk sorak beerkali-kali berkumandang di dalam dan luar gedung untuk para tokoh Permesta ini. Waraou, Kawiarang dan Sumual menjadi tiga serangkai pemimpin tertinggi gerakan Permesta.

Sementara itu, bantuan senjata dan alat perang seperti pesawat terbang tempur mutakhir mengalir ke Permesta.

Para pelatih militer dari Amerika Serikat juga berdatangan Sulawesi Utara membantu Permesta. Setelah itu Permesta memerintah Sulawesi Utara dan Tengah sambil berperang dan berpesta ria.


Pesta usai sudah

Tapi dalam perkembangan berikutnya, yakni antara 15 sampai 23 Mei 1958, terjadi situasi membalik. Sementara serangan TNI Darat, Laut dan Udara semakin gencar Amerika Serikat menarik bantuannya, setelah seorang pilot Amerika, Alen Pope tertembak jatuh di wilayah perairan Ambon.

Berbareng dengan peristiwa itu Pemerintah AS melihat serangan TNI ke PRRI/Permesta dipimpin para perwira tinggi yang anti komunis .Padahal AS membantu PRRI/Permesta karena sikap menetang pemerintahan pusat yang dianggap condong ke Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dalam pada itu, dalam proses perjuangan pemerintahan militer Permesta selanjutnya mengalami pertikaian dalam diri sendiri. Terjadi perang antar kelompok/pasukan dalam tubuh Permesta.

Masyarakat dan tokoh masyarakat dari Bolangmongondow, Gorontalo dan Sulawesi Tengah mulai menarik dukungan. Masyarakat Minahasa sendiri juga jadi korban perang antar kelompok ini.

Terjadi pula perampokan, pembakaran rumah penduduk, tindakan tidak senonoh kepada penduduk perempuan dan seterusnya.

Ditambah lagi pertikaian antara para pimpinan tertinggi Permesta, yakni antara Kawilarang, Sumual dan Warouw. Jatuh korban tewas akibat pertikaian ini, antara lain meninggalnya secara misterius Waraouw dan Timbuleng. Akhirnya Permesta menyerah dan bubar.

Perjuangan Permesta yang dikumandangan untuk otonomi luas bagi Indonesia Timur terus menciut menjadi perjuangan Minahasa yang saling bertikai pula. Ternyata membuat pemerintahan sendiri untuk Minahasa pun, Permesta mengalami kegagalan.

Pemerintahan RI di bawah Bung Karno setelah proklamasi 1945 tetap berjalan walapun harus menghadapi perlawanan dari tentara Belanda dan sekutu. Kemelut Indonesia di masa remajanya (1950 - 1960) juga cukup kritis.

Tapi sejarahwan dari Australia, MC Ricklefs mengatakan Ironi terbesar selama kurun waktu 1950 - 1957 ialah bahwa ketika negara Indonesia terpecah-pecah, negara itu juga besatu padu. Kurun waktu ketika Indonesia masih remaja ini yang diprotes, dikritik, dibrontak dan hendak dibetulkan oleh PRRI/Permesta.

Pemerintahan Orde Baru juga berusaha mengkoreksi dan membetulkan pemerintahan di kurun waktu itu ditambah kurun sampai 1965. Tiga puluh tiga tahun Orde Baru berusaha untuk membangun Indonesia dengan mengkoreksi pemerintahan sebelumnya, tapi menghadapi kerontokan di tahun 1998. Saat itu Indonesia mengalami kriris multidimensi.

Mungkin kita masih harus terus belajar dari sejarah seperti kata Bung Karno, jangan lupakan sejarah. Pengamat politik Indonesia, Dr Alfian, juga mengatakan hal seperti itu.

“Kedewasaan dan kebesaran suatu bangsa, kata orang, antara lain ditentukan oleh kemampuan bangsa itu memahami dirinya secara kritis dan keberaniannya mencari hal-hal bermakna dari masa lampaunya (sejarahnya),” kata Alfian.

Saya senang sekali ketika berbincang-bincang-bincang dengan Staf Khusus Gubernur Sulawesi Utara bidang Pemuda, Olden Kansil. Inteletual muda Minahasa lulusan Fakultas Psikologi Universitas Sam Ratulangi ini mengumpulkan kisah-kisah mikro perang Permesta.

Olden Kansil mengingatkan saya pada ucapan filsuf, politisi, ahli hukum dan orator dari Roma 2000 tahun lalu, yakni Cicero.

”Historia magistra vitae.” Sejarah itu adalah guru kehidupan. Bisa ditambahkan sedikit, ini masih kata Cicero, sejarah itu cahaya kebenaran (lux veritatis) dan pesan dari masa lalu (nuntia vetustatis). - J.Osdar

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi