Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebiri Kimia, Antara Ancaman Pedofilia dan Problem Etik Medis

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK
Ilustrasi.
|
Editor: Heru Margianto

HUKUMAN kebiri kimia yang dijatuhkan pada Muh Aris (20), pemerkosa 9 anak dari Mojokerto, Jawa Timur menuai kontroversi.

Pasalnya, Aris akan jadi pelaku kejahatan seksual pertama di Indonesia yang dikebiri.

Sejak aturan ini pertama digulirkan Presiden Joko Widodo pada 2016 lalu, terdapat penolakan dari berbagai lembaga.

Apa yang sebenarnya menyebabkan kebiri kimiawi ditentang keras? Bagaimana praktiknya di luar negeri?

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dilatarbelakangi pedofilia

Sebelum kebiri kimiawi, hukuman kebiri dilakukan lewat operasi dengan pengangkatan testis.

Di Eropa, sejak tahun 1906 pelaku kejahatan seksual terutama terhadap anak-anak sudah dikenakan hukuman kebiri. Di Amerika Serikat praktiknya dilakukan sejak 1940-an.

Dalam perkembangannya, operasi kebiri kemudian dinilai terlalu kejam dan tidak manusiawi. Kondisi ini mendorong dikembangkannya kebiri kimiawi.

Dalam jurnal berjudul Chemical Castration of Child Molesters-Right or Wrong?! (2017), kebiri kimiawi pertama dujicoba di Amerika Serikat pada 1944. Saat itu, diethylstilbestrol digunakan untuk menurunkan hormon testosteron.

Selain itu, ada Medroxyprogesterone acetate (MPA) yang dijual dengan merk dagang Depo-Provera. Sejak 1958, Depo-Provera digunakan untuk menekan libido pria.

Menurut jurnal Chemical Castration: International Experience and Chinese Path to Control Pedophilia Crimes (2018), latar belakang dikembangkannya kebiri kimiawi adalah kejahatan pedofilia.

Sebanyak 25 persen perempuan di Amerika Serikat pernah dicabuli saat masih kecil. Begitu juga dengan anak laki-laki yang 2,5 hingga 25 persen yang pernah dilecehkan semasa kecil.

Para pelakunya cenderung mengulangi perbuatannya. Dorongan seksual terhadap anak kecil dianggap tak bisa diredam mengingat kepuasan ini tak bisa didapatkan di tempat pelacuran.

California menjadi negara bagian pertama yang menerapkannya bagi pemerkosa anak yang sudah lebih dari sekali melakukan aksinya.

Selain Indonesia, ada 23 negara lain yang sudah menerapkan hukuman kebiri kimiawi.

Ada Amerika Serikat, Argentina, Australia, Estonia, Israel, Moldovia, New Zealand, Polandia, Rusia, Denmark, Jerman, Hongaria, dan Perancis. Ada juga Norwegia, Finlandia, Islandia, Lithuania, Inggris, Belgia, Swedia, Macedonia, Turki, dan yang paling baru, Ukraina.

Tiap negara mempraktikkan dengan ketentuan berbeda. Seperti di Indonesia, hukuman kebiri kimiawi menuai banyak kontra.

Di Australia, Rusia, Korea Selatan, dan Amerika Serikat, hukuman kebiri kimiawi bisa meringankan hukuman penjara pelaku kejahatan seksual. Pelaku kerap memanfaatkan celah ini untuk mengurangi masa tahanan mereka.

Di Amerika Serikat, ada sembilan negara bagian yang mempraktikkan kebiri kimiawi. Sebelumnya, negara-negara bagian ini memang menerapkan kebiri lewat operasi.

Anehnya, obat kebiri kimiawi yang digunakan yakni medroksiprogesteron asetat (MPA), tidak pernah disetujui Food and Drug Administration (FDA) hingga kini.

Di Belgia, kebiri kimawi tidak diatur dalam undang-undang. Hakim yang menentukan kebiri kimiawi sebagai syarat pembebasan narapidana, tentunya berdasarkan keinginan narapidana sendiri.

Korea Selatan adalah negara pertama di Asia yang melegalkan kebiri kimiawi pada 2011. Suntikan kebiri hanya diberikan kepada terdakwa kejahatan seksual yang usianya di atas 19 tahun.

Dikutip dari International Handbook of Penology and Criminal Justice (2007), Swedia, FInlandia, dan Jerman punya batas usia minimal penerapan kebiri kimiawi, antara 20 hingga 25 tahun.

Efektif atau tidak?

Lalu, bagaimana efektivitasnya?

Di Denmark dari tahun 1989 hingga 1996 ada 16 pelaku kejahatan seksual yang dihukum kebiri kimiawi. Hanya satu di antara 16 yang mengulangi kejahatannya.

John Hopkins University pernah meneliti 626 pelaku kejahatan seksual yang dikebiri kimiawi.

Angka residivisme atau pengulangan kejahatan lebih rendah dari 10 persen dalam kurun waktu lima tahun.

Di periode yang sama, tingkat residivisme total untuk kejahatan seksual mencapai 65 persen.

Namun validitas residivisme ini dibantah oleh Gilchrist dari University of Southern California.

Ia menyebut data soal residivisme didapat dari mereka yang melapor sendiri. Asumsinya, lebih banyak penjahat yang tak mengakui mengulangi perbuatannya karena takut dengan ancaman hukuman.

Sementara dalam studi metaanalis soal hukuman bagi pelaku kejahatan seksual, Losel dan Schmuker dari University of Erlangen-Nuremberg mengakui kebiri kimiawi efektif dalam mencegah pelaku mengulagi kejahatannya.

Tapi efektivitasnya juga dipengaruhi variabel lain seperti pengobatan psikologis.

Dilema dokter

Di antara banyak kontra soal penerapannya di Indonesia, salah satu yang terberat datang dari eksekutornya, yakni para dokter.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyatakan bakal menolak mengeksekusi dengan alasan melanggar kode etik kedokteran.

"Apabila itu disuntikkan, katakanlah tercapai efek kebirinya dalam waktu yang cukup lama tetapi sifatnya temporer, persoalannya, side effect yang ditimbulkannya," kata Ketua Biro Hukum dan Pembinaan Anggota IDI HN Nazar kepada Kompas TV.

MPA biasanya disuntikkan sepekan sebelum pelaku dibebaskan. Pemberiannya diberikan berkala agar efeknya bisa terus berjalan.

Sejumlah efek samping yang mungkin terjadi di antaranya kegemukan, berkeringat, kerusakan ginjal, dan keropos tulang. Hal ini dibenarkan oleh sejumlah penelitian.

Padahal dalam etika kedokteran, seorang dokter dilarang mengubah kondisi fisik pasien yang sudah normal ke kondisi yang abnormal.

Nazar menilai jika hukum kebiri kimiawi tetap diterapkan dengan segala efek sampingnya, itu sama saja dengan penyiksaan.

Para dokter yang nantinya akan direpotkan lagi dengan penyembuhan efek samping itu.

"Fungsi luhur dokter enggak mengizinkan. Walaupun itu atas nama hukuman, itu penyiksan. Sekarang kita siksa orang, terus kita sembuhkan, logika hukum apa itu?" ujar Nazar.

Apalagi, seorang predator belum tentu melakukan kekerasan seksual berdasarkan dorongan libido atau hormonal.Kelainan seksual bisa dipicu oleh kejiwaan.

Suntikan kebiri kimiawi dinilai bisa jadi berlebihan dan tidak tepat sasaran.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menilai hukuman kebiri kimia melanggar hak asasi manusia.

Pasalnya, hukuman kebiri merupakan bagian dari hukuman fisik yang dilarang dalam konvensi antipenyiksaan yang telah diratifikasi.

"Dalam konteks hak asasi manusia, itu enggak boleh, itu hukuman fisik apalagi sampai permanen kayak gitu menyalahi konvensi antipenyiksaan yang sudah kita ratifikasi sebagai UU," kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam kepada Kompas.com, Senin (26/8/2019).

Urusan yang lebih penting

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai penerapan hukum kebiri ini hanya balas dendam yang tidak mementingkan pertanggung jawaban terhadap korban. Negara selama ini dianggap hanya memfokuskan pada pelaku.

"Pemerintah harusnya sadar bahwa penanganan kekerasan seksual tidak selesai hanya sampai dengan menghukum pelaku seberat-beratnya. Hak korban dan keberlangsungan hidup korban jelas hal yang lebih penting untuk diperhatikan," kata Peneliti ICJR Anggara.

Ini mengingat sejumlah kasus perkosaan berakhir tragis.

Seorang gadis berusia 16 tahun di Bogor meninggal akibat depresi pada Juli 2018.

Sebelumnya, pada Januari 2018, anak korban perkosaan di Tambun Selatan mengakhiri hidupnya dengan meminum cairan sabun pencuci piring.

Pada Juli 2017 anak korban perkosaan di Lampung Tengah juga berusaha melakukan bunuh diri setelah diperkosa.

Kemudian pada Maret 2017, anak korban perkosaan di Kabupaten Bandung bunuh diri akibat depresi.

Sebelum itu, pada Mei 2016 anak korban perkosaan di Medan memutuskan bunuh diri setelah disuruh berdamai oleh polisi pada saat melaporkan kasusnya.

Upaya yang seharusnya dilakukan yakni peningkatan layanan terhadap korban hingga dukungan terhadap gerakan feminis.

Penerapan hukum kebiri dinilai tidak tepat diberlakukan di negara berpengasilan menengah ke bawah seperti Indonesia.

Sebab, kekerasan seksual Ketidaksetaraan gender dan ketidakseimbangan kekeasaan dinilai sebagai akar masalah yang tak cukup diselesaikan dengan hukuman.

Sumber: Kompas TV, Kompas.com (Ardito Ramadhan, Gloria Setyvani Putri)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi