Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masuk Daftar Kota Terindah di Asia Versi CNN, Ini Kisah Kotagede Yogyakarta

Baca di App
Lihat Foto
Shutterstock
Kotagede, Yogyakarta
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

JAKARTA, KOMPAS.com - Kotagede yang berlokasi di Yogyakarta masuk dalam daftar kota terindah di Asia versi CNN Internasional.

Dilansir pemberitaan Kompas.com, Rabu (28//8/2019), CNN Internasional merilis daftar kota terindah di Asia tersebut baru-baru ini.

Bagaimana kisah sejarah Kotagede Yogyakarta?

Kotagede adalah "Kota Besar"

Harian Kompas, 27 April 1992, memberitakan, seorang sarjana Indologie kelahiran Semarang, Jawa Tengah, bernama Hubertus Johanners van Mook, pernah menulis sebuah buku berjudul "Koeta Gede".

Buku tersebut diterbitkan pada Kolonial Tijschrift XV (Den Haag) pada tahun 1926.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Kotagede Yogyakarta Masuk Daftar Kota Terindah di Asia Versi CNN

Van Mook, yang pernah menjabat Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, merupakan tokoh yang berupaya keras untuk mengembalikan pemerintahan kolonial di Kotagede seusai masa pendudukan Jepang.

Namun, Van Mook terpaksa pergi dari Indonesia karena perselisihan pendapat dengan pemerintah pusat di Belanda soal cara memperjuangkan kepentingan Belanda di Indonesia.

Kotagede secara harfiah dalam bahasa Jawa sudah mengandung arti "kota besar".

Hal tersebut ditunjukkan dengan tumbuhnya pelestarian warisan ingatan masa lalu warga setempat.

Di Kotagede terdapat salah satu masjid kuno bernama Masjid Pleret dan di dindingnya tertulis catatan waktu tahun Jawa Jimawal 1509.

Dalam perhitungan Masehi pada tahun 1992, bertepatan dengan tahun 1587. Karena sudah disepakati, pada sekitar tahun itulah Masjid Pleret mulai dibangun.

Dengan demikian, pada 1509 itu seluruh kompleks keraton dan permukiman di Kotagede dibangun oleh Raja Mataram yang bertahta di sana yakni Panembahan Senopati.

Baca juga: Jelajah Makam Raja di Kotagede Yogyakarta

Meski sudah ada sejak empat abad yang lalu, Kotagede tidak pernah ditinggalkan masyaraktnya.

Dari balik tembok-tembok kuno bergaya campuran Hindu Islam, tampak ketekunan para abdi dalem (hamba raja) ketika tetap terus melestarikan tradisi lamanya di Kotagede.

Kerajinan perak

Pemberitaan Kompas.com, 3 Desember 2011, menyebutkan, Kotagede identik dengan kerajinan perak.

Walaupun jumlah perajin terus berkurang, perak menyiratkan spirit masyarakat yang dinamis dan egaliter.

Transformasi sosial menempatkan karya budaya itu dari awalnya peranti kerajaan, menjadi komoditas perniagaan masyarakat umum.

Bentuk peraknya juga beragam, mulai dari berbagai perhiasan seperti cincin, liontin kalung, gelang, dan anting.

Saat Ibu Kota Mataram berpindah ke Kerto, Imogiri yang berjarak 15 kilometer arah selatan Kotagede pada pertengahan abad ke-17, perkembangan perak semakin melesat.

Tidak hanya memenuhi pesanan dari kerajaan, tetapi semakin melebar menjadi komoditas perdagangan umum.

Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda tahun 1930-1940, produk perak dari Kotagede mampu menembus pasar Eropa, terutama Belanda.

Hingga saat ini, perak menjadi identitas Kotagede.

Akan tetapi, bukan satu-satunya karya budaya masa lampau yang hingga kini masih hidup di sini.

Baca juga: Kerajinan Perak Kotagede, dari VOC hingga Orde Baru

Pada 1613, setelah tidak lagi berstatus Ibu Kota Kerajaan Mataram, Kotagede masih terus menggeliat dan mengalami perubahan sosial yang begitu dahsyat.

Ketua Dewan Pengarah Pusat Dokumentasi Kotagede Chariis Zubair mengatakan, Kotagede merupakan kota tua yang unik jika dilihat dari sejarah kebudayaannya.

Selepas tidak lagi menyandang status Ibu Kota Kerajaan Mataram, di Kotagede muncul bangunan-bangunan rumah yamg menempati bekas-bekas lahan kerajaan.

Alun-alun, lapangan terluas simbol keberadaan keraton, pelan-pelan dihuni oleh masyarakat umum.

Demikian pula Kampung Ndalem yang merupakan Istana Mataram juga menjadi daerah hunian.

"Orang-orang yang membangun rumah-rumah itu adalah saudagar-saudagar kaya sebagai pengusaha perak. Mereka inilah yang membangun rumah joglo dengan arsitektur dari masa ke masa. Itu merupakan rumah mewah pada masanya," kata Zubair.

Oleh karena itu, hingga saat ini Kotagede masih memiliki peninggalan rumah Jawa berasitektur joglo atau limasan yang bercorak Hindu, Islam, dan masa kolonial Belanda.

Kehadiran orang-orang yang dibawa dari Bali pada masa pemerintahan Sultan Agung, yang hidup kaya sebagai pengukir kayu, juga menambah kekayaan budaya Kotagede.

Peninggalan orang-orang kalang seperti Omah Duwur adalah salah satu contoh arsitektur unik campuran antara Jawa dan Belanda.

(Sumber: Kompas.com/Silvita Agmasari, Aloysius B Kurniawan)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi