Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Operasi Senyap Revisi UU KPK, Menunggu Jokowi Menepati Janjinya...

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/ABBA GABRILLIN
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kuningan, Jakarta.
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Wacana revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Korupsi kembali ramai diperbincangkan.

Hal itu sebagai respons atas agenda rapat paripurna DPR secara tiba-tiba pada hari ini, Kamis (5/9/2019), membahas usulan Badan Legislasi (Baleg) terkait revisi UU KPK.

Rencana revisi UU KPK ini mengejutkan, karena tiba-tiba masuk dalam agenda rapat paripurna dan hari ini disetujui oleh seluruh fraksi untuk dibahas.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Dr. Zainal Arifin Mochtar, SH, LL.M, menilai, perjalanan revisi UU KPK masih jauh.

"Artinya, kan baru usulan Baleg. Memangnya UU KPK sudah berganti? Tidak juga. Itu kan usulan Baleg. masih panjang jalannya," kata Zainal saat dihubungi Kompas.com, Kamis (5/9/2019).

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menurut dia, revisi UU KPK tidak akan berlanjut jika pemerintah menolak untuk membahasnya.

Baca juga: Wakil Ketua KPK Sebut Revisi UU KPK Bentuk Kebohongan Pemerintah-DPR

Selain itu, menurut dia, para wakil rakyat periode 2019-2024 yang akan dilantik pada 1 Oktober 2019 juga belum tentu melanjutkannya.

Zainal juga berpendapat, Presiden yang memiliki dukungan kuat di parlemen juga punya kekuatan untuk menentukan apakah revisi UU KPK akan berlanjut atau tidak.

"Presiden masih ada, karena separuh legislasi itu di tangan Presiden. kalau Presiden menolak membahas, ya enggak jadi dong," ujar dia.

Ia mengingatkan janji kampanye Joko Widodo saat Pemilihan Presiden 2019 untuk memperkuat KPK.

"Saya sih sederhana saja. Jokowi ingat saja janjinya untuk memperkuat KPK, bahwa kalau ada usulan mengubah UU KPK dan isinya tidak memperkuat KPK, Jokowi harus ingat janjinya," kata Zainal.

"Jangan biarkan ada perubahan kalau memang niatnya memperlemah. Tapi kalau memperkuat, harus kita lihat bersama-sama," lanjut dia.

Mengecilkan peran KPK

Oleh karena itu, menurut dia, revisi UU KPK yang saat masih di Baleg, tak perlu dikhawatirkan.

Sementara itu, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo, saat dihubungi secara terpisah, menganggap revisi UU KPK yang diusulkan DPR bertujuan mengkerdilkan KPK.

"Banyak sekali di draf terbaru hasil dari Baleg hari ini, itu memang jelas arahnya adalah mengkerdilkan KPK. Bahkan ingin mengecilkan peran KPK dalam pemberantasan korupsi," kata Adnan saat dihubungi, Kamis sore.

Baca juga: Jika Revisi UU KPK Gol, KPK Jadi Lembaga Pemerintah tetapi Independen

"Sekaligus sebenarnya yang kami lihat (revisi UU KPK) ingin membatasi ruang gerak pegawai KPK di dalam upaya-upaya untuk memberantas korupsi," lanjut dia.

Adnan juga berharap Presiden meninjau ulang dan mengkritisi pasal-pasal yang ada di dalam draf usulan DPR.

Menurut dia, KPK adalah lembaga negara yang memiliki dukungan publik terbesar jika mengacu pada survei LSI 2018.

Seharusnya, hal itu menjadi landasan bagi pemerintah untuk memperhitungkan revisi UU tersebut sebagaimana aspirasi publik.

Seperti diketahui, wacana revisi UU KPK ini sudah berembus sejak 2017.

Baca juga: Tidak Masuk Prolegnas, Mengapa Revisi UU KPK Disetujui?

Namun, wacana tersebut urung dilakukan setelah mendapatkan penolakan dari KPK dan masyarakat.

Dalam wacana revisi UU KPK, disebutkan bahwa perubahan menyangkut beberapa hal di antaranya adalah penyadapan, pembentukan dewan pengawas, kewenangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3), serta status kepegawaian KPK.

Poin perubahan itu juga tak jauh berbeda dari rekomendasi Panitia Angket DPR RI tentang Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan KPK (Pansus Hak Angket KPK) yang telah diumumkan pada 2018 silam.

Substansi revisi yang disepakati Baleg meliputi enam poin perubahan kedudukan dan wewenang KPK.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi