Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 20 Mar 2017

Kurator seni, esais isu-isu sosial budaya, aktivis, dan seorang guru. Kontak: asriniwidjanarko@gmail.com

Zona Peradaban Tua Kalimantan dan Sejarah di Festival Seni

Baca di App
Lihat Foto
Dok Puji Rahayu
Puji Rahayu, Mengayuh Harapan, Mixed media on canva, 120cm x 100cm x 3cm, 2019.
Editor: Amir Sodikin

DALAM serangkaian catatan, semenjak artikel ini terbit, penulis akan menurunkan sejumlah tulisan berkaitan dengan Pameran Besar Seni Rupa 2019 “Kayuh Baimbai”di Samarinda, Kalimantan yang digelar pada September ini.

Seperti yang disebutkan di artikel pada Mei lalu, Festival seni kali ini, yang dirangkai dengan tajuk Kayuh Baimbai yang bermakna cair, memberi peluang kebebasan berekspresi tentang konsep “gotong-royong”, yang terbagi dalam tiga zonasi.

Tulisan pertama, tentang Zonasi Peradaban Tua Kalimantan, memamparkan sejumlah seniman dari beberapa provinsi di Kalimantan, yang memberi penampang ekspresi-ekspresi seni dengan melingkupi pembacaan atas sejarah ratusan tahun budaya di Pulau Kalimantan.

Dalam tulisan ini, tak semua seniman ditampilkan, namun hanya perwakilan yang dirasa penulis cukup mamadai, terutama hasil foto dan tampilan karya yang layak muat. Bukan nilai estetika yang tentunya dalam pameran nanti, zonasi ini akan banyak sekali karya-karya cukup segar dan layak apresiasi.

Baca juga: Kayuh Baimbai, Festival Seni dan Tiga Zonasi di Kalimantan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sementara itu, sejarah dan peradaban layaknya saudara kembar. Jika peradaban manifestasinya adalah kompleksitas majemuknya budaya, hal-ihwal kehidupan manusia sampai pencapaian puncaknya sebagai homo-sapiens—dengan daya spiritualitas dan olah nalar.

Maka, sejarah adalah tempat bersemayamnya waktu dan peristiwa, yang mana manusia-manusia memberi makna atas hidup dan bertahta di atasnya.

Sejarawan besar, filsuf ilmu sejarah dari Inggeris yang menulis A Study of History; Arnold J. Toynbee memang benar menyatakan bahwa peradaban tak pernah binasa.

Peradaban mungkin sekarat, namun tetap hidup; bahkan lahir kembali menjadi energi yang berkembang, karena peradaban sejatinya adalah eros (energi hidup).

Tradisi kemudian hadir, sebagai peristiwa-peristiwa bermakna yang mengikat kita, sebagaimana suatu generasi mewarisi generasi lainnya pada masa lalu.

Secara psikis dan kolektif baik objek berupa artefak, atau yang non-fisik seperti nilai-nilai lisan atau nasihat serta tembang-tembang (nyanyian), mantra, atau sebuah panggung yang terus-menerus diperbarui dalam bentuk dan kondisi yang berbeda namun secara substansi sama, dipergelarkan seperti ritual-ritual khusus, bahkan pada abad ke-21 ini.

Kalimantan memiliki ingatan-ingatan kolektif tentang ini, seperti kita tahu dalam konsep Archtypes dari sarjana Carl Gustaff Jung, bisa kita jelajahi proses yang yang lama, jauh sekali, bahkan satu millenium lalu semenjak dari daerah Kutai kuno, berciri Hindu.

Baca juga: INFOGRAFIK: Tol Balikpapan-Samarinda, Jalan Tol Pertama di Kalimantan

Kemudian berakarnya budaya Dayak sampai memori datangnya pengaruh Islam, misalnya di masyarakat Banjar atau kesultanan Islam di Pontianak benar-benar masih terasa pada masa modern ini.

Proses mengingat ini menjadi wujud pewarisan yang bagi seniman-seniman, menurut ilmuwan Richard Schechner, ahli seni, yang mengkaji antropologi berkelindan dengan ritual dalam seni pertunjukan, adalah tradisi sebagai sebentuk proses ingatan, spiritualitas sekaligus ekspresi hiburan dalam memanggungkan sesuatu.

Sebagai “artefak”, jika kita lihat dalam perspektif seni visual, seniman-seniman membawa tanda dan penanda kuno menghablur dan melabur seluruh teks-teksnya dalam bentuk lukisan, instalasi bahkan lukisan dinding seperti mural.

Ekspresi Para Perupa

Perupa Agustin Panca, dari Kalimantan Timur memanggungkan sebuah instalasi Hudoq Pelindung Budaya, yang menyimbolkan abstraksi figur roh para Dewa pemelihara alam yang melindungi masyarakat suku Dayak di Kalimantan Timur.

Hal yang diyakini menjaga kemakmuran sekaligus melindungi para petani. Simbol tentang hudoq melekat pada caping (topi) petani pada karyanya, yang membawa makna filosofi untuk melindungi kepala para petani dari sengatan matahari tatkala bercocok tanam.

Uniknya, Agustin memilih siluet burung Garuda, di tengah-tengah caping yang disusun berkomposisi rapi, mengingatkan lambang ideologi Pancasila. Adakah ini, sebuah harapan, secara normatif, Agustin percaya bahwa Pancasila identik dengan roh para Dewa pemelihara alam Kalimantan?

Agar integritas sebagai bangsa yang bersatu, meski berbeda-beda, tetap menjadi Indonesia? “Keindonesiaan, seperti juga hudoq, mungkin mampu menghindarkan sengketa dan petaka,” ujar Agustin yang dituangkan dalam narasi karya.

Sementara Doni Paul, dari Kalimantan Tengah, membaca tema Kayuh Baimbai sebagai manifestasi keseimbangan semesta. Ia mengeksplorasi Batang Garing, tradisi dari Dayak Ngaju, atau dalam bahasa Sangiang sering disebut Batang Haring: Pohon Kehidupan.

Batang Garing memiliki hikayat yang panjang, dari sejak tuturan para basir/pisor (rohaniawan Hindu Kaharingan) yang dalam memimpin ritual salah satunya adalah pada ritual Balaku Untung (memohon umur panjang) sampai kisah Raja Tunggal Sangomang yang menaiki Batang Garing yang disebut Batang Kayu Erang Tinggang.

Doni mengkonstruksi karyanya sesuai referensi kuno tentang Pohon berbentuk tombak (Ranying Pandereh Bunu) yang menunjuk ke atas, melambangkan Ranying Hatalla Langit. Bagian dasar pohon yang ditandai oleh adanya guci (katalatah) berisi air suci yang melambangkan Jatha Balawang Bulau atau dunia bawah.

Dari sana ada sebuah pesan, bahwa manusia semenjak dulu bahkan sampai saat ini, selayaknya menjaga keseimbangan antara yang profan dan yang sakral, bahwa dunia atas dan dunia bawah pada hakikatnya bukanlah dua dunia yang berbeda.

Sementara, para bomber, seniman-seniman street art, dengan juluk Kolektif Kampung Beting, dari Kalimantan Barat, kota Pontianak, menyukai lontaran sejarah lokalitas, menoleh kembali sebuah area kampung yang dianggap kumuh dan rawan kriminal, yang kini terus berbenah.

Mereka telah menyetubuh di antara lokasi dan ingatan atas Kalimantan Barat dan keseluruhan teritori Kalimantan, cikal-bakal provinsi-provinsi bagian dari Indonesia. Mereka menggambarkan dua tokoh: Sultan Hamid II dan Tjilik Riwut.

Dua tokoh penting yang bermuara pada eksistensi bangsa majemuk ini, berhutang pada masa lalu. Sultan Hamid II, sebagai sang desainer lambang Garuda Pancasila, tokoh tradisi dan militer yang dididik di Belanda pada awal abad ke-20, yang mewarisi Kesultanan Islam Kadriah, menjadi pusat kebanggan komunal warga Pontianak.

Demikian pula Tjilik Riwut, tokoh politik, Tentara Nasional Indonesia yang terlibat pada revolusi fisik pada perang kemerdekaan, yang menjadi sosok panutan warga Dayak dan Palangkaraya di Kalimantan Tengah.

Dua sosok ini memberi kronik atas hamparan besar budaya-budaya yang sudah dan akan terus bermanifestasi dalam hidup keseharian di Kalimantan, pertemuan-pertemuan kultural tokoh Melayu dan Tokoh Dayak dalam seni yang memberi kekayaan bagi Indonesia.

Puji Rahayu, perupa dari Kalimantan Barat, memilih seperti gugusan objek-objek kecil berdimensi menonjol keluar dari kanvas lukisan, semacam relief, sekilas kita melihat seperti perahu-perahu kecil berputar, membuat konfigurasi,

Puji memberi juluk Mengayuh Harapan, yang bisa menjadi refleksi personal seniman bahwa Pulau Borneo yang identik dengan kehidupan sungai, sepanjang peradaban tua-nya, memberi inspirasi terhadap pengalaman-pengalaman material pun spiritual baginya.

“Kayuh, yakni upaya mengayuh di sungai dengan perahu, adalah simbol perjuangan dalam menumpang “bahtera hidup” secara lahir dan batin. Gelombang rintangan yang menghadang tentu saja akan selalu terjadi di tiap perjalanan dari kita” ungkapnya, dalam narasi karya.

Menurut Puji, Mengayuh Harapan, bukan berarti telah lepas dari musibah, mengakhiri sebuah tantangan, namun silih berganti menghadapi yang terperih dan paling membahagiakan bagi tiap manusia, bumi dan seluruh alam dalam kehidupan ini.

Karya puji ini cukup menarik, jika dilihat dari sisi depan dan agak menyamping karena dari situ kita bisa lihat kayuh-kayuh itu sedang “bertarung dengan ombak”, semenjak awal, tatkala sauh hendak dihantarkan, menuju horizon sungai-sungai di Kalimantan tanpa batas.

Perupa lainnya, yang juga perempuan, Diyah Yulianti dari Kalimantan Selatan dan sekarang berdomisili di Yogjakarta memilih internalisasi batin-nya, mengungkap Dayak dan Kalimantan dengan lukisan berjuluk Soul House, berukuran 160 x 140 cm, Mixed Media.

Diah dengan lukisan ini, yang beraroma ekspresif, dengan ciri abstraksi atas dunia dalam diri, meminjam konsepnya dari Rumah Dayak. Masyarakat Kalimantan, sebuah keniscayaan memegang teguh warisan leluhur berupa rumah adat.

Rumah adat inilah, yang menurut Diah, selama bertahun-tahun, ia cukup lama sempat berpindah-pindah meneliti di bukit Meratus, dengan Suku Bukit, ingin terus-menerus memahami Rumah besar yang di huni kurang lebih 20 hingga 30 keluarga.

“Rumah Dayak ini, tak sekadar tempat berteduh, namun menjadi pusat kosmologi kehidupan Dayak, selain ada pranata-pranata sistem sosial di dalamnya” ungkap Diah.

Bagi Diah, warna putih yang melambangkan kebersihan jiwa, warna merah atau oranye simbol keberanian, pantang menyerah. Sementara kuning merepresentasikan kewibawaan dan juga hitam simbol keteduhan adalah warna-warna sangat lokal, artikulasi-artikulasi yang membawa karakter tentang kerukunan, relasi manusia dan alam serta segala jenis yang hidup.

Sedangkan bagi fotografer dan aktivis Viktor Fidellis, dari Kalimantan Barat, dengan foto-foto dukumenternya berdudul Dalo’ Kehidupan Setelah Kematian, meminjam keyakinan Uud Danum, manusia yang meninggal tidak langsung kembali ke kahyangan atau nirwana.

Untuk itu, harus dilaksanakan ritual pengantaran arwah. Terdapat beberapa ritual adat yang akan menentukan akan kemana ke mana arwah pergi.

Dalok merupakan ritual terbesar, yang diyakini kehidupan manusia sesuah mati menuju nirwana tanpa hambatan. Keluarga yang menggelar Dalok mengorbankan sapi, puluhan ekor babi, dan puluhan bahkan ratusan kepala ayam.

Dalok yang terbesar adalah Dalok Kodiring, yang mana tulang belulang jenazah dipindahkan dari makam ke rumah arwah yang disebut dengan Sandung, seperti yang dilihat di foto, tengkorak jenazah dijunjung bersama oleh keluarganya.

Ritual Dalok merupakan pilar penting dalam kepercayaan Kaharingan masyarakat Uud Danum. Fotografi, mampu membawa pengertian bahwa sebagai sebuah tontonan atau hiburan pada saat ini, ia menjadi gambaran warisan spiritual tentang ingatan-ingatan yang lama dan tak lekang oleh zaman.

Pelukis Yerie Yulanda, masih dari Kalimantan Barat memamerkan karyanya The Power of Dayak Iban, berukuran 90 cm x 120 cm, dengan cat minyak ia membawa Pulau Kalimantan dengan Dayak Iban dengan tato di punggung.

“Lukisan ini memvisualisasikan figur dari masyarakat suku Dayak Iban, yang membawa pesan karakter dari motif-motif tato tubuh khas suku Iban, di Kalimantan Barat; yang bersikap berani dan bersikap optimis menghadapi berbagai tantangan” ujarnya.

Yerie, menyampaikan dalam narasi karyanya bahwa ada yang tersirat dari lukisannya sekaligus perhatian personalnya terhadap ancaman kebakaran hutan, jantung utama kehidupan Dayak.

Tato-tato itu seakan jeritan histeris, masih mampukah komunitas Dayak Iban berani menghadapi ancaman perusakan hutan dari tangan-tangan pemilik modal besar?

Secara keseluruhan, di Zonasi Peradaban Tua ini, seniman-seniman masih konsisten memilih narasi-narasi tua, sejarah, konsep-konsep kosmologis, objek dan penanda tradisi yang ditawarkan kerangka kuratorial, yang sekalipun jarak visual, secara tegas tak begitu menampak dalam kehidupan keseharian, nilai-nilai masih tetap terasa di jantung Sungai Mahakam dan Kota Samarinda, sebagai pusat pameran nantinya di Big Mall.

Sementara itu, penulis sempat mewancarai Restu Gunawan, Direktur Kesenian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, sebagai penanggung jawab acara. Ia mengatakan, “Penyelenggaraan pameran kali ini dihelat di mal, sebuah pameran besar seni rupa di Samarinda, yang merupakan upaya mendekatkan diri pada publik umum. Sarana melepas jarak antara seni dan apresiannya.”

Restu menambahkan, jika pergelaran ini menguatkan juga dalam dua hal, yakni pergelaran mengundang seniman serumpun di Kalimantan menyoal etnik di Serawak, Malaysia dan Brunei, sebagai diplomasi budaya antar negeri.

Juga inti dari Zonasi Peradaban Tua mengingatkan bahwa jantung utama masyarakat Kalimantan adalah sungai, hutan dan segala ikhwal tentang yang hidup.

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi