Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mitos atau Fakta, Stres Jadi Pemicu dan Bikin Kanker Makin Parah?

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK
Ilustrasi stres
|
Editor: Resa Eka Ayu Sartika

KOMPAS.com - Kondisi stres disebut dapat memengaruhi kondisi kesehatan. Dalam kasus pengidap kanker, kondisi stres kronis yang terus menyerang dari waktu ke waktu dapat membahayakan tubuh.

Bahkan, dalam beberapa kondisi bisa menyebabkan peradagan hingga penyakit kardiometabolik.

Dalam beberapa kasus, stres dapat memengaruhi para pasien kanker. Namun pertanyaannya, seberapa erat kedua kondisi ini saling terkait?

Dilansir dari Live Science, Sabtu (7/9/2019) studi menunjukkan, stres dapat memengaruhi perkembangan kanker dengan beberapa cara.

Profesor ilmu populasi dari Moffitt Cancer Center di Florida, Shelley Tworoger mengatakan, pada seseorang yang sudah mengidap kanker tertentu, stres dapat mempercepat perkembangan dan memperburuk kanker.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Dari Gula hingga Keturunan, 11 Mitos Kanker yang Jangan Lagi Dipercaya

Meski begitu, Tworoger mengungkapkan, hingga saat ini belum ada studi yang menyatakan bahwa stres dapat menjadi pemicu kanker.

Stres dan tubuh manusia

Dalam kondisi normal, stres dapat membantu seseroang melalui situasi berbahaya. Menurut Tworoger, respons stres tubuh membuat jantung berdetak lebih kencang dan mempertajam penghilatan.

Dengan demikian, stres pada tubuh dapat membantu seseorang bertahan hidup.

Selama situasi yang penuh tekanan, tubuh menyalakan dua sistem saraf, pertama sympathetic nervous system yang memicu respons melawan atau lari. Kedua, hypothalamic pituitary adrenal (HPA) yang melepaskan hormon stres yang disebut kortisol.

Dalam jangka pendek, kedua sistem saraf ini dapat membuat tubuh melalui kondisi penuh tekanan. Kemudian ketika stres turun, maka kedua sistem ini akan mereda.

Meski begitu, stres dan tekanan yang terjadi terus menerus seperti kecemasan ekstrem, kesedihan, atau rasa sakit yang terus berlangsung, dapat membuat tubuh mengaktifkan kedua sistem tersebut dan melepaskan hormon stres.

Penelitian sebelumnya menunjukkan, aktivasi kronis dari kedua sistem ini dapat menyebabkan perubahan dalam tubuh. Perubahan tersebut antara lain metabolisme yang berubah, peningkatan kadar hormon tertentu, dan sebagainya.

Semua perubahan ini, lanjut Tworoger, berpotensi memengaruhi perkembangan kanker.
Selain itu, Melanie Flint, pengajar immunopharmacology di University of Brighton mengungkapkan, pelepasan hormon stres jangka panjang juga bisa menyebabkan kerusakan DNA dan memengaruhi perbaikan DNA.

Terlebih, stres kronis dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh. Dengan kata lain, hal ini bisa menjadi salah satu jalur masuknya sel-sel kanker.

Baca juga: Hati-hati, Berikut 5 Hal Tak Terduga yang Bisa Memicu Kanker

"Ada bukti yang berkembang bahwa stres kronis dapat memengaruhi risiko dan perkembangan kanker melalui disregulasi kekebalan," ujar profesor dan kepala Cancer Epidemiology and Health Outcomes di Rutgers Cancer Institute New Jersey, Dr. Elisa Bandera.

Lihat Foto
Shutterstock
Ilustrasi terapi radiasi untuk penderita kanker payudara
Risiko stres dan kanker

Dalam beberapa studi, stres kronis sering dikaitkan dengan peningkatan risiko pada sejumlah kanker, seperti kanker payudara dan beberapa kanker yang menyerang pencernaan.

Sebuah penelitian di Jepang yang diterbitkan pada tahun 2017 di jurnal Scientific Reports, melaporkan, adanya korelasi antara tingkat stres jangka pendek dan kejadian kanker pada lebih dari 100.000 orang.

Lebih lanjut, riset tersebut menyatakan, pada indvidu terutama pria yang secara konsisten memiliki tingkat stres tinggi untuk waktu lama, memiliki risiko 11 persen lebih besar terkena kanker daripada mereka yang memiliki tingkat stres rendah secara konsisten.

Selain itu, dalam penelitian lainnya, Tworoger dan timnya mengamati hubungan antara isolasi sosial dengan risiko kanker ovarium.

Mereka menemukan, orang yang terisolasi secara sosial memiliki risiko 1,5 kali lebih besar terkena kanker ovarium dibandingkan dengan mereka yang tidak.

Tworoger beserta tim juga menemukan, orang-orang yang memiliki lebih banyak gejala gangguan post-traumatic stress disorder (PTSD) memiliki risiko peningkatan kanker ovarium yang lebih besar.

Sementara analisis lain yang diterbitkan International Journal of Cancer menemukan hubungan signifikan antara stres pada pekerjaan dan risiko kanker kolorektal.

Namun, penelitian ini juga menyebutkan, bahwa stres pada pekerjaan tidak memengaruhi peningkatan risiko pada jenis kanker lain seperti prostat, payudara, atau ovarium.

Baca juga: Soal Penyebaran Sel Kanker, Ini Penjelasan Dokter...

Riset yang diterbitkan dalam jurnal Psychosomatic Medicine juga memperkuat temuan ini. Menurut penelitian tersebut, stres pada pekerjaan juga tidak berpengaruh pada peningkatan risiko kanker ovarium.

Sementara itu, sebuah studi yang diterbitkan pada 2018 di European Journal of Cancer menyebutkan hubungan antara stres dan kanker sebagai mitos semata.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Sumber: Live Science
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi