KOMPAS.com – Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Sumatera dan Kalimantan menimbulkan kabut asap di sejumlah daerah.
Tercatat Kepulauan Riau, Jambi, Palembang, Banjarmasin, Palangkaraya bahkan negara tetangga Malaysia terselimuti kabut asap.
Kualitas udara yang memburuk menjadi persoalan tersendiri, salah satunya yakni meningkatkan penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) di lokasi masyarakat yang terkena kabut asap.
Selain itu, jarak pandang yang terbatas bahkan membuat jadwal penerbangan dibatalkan.
Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan, mungkinkah masalah kabut asap dijadikan bencana nasional?
Manajer Kampanye Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Wahyu Perdana mengatakan terdapat beberapa indikator penetapan bencana nasional.
Baca juga: Riau Dikepung Kabut Asap, Greenpeace: Ini Indikasi Kegagalan Pemerintah
Bencana Nasional
Pertama soal berfungsi tidaknya pemerintah daerah, adakah akses terhadap sumber daya nasonal, dan apakah regulasi terhambat atau tidak.
“Kalau ketiganya terjadi itu baru bencana nasional,” ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Minggu (15/9/2019).
Menurut Wahyu, yang menjadi masalah saat ini, apakah pemerintah memandang kabut asap sebagai sebuah bencana ataukah tidak.
“Kalau buat kami ini bencana ekologis. Tapi dari cara pandang pemerintah kerapkali bencana hanya faktor alam padahal faktor luar banyak. Kerusakan itu termasuk bencana diperparah perilaku manusia,” katanya.
Wahyu menilai, kejadian kebakaran hutan yang terus berulang, terjadi karena kurang tegasnya penindakan hukum.
Ia mencontohkan tentang keputusan Mahkamah Agung, yakni pemerintah harus bertanggung jawab atas karhutla 2015 di mana salah satunya pemerintah harus membangun rumah sakit untuk korban asap, tetapi tidak ditindaklanjuti dan justru melakukan upaya hukum luar biasa melalui peninjauan kembali.
“Itu dimulai dari pemerintah. Ketidaktegasan penegakan hukum yang dimulai dari pemerintah itu sendiri, akhirnya berdampak kurangnya efek jera pada pelaku pembakaran sebelumnya,” kata dia.
Wahyu juga berpendapat, seharusnya penindakan juga bukan hanya pada pelaku lapangan. Tetapi seharusnya juga dari kalangan perusahaan.
Laporan lapangan, menurut Wahyu, lahan-lahan yang terbakar saat ini kebanyakan masih pada area yang sama. Beberapa berpindah namun masih dalam satu konsensi yang sama.
Baca juga: Soal Kabut Asap di Riau, BNPB: Ini Sudah Sangat Bahaya
Tindakan Tegas
Artinya, apabila menilai ini bagian dari kesengajaan semestinya masih sangat mungkin.
“Tapi kemudian, apakah punya ketegasan dalam penindakan hukum atau tidak," kata dia.
Adapun, untuk menindak tegas tentang kepemilikan konsensi, diperlukan adanya keterbukaan tentang siapa saja pemilik konsensi lahan yang terbakar.
Hal tersebut sebetulnya juga sudah terdapat dalam keputusan Mahkamah Agung.
Keterbukaan informasi penting, selain untuk diketahui publik, juga bermanfaat untuk tindakan penegakan hukum.
“Jangan seperti Wiranto kemarin yang konfrensi pers dan bilang ini masyarakat dan peladang membuka lahan. Kalau hanya pelaku lapangan yang ditindak, akan kesulitan,” ujarnya.
“Ini jadi PR, kalau pendekatan tak berani berhadapan pada korporasi dan hanya pelaku lapangan, saya pastikan kebakaran akan terulang lagi,” lanjutnya.
Wahyu memberi contoh, dari 2017-2019 angka titik panas naik terus dan masalah kabut asap juga terus terjadi.
Di luar konteks penetapan status bencana nasional, Wahyu berpendapat sebetulnya pelibatan militer, tentara sudah menunjukkan suatu kondisi kedaruratan.
Hal tersebut karena pelibatan militer dalam kegiatan non perang diharuskan izin terhadap presiden.
Baca juga: Kualitas Udara di Pekanbaru Masih Tak Sehat, Ini Imbauan BNPB
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.