Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenang HS Dillon, dari Pejuang HAM hingga Turban Khasnya yang Ikonik

Baca di App
Lihat Foto
Kompas.com/SABRINA ASRIL
Mantan Anggota Tim Gabungan Pemberantasan Korupsi, HS Dillon
|
Editor: Sari Hardiyanto


KOMPAS.com - HS Dillon, mantan aktivis hak asasi manusia (HAM) meninggal dunia di Rumah Sakit Siloam, Bali pada Senin (16/9/2019).

Tak banyak yang tahu mengenai sosok kelahiran Medan, 23 April 1945 itu.

Pemberitaaan Harian Kompas 9 Maret 1998 menyebutkan, Dillon merupakan putra bungsu dari pasangan Partap Singh dan Dhan Kaur, salah satu keluarga Singh terkemuka di Medan.

Sedari kecil, Dillon sudah tertarik dengan masalah pertanian dan pedesaan.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dillon kerap menghela napas panjang saat melihat nasib para petani, orang desa, dan buruh perkebunan dalam mengarungi hidup.

Terutama melihat nasib buruh di Sumatera Utara yang tetap menderita meski telah bekerja habis-habisan.

Dari beberapa faktor tersebut, Dillon memutuskan untuk terjun total ke bidang pertanian. Akhirnya, Dillon mengambil studi doktoral di bidang tersebut.

Disertasi doktoralnya yang berjudul Growth with Equity: the Case of the North Sumatera Smallholder Development Project telah mengantarkannya meraih gelar doktor di bidang ekonomi pertanian di Cornell University, Ithaca, New York, Amerika Serikat, pada tahun 1983.

Proyek yang dilatarbelakangi oleh nasib buruh perkebunan di Sumatera Utara itu akhirnya menjadi cikal bakal PIR (Proyek Inti Rakyat) di Labuhan Batu, Sumatera, yaitu pembagian lahan perkebunan negara kepada buruh dan masyarakat setempat.

Berkat ide-idenya di bidang pertanian, Dillon terpilih menjadi orang Indonesia pertama, sekaligus orang Asia pertama yang berhasil memenangkan pemilihan President, Graduate Students of Agriculture Economics di Cornell University.

Selain itu, ada hal menarik dari HS Dillon yakni soal penutup kepala bernama turban yang selalu ia kenakan.

Dilansir cnn.com, asal-usul turban berawal dari Kerajaan Mesopotamia.

Pakaian seperti turban ditemukan pada patung kerajaan tersebut pada tahun 2.350 sebelum masehi.

Penemuan tersebut dipercaya menjadi bukti bahwa turban muncul sebelum lahirnya agama-agama Ibrahim.

Baca juga: INFOGRAFIK: Mengenang Pejuang Hak Asasi Manusia, HS Dillon

Pelindung sinar matahari

Turban digunakan di India, Timur Tengah, Eropa, dan Afrika dengan tujuan untuk melindungi pemakai dari sinar matahari, hujan, atau cuaca dingin.

Di beberapa daerah, hanya orang-orang tertentu yang memiliki hak istimewa yakni orang dengan kepercayaan tertentu.

Kendati turban hanya dipakai oleh orang dengan kepercayaan tertentu, warga golongan lain juga diperbolehkan mengenakan turban tetapi harus dengan warna lain sehingga dapat diidentifikasi.

Sebagai contoh yang terjadi di Mesir dan Suriah, pada abad kedelapan orang-orang Kristen menggunakan turban berwarna biru, Yahudi mengenakan warna kuning, dan bangsa Samaria mengenakan warna merah, sementara orang-orang Muslim umumnya memakai warna putih.

Sebelum berdirinya Kesultanan Mughal pada abad ke-16, di India hanya anggota kerajaan dan pejabat tinggi yang diizinkan untuk memakai turban.

Pakaian tersebut dijadikan simbol status, sering kali dihiasi dengan bulu dan ornamen merak. Agama Hindu dengan sistem kasta yang ketat, melarang individu dari kasta yang lebih rendah memakai turban.

Saat Kesultanan Mughal yang membawa pengaruh islam berdiri, bentuk turban juga mengalami perubahan yang dahulunya kecil menjadi berbentuk lingkaran dengan ukuran yang lebih besar karena pengaruh budaya Persia dan Arab.

Pada tahun 1658, turban pernah digunakan sebagai alat untuk memisahkan penduduk oleh kaisar paling kontroversial Mughal saat itu, Aurangzeb.

Baca juga: Kenang HS Dillon, Ketua Komnas HAM Sebut Sering Ditelepon Pagi-pagi

Tanda Kebebasan

Aurangzeb berusaha untuk mencegah non-muslim menggunakan turban dan menyatakan bahwa hanya kelas penguasa Islam yang memiliki otoritas untuk memakainya.

Perlu diketahui, kesultanan tersebut tidak hanya dihuni oleh kaum muslim saja, tetapi juga dihuni oleh kaum Sikh.

Seiring berjalannya waktu, kaum Sikh pun bertambah dan memiliki pemimpin bernama Guru tegh Bahadur.

Pada saat itu, Guru Tegh Bahadur dieksekusi ke Delhi oleh Aurangzeb sehingga putranya bernama Gobind melakukan perlawanan dengan mendirikan kelompok pejuang yang dikenal dengan nama Khalsa.

Kelompok tersebut memperjuangkan agar kaum Sikh dapat memakai turban untuk menutupi rambut mereka yang tidak dipotong.

Penggunaan turban merupakan suatu tindakan pembangkangan kepada kaisar.

Mereka mengakhiri perbedaan kasta dan sebagai tanda kebebasan orang Sikh sekaligus menjadi ciri khas dengan memakai turban.

Baca juga: Meninggal di Bali, HS Dillon Dirawat Sejak 19 Agustus 2019

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi