KOMPAS.com - Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya disahkan oleh DPR pada Selasa (17/9/2019).
Diberitakan Kompas.com sebelumnya, Undang-Undang yang direvisi adalah UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Namun, yang menarik dalam rapat paripurna pengesahan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut hanya dihadiri oleh 102 anggota DPR. Hal itu sebagaimana diberitakan Kompas.com (17/9/2019).
Kendati demikian, rapat tetap digelar dan dinilai telah memenuhi syarat karena mengacu pada jumlah anggota DPR yang mengisi absensi.
Perlu diketahui, dalam rapat paripurna tersebut terdapat 289 anggota yang mengisi daftar hadir.
"Berdasarkan catatan, anggota yang menandatangani daftar hadir adalah 289, dengan kehadiran seluruh fraksi. Rapat paripurna kami nyatakan dibuka dan terbuka untuk umum," ujar Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah.
Berlangsung 30 menit
Dalam rapat paripurna tersebut hanya berlangsung selama 30 menit dan semua fraksi menyatakan kesetujuannya dengan pengesahan revisi Undang-Undang KPK.
Walaupun begitu, ada tiga fraksi yang memberikan catatan, antara lain Fraksi PKS, Gerindra, dan Demokrat.
Edhy Prabowo selaku Ketua Fraksi Gerindra menyebut, partainya mempermasalahkan soal proses pemilihan dewan pengawas KPK langsung oleh pemerintah dan tanpa dipilih langsung oleh lembaga independen.
"Kami hanya menyampaikan keberatan kami terkait dewan pengawas yang ditunjuk langsung tanpa dipilih lembaga independen, ini menjadi catatan kita semua bahwa ke depan kalau ini masih dipertahankan, saya, kami tidak bertanggung jawab terhadap penyalahgunaan semangat penguatan KPK itu sendiri yang ujungnya nanti justru malah melemahkan," kata Edhy.
Lalu, anggota Fraksi PKS Ledia Hanifa mengungkapkan, poin tentang proses pemilihan dewan pengawas KPK yang tidak sesuai dengan tujuan awal draf UU KPK, yaitu dibentuk tanpa intervensi.
"Sejak awal dewan pengawas yang profesional dan terbebas dari dari intervensi," ujar Ledia.
Kemudian, anggota Fraksi Partai Demokrat Erma Suryani Ranik mengingatkan, proses pemilihan dewan pengawas KPK oleh presiden dikhawatirkan akan membuat penyalahgunaan kekuasaan.
Ia pun tak sepakat dewan pengawas dipilih oleh presiden.
"Catatan khusus Partai Demokrat terkait dewan pengawas, Fraksi Demokrat mengingatkan abuse of power, apabila dewan pengawas dipilih presiden, fraksi demokrat memandang hematnya dewan pengawas ini tidak kewenangan presiden," kata Erma.
Baca juga: Kisruh KPK: Pimpinan Merasa Tak Diajak Bicara dan Respons DPR
Bendera Kuning
Sementara itu, para pegawai KPK mengibarkan bendera kuning di depan Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (17/9/2019).
Mereka keluar secara bersamaan dengan masing-masing orang memegang bendera kuning, sebagai tanda duka cita.
Aksi ini sebagai bentuk kekecewaan pegawai KPK atas revisi UU KPK yang telah disahkan DPR.
Pemerintah dan DPR hanya membutuhkan waktu 12 hari untuk membahas revisi UU KPK.
Mereka menganggap situasi KPK saat ini sedang dalam masa krisis.
Mereka pun merasa KPK dilemahkan.
"Kedekatan emosional karena mencintai KPK inilah yang membuat suasana sendu ketika KPK dikebiri. Hanya koruptor yang akan tertawa melihat KPK menjadi lemah seperti ini. Mereka seolah-olah menemukan kebebasan setelah 16 tahun dalam ketakutan akibat bayang-bayang OTT KPK," kata Ketua Wadah Pegawai KPK, Yudi Purnomo dalam keterangan persnya seperti diberitakan Kompas.com, Selasa (17/9/2019).
Anggapan perubahan Jokowi
Terpisah, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengingatkan, Presiden Joko Widodo tidak pernah merubah komitmennya soal pemberantasan korupsi di Indonesia.
"Pak Jokowi selaku presiden sama sekali tidak ada niatan dan sama sekali tidak ingin mencoba untuk melakukan perubahan atas komitmennya untuk memberantas korupsi. Itu harus dipahami semuanya," kata Moeldoko seperti dikutip Kompas.com, Selasa (17/9/2019).
"Jangan ada pandangan-pandangan yang mikir, Pak Jokowi sekarang berubah, tidak. komitmen dan seterusnya tidak (berubah)," sambungnya.
Ia menyebut, UU KPK tidak pernah dirubah semenjak 17 tahun lalu.
Tentu saja, Moeldoko menyebut, KPK telah mendapat banyak kritik dan saran dari masyarakat.
"Untuk itulah DPR menampung berbagai aspirasi itu. Sebagai bentuk wujud akumulatif dari semua itu adalah proses politik dan inisiasi dilakukan di DPR untuk direvisi," ujar Moeldoko.
Moeldoko menuturkan, Presiden Jokowi telah merubah beberapa poin revisi yang sebelumnya diusulkan DPR.
Di antaranya ialah permintaan Jokowi agar jangka waktu pengehentian penyidikan menjadi dua tahun yang sebelumnya hanya satu tahun.
Selain itu, Jokowi juga menolak KPK harus berkoordinasi dengan kejaksaan dalam melakukan penuntutan. Jokowi juga meminta Dewan Pengawas KPK dipilih langsung olehnya lewat panitia seleksi, bukan oleh DPR.
"Kalau pemerintah tidak berkomitmen mungkin tidak banyak koreksi. Buktinya banyak koreksi pemerintah untuk memberikan masukan, revisi itu. Jadi ini sebuah bukti nyata dari situ, Pak Jokowi muncul sikap komitmennya enggak berubah," kata dia.
Baca juga: Setujui Dewan Pengawas, Jokowi Dinilai Bisa Kontrol KPK
Praktik Legislasi Terburuk
Menanggapi disahkannya revisi Undang-undang KPK, Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani menyatakan, hal tersebut merupakan praktik terburuk legislasi dalam sejarah parlemen Indonesia pascareformasi.
"Pengesahan ini adalah praktik terburuk legislasi dalam sejarah parlemen Indonesia pascareformasi. Selain cacat formil, proses pembahasan UU KPK sama sekali tidak melibatkan stakeholders yang justru akan menjalankan UU KPK," ujar Ismail dalam keterangan tertulisnya, Selasa (17/9/2019).
Menurut Ismail, seharusnya legislasi yang baik ialah yang juga memastikan pemetaan dampak bagi setiap pihak sehingga kehadiran prosuk hukum baru tersebut dapat diterima dan berjalan efektif.
Seharusnya, lanjut Ismail, KPK dalam hal ini harus juga turut dilibatkan.
Ia juga menjelaskan, materi-materi pada hasil revisi UU KPK justru akan melemahkan serta memangkas energi pemberantasan korupsi.
"Korupsi legislasi adalah kinerja legislasi yang memungkinkan dan memudahkan orang melakukan tindak pidana korupsi atau membuat lembaga-lembaga pemberantasan korupsi tidak bekerja efektif," paparnya.
Baca juga: Simbol Kematian KPK, Replika Makam di Gedung KPK Ditaburi Bunga
Sumber: Kompas.com (Rakhmat Nur Hakim, Ihsanuddin, Christoforus Ristianto)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.