Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

“Dwifungsi Polri”(3): Polisi Jadi Pejabat Publik, Perlukah Khawatir?

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/AJI YK PUTRA
Kapolda Sumsel Irjen Pol Firli Bahuri yang saat ini terpilih sebagai ketua KPK.
|
Editor: Heru Margianto


Ini adalah artikel serial tentang “Dwifungsi Polri”. Sebelum membaca ini, baca artikel pertama dan kedua.

-----------------

KOMPAS.com - Sejumlah polisi menduduki jabatan strategis di sejumlah lembaga dan kementerian. Bahkan, ada yang menjadi duta besar. 

Kapolri Tito Karnavian mengakui, ada banyak jenderal-jenderal "nganggur" di institusi Polri karena posisi yang tersedia memang tak banyak. Baca juga: "Dwifungsi Polri" (2): Karpet Merah Jokowi untuk Pak Polisi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jadilah para perwira polisi melanglangbuana di luar institusi.

Lalu apa yang terjadi jika polisi “menginfiltrasi” lembaga lain? Baca juga: “Dwifungsi Polri” (1): Eranya Polisi Mengurus KPK, Beras, hingga Diplomasi

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan, yang sudah pasti, tersumbatnya saluran-saluran partisipasi masyarakat karena sudah dipenuhi dari unsur-unsur kepolisian.

"Ini bisa jadi masalah di kemudian hari kalau tak segera diantisipasi," kata dia.

Kedua, lembaga-lembaga yang dipimpin polisi boleh jadi akan bekerja dengan cara-cara kepolisian. Cara yang dikhawatirkan, tentu bukan cara-cara yang baik.

"Penggunaan pendekatan hukum dengan mengabaikan rasa keadilan dalam masyarakat, kriminalisasi, atau kebiasaan "86" untuk menutupi kasus, itu sudah menjadi rahasia umum sebagai perilaku yang identik dengan kepolisian, meski tak semua polisi seperti itu," ujar Bambang.

Ketiga, penempatan polisi bisa berbalik menjatuhkan kepercayaan publik terhadap Polri.

Dalam konteks Irjen Firli Bahuri yang terpilih menjadi Ketua KPK dan menuai protes, jika ia tak bisa memenuhi ekspektasi masyarakat akan KPK maka citra Polri akan tercoreng.

Ketidakpercayaan publik tak akan mengarah kepada KPK, melainkan ke Polri di mana Irjen Firli berasal.

Berdasarkan survei Litbang Kompas, tingkat kepuasan masyarakat terhadap Polri mencapai rekornya pada 2018, dengan 82,9 persen dari 800 responden dari enam provinsi mengaku puas.

Namun perlu dicatat, citra Polri pernah jatuh hingga 29,7 persen pada 2011. Tahun itu, Polri digempur dengan kasus rekening gendut dan kasus Cicak vs Buaya.

Angka itu sempat naik menjadi 46,1 persen pada 2012, namun kembali jatuh ke titik terendahnya yakni 23,4 persen pada 2013. Saat itu, muncul kasus korupsi simulator SIM, kasus rekening gendut yang terulang, hingga konflik TNI-Polri.

Aib Polri yang masih mengganjal ini bisa terakumulasi dan kembali menjatuhkan citra mereka. Kampanye "Promoter" polisi bakal sia-sia jika kepercayaan publik tercoreng.

"Ini sangat berbahaya bagi tatanan negara. Bagaimanapun juga fungsi kepolisian harus ada dalam negara," kata Bambang.

Bambang mengatakan seharusnya Polri belajar dari pencabutan dwifungsi ABRI di awal reformasi.

Amanat yang besar bagi Polri sesuai UU No 2/2002 seharusnya membuat Polri tetap fokus pada tugas pokok dan fungsinya sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, maupun penegak hukum.

"Artinya, Polri harus lebih fokus melakukan reformasi ke dalam dari pada masuk ke lembaga-lembaga lain," ujar Bambang.

Polisi juga memiliki kemampuan

Tidak tepatnya posisi Irjen Firli dan kawan-kawan polisinya di lembaga strategis, tentu baru kekhawatiran semata. Boleh jadi, mereka akan berprestasi dan memperbaiki lembaga yang dipimpinnya.

Hal ini diamini oleh Kepala Pusat Riset Ilmu Kepolisian dan Kajian Terorisme Universitas Indonesia Benny Jozua Mamoto.

Purnawirawan Polri itu mengatakan, polisi yang ditempatkan di instansi publik boleh jadi punya rasa tanggung jawab yang lebih besar.

"Karena taruhannya nama baik Polri sehingga diharapkan bisa berkontribusi lebih dibanding yang lain," kata dia.

Menurut Benny, pejabat publik tak sembarangan dipilih. Ada Tim Penilai Akhir (TPA) yang terdiri dari beberapa menteri dan kepala lembaga dengan mempertimbangkan kompetensi dan kemampuan manajerialnya.

"Calon yang diajukan dari Polri memiliki kemampuan manajerial, hukum, menertibkan lembaga," ujar Benny.

Seperti Budi Waseso, kata Benny, sosok tegas yang ditempatkan di institusi yang banyak penyimpangan.

Begitu pula beberapa duta besar dari Polri, menurut Benny memang mereka pernah bertugas di National Central Bureau Interpol atau atase kepolisian di negara lain.

Untuk itu, Benny meminta agar penempatan polisi di lembaga selain Polri tak perlu diributkan.

"Kalau bicara lazim atau tidak lazim, yang dinilai kinerjanya. Kalau dinilai tidak mampu, tinggal dikritik supaya diganti, tapi jangan dibentuk opini yang merugikan pihak tertentu," kata dia.

Selesai.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi