Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ironi dari DPR, Mengapa Pembahasan RUU KPK Sangat Cepat?

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT
Menkumham Yasonna Laoly (kanan) berjabat tangan dengan Wakil Ketua DPR selaku pimpinan sidang Fahri Hamzah (ketiga kanan), disaksikan Ketua DPR Bambang Soesatyo (kedua kiri) dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon (kedua kanan), dan Utut Adianto (kiri) usai menyampaikan pandangan akhir pemerintah terhadap revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/9/2019).Pemerintah dan DPR menyepakati pengesahan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dihadiri oleh 80 orang anggota DPR.
|
Editor: Sari Hardiyanto


KOMPAS.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Rapat Paripurna, Selasa (17/9/2019).

Perjalanan revisi ini berjalan sangat singkat. Sebab, DPR baru saja mengesahkan revisi UU KPK sebagai inisiatif DPR pada 6 September 2019.

Artinya, hanya butuh waktu sekitar 12 hari hingga akhirnya UU KPK yang baru ini disahkan.

Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) UI Aditya Perdana mengatakan pengesahan revisi UU KPK yang telah dilakukan merupakan sebuah ironi. Pasalnya hal tersebut menuai penolakan di tengah masyarakat.

Kebiasaan selama ini, revisi UU yang mendapatkan penolakan besar di publik akan lama berproses di DPR. Setidaknya bisa sampai 2 tahun.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Kenapa lama? karena substansi pembahasannya menjadi perdebatan yang panjang, baik dari sisi Pemerintah atau antar anggota DPR sendiri," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Rabu (18/9/2019).

Untuk menampung aspirasi publik, kebiasaan saat ini prosesnya lama, karena harus menyerap aspirasi dari masyarakat, unsur LSM dan Pemerintah.

"Nah untuk yang revisi UU KPK kemarin, menurut saya sebuah ironi. Ini sangat cepat, kilat banget cuman 13 hari. Itupun sudah termasuk surat dari Presiden (surpres), kemudian langsung dibahas. Biasanya kan lama," jelas dia.

Aditya mengatakan, banyak orang menduga bahwa revisi UU KPK kemarin sudah disiapkan sejak lama.

"Karena dugaan banyak orang dan saya percaya hal itu, revisi UU KPK sudah disiapkan sejak lama. bisa jadi sudah disiapkan setelah Pilpres selesai, atau bahkan sebelumnya," lanjutnya.

Baca juga: Revisi UU KPK, dari Pengibaran Bendera Kuning hingga Anggapan Jokowi Telah Berubah

Terkesan Aneh

Menurut Aditya, terdapat satu anomali mengapa pembahasan sebuah UU dilakukan dengan begitu cepatnya.

Biasanya, Aditya melanjutkan, anggota DPR sering malas melakukan pembahasan UU ketika masa jabatannya akan habis.

"Di detik-detik terakhir masa jabatan DPR, mengapa semangatnya minta ampun untuk menghasilkan UU. Ini menurut saya aneh. Kalau biasanya di akhir-akhir masa jabatan, kecenderungannya akan malas-malasan, tahun 2014 juga pernah kejadian seperti ini," paparnya.

Aditya menyebut, ada pola yang aneh dalam proses revisi UU KPK tersebut. Selain prosesnya sangat cepat, juga tidak mempertimbangkan masukan publik.

"Ketika tidak mendengarkan aspirasi publik atau masyarakat, menurut saya ini ada yang salah. Karena di dalam negara demokratis, pembahasan atau pembentukan sebuah kebijakan maka harus mendengarkan partisipasi publik," katanya lagi.

Menurutnya, dari sisi regulasi sudah ada yang mengatur soal itu, bahwa partisipasi masyarakat harus dilibatkan dan didengarkan oleh DPR dan pemerintah, dan ini dilanggar selama proses revisi UU KPK.

Ia merasa ada yang salah dan setuju bila rekan-rekan di ICW melakukan judicial review, karena prosesnya ada yang salah.

"Dalam hal ini DPR telah menafikkan suara publik, yang memang perlu penjelasan apa yang mau dibahas, pro kontra pasti ada. Dan itu menurut saya problem serius, kan Pak jokowi jadinya dikritik banyak pihak karena memang ada persoalan janji-janji yang dianggap tidak ditepati," papar Aditya.

"Saya khawatir bila problem seperti ini terulang di periode kedua Jokowi dan DPR yang baru, kita-kita ini hanya menjadi sekedar tempelan, itu yang bahaya untuk demokrasi," pungkasnya.

Baca juga: Jokowi, Pengembalian Mandat Pimpinan dan Revisi UU KPK

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi