Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Balik Impor Sampah Plastik Berkedok Bahan Baku Industri

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.COM/Yoga Sukmana
Dirjen Bea Cukai Heru Pambudi di depan kontainer berisi sampah plastik, Jakarta, Rabu (18/9/2019)
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Impor sampah plastik bercampur limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) marak terjadi di Indonesia akhir-akhir ini.

Diberitakan Kompas.com (18/9/2019), sepanjang 2019, Bea Cukai sudah memulangkan (reekspor) sebanyak 331 kontainer sampah plastik ke negara asalnya.

Kontainer-kontainer itu berasal dari Australia, Belgia, Perancis, Jerman, Yunani, Belanda, Slovenia, Amerika Serikat, Selandia Baru, Hongkong dan United Kingdom.

Impor sampah plastik tersebut digunakan untuk tujuan bahan baku industri, terutama industri pembuatan kertas.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dihubungi melalui sambungan telepon, Kamis (19/9/2019), pakar lingkungan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Dwi Sawung mengatakan, impor sampah plastik tersebut bisa berakibat fatal bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat Indonesia karena tak semua sampah plastik bisa didaur ulang.

"Sampah plastik yang tidak bisa didaur ulang akhirnya dibakar dan menyebabkan racun, adapula yang dibuang sembarangan akhirnya mencemari sungai dan laut," ucapnya.

Dwi menambahkan, sampah plastik tersebut juga berefek pada kesehatan masyarakat Indonesia, seperti kasus yangt terjadi di daerah Pasar Kemis, Tangerang, di mana terdapat industri pembuatan kertas HVS.

"Ada banyak sisa sampah plastik dari industri tersebut. Sampah-sampah sisa produksi itu ada yang dibakar dan dibuang di lingkungan sekitar."

"Akibatnya, banyak masyarakat di sana yang terkena gangguan saluran pernapasan seperti ISPA dan gangga kesehatan lainnya," tambahnya.

Mengatasi hal ini, Indonesia terus melakukan tindakan tegas seiring maraknya impor sampah plastik bercampur limbah bahan beracun dan berbahaya (B3).

Baca juga: Indonesia Jadi Tujuan Ekspor Sampah Plastik Negara Maju? Ini Bahayanya

Berdasarkan laporan Kompas.com, Rabu (18/9/2019), Sepanjang 2019 Bea Cukai sudah memulangkan kembali (reekspor) sebanyak 331 kontainer sampah plastik ke negara asalnya.

Namun, Dwi berpendapat langkah tersebut hanya efektif untuk jangka pendek. Bagi Dwi, satu-satunya cara untuk mengatasi masalah impor sampah plastik dalam jangka panjang adalah dengan membenahi pengelolaan sampah di Indonesia.

"Langkah terbaik, yakni membenahi pengelolaan sampah di Indonesia sehingga sumber bahan baku yang ada di indonesia bisa masuk dalam industri. Jadi, enggak perlu lagi impor," ujar dia.

Meski sudah ada undang-udang yang mengatur pelarangan impor sampah, Dwi menuturkan para pelaku industri seringkali berkilah. Mereka berdalih bahwa barang yang mereka impor tersebut adalah bahan baku.

"Di dalam undang-undang itu sudah jelas dilarang impor sampah. Tapi, pelaku industri berkilah bahwa itu bahan baku. Kalau bahan baku harusnya tidak dalam bentuk sampah seperti itu," ucapnya.

Baca juga: Indonesia Pulangkan Sampah Plastik Australia yang Terkontaminasi B3

Profesi Baru

Sementara itu, melansir pemberitaan VOA Indonesia (29/1/2019), beberapa masyarakat Indonesia justru menjadi lahan pendapatan bagi mereka.

Tak sedikit warga yang menggantungkan hidup sebagai pemilah sampah plastik impor, seperti kasus yang terjadi pada pasangan suami istri asal Mojokerto, Saji dan Supiati.

Supiati dan Saji telah menjalani profesi sebagai penyortir sampah plastik impor sejak 2008.

Hasil sortir yang dijualnya bisa mencapai Rp 1,6 juta, tergantung kemampuannya memilah sampah plastik impor itu.

Dari pekerjaannya selama ini, mereka berhasil menyekolahkan anak-anaknya, bahkan membangun rumah sendiri.

Menanggapi hal tersebut, Dwi mengatakan dampak positif dari adanya impor sampah plastik tersebut tak sebanding dengan akibat yang ditimbulkannya.

"Ada banyak pekerjaan lain yang lebih layak. Dan itu efek negatifnya lebih besar daripada keuntungannya," ucapnya.

Menurut Dwi, adanya impor sampah plastik ini juga menciderai kebanggaan negara.

"Ini kan mengurangi kebanggaan negara. Kok mau kita jadi tempat sampah negara lain. Sebaiknya, masyarakat diminta untuk mengolah atau memilah sampah dari negara sendiri. Itu lebih baik," ungkapnya.

Baca juga: Kritik Navicula di Soundrenaline 2019, Korupsi hingga Sampah Plastik


Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi