Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Selain RKUHP, Ini Isi RUU Lain yang Dianggap Kontroversial

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA
Sejumlah mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia berunjuk rasa di depan gedung DPR, Jakarta, Selasa (24/9/2019).
|
Editor: Resa Eka Ayu Sartika

JAKARTA, KOMPAS.com - Penolakan mahasiswa terhadap sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) masif disuarakan saat demonstrasi yang berlangsung di sejumlah daerah.

Dalam aksinya, massa menuntut beberapa hal, seperti meminta pemerintah membatalkan UU KPK versi revisi yang baru disahkan DPR.

Selain itu, massa juga meminta Presiden Joko Widodo membatalkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Protes juga disuarakan terhadap sejumlah RUU yang dinilai kontroversial, di antaranya:

RUU Pertanahan

Salah satu tuntutan massa saat demonstrasi adalah menolak pengesahan RUU Pertanahan. Menurut Sekretaris jenderal konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika, setidaknya ada delapan persoalan dalam RUU ini.

Persoalan pertama, RUU Pertanahan dinilai bertentangan dengan UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Berpakaian Serba Hitam, Mahasiswa Protes UU KPK hingga Tolak RUU Pertanahan

Meski dalam konsiderannya dinyatakan bahwa RUU ini menyempurnakan hal-hal yang belum diatur dalam UUPA, namun Dewi menyatakan, substansinya semakin menjauh dan saling bertentangan.

Kemudian kedua mengenai hak pengelolaan dan penyimpangan hak menguasai negara. Dewi mengatakan, HPL selama ini menimbulkan kekacauan penguasaan tanah serta menghidupkan kembali domain verklaring.

Domain verklaring adalah suatu pernyataan yang menetapkan suatu tanah menjadi milik negara jika seseorang tidak dapat membuktikan kepemilikannya.

Lebih lanjut, anggota Fraksi PDI-P, Arif Wibowo mengatakan, domain verklaring merupakan konsepsi kolonial yang rentan menjerat masyarakat hukum adat.

"Mereka masih rentan terkena prinsip domain verklaring, sebagaimana terlihat dalam Pasal 20 RUU Pertanahan," ucap Arief.

Sementara Dewi menilai, hak menguasai dari negara yang ditetapkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 dinilai diterjemahkan secara menyimpang dalam RUU ini. Hal ini kemudian melahirkan jenis hak baru yang disebut Hak Pengelolaan.

RUU ini juga dinilai tidak memiliki langkah konkret dalam administrasi dan perlindungan hak ulayat masyarakat adat.

Persoalan selanjutnya adalah hak guna usaha (HGU). Menurut Dewi, di dalam RUU Pertanahan, HGU diprioritaskan bagi pemodal skala besar.

Bahkan, RUU tersebut juga tidak mengatur keterbukaan informasi HGU seperti yang diamanatkan dalam UU Keterbukaan Informasi Publik.

Adapun, RUU ini juga mengatur mengenai Hak Pakai yang diatur dalam Pasal 34. Hak Pakai digunakan untuk memberikan konsesi pada usaha perkebunan, peternakan, perikanan, dan pergaraman yang berdasar pada penggunaan tanah.

Baca juga: Masalah-masalah dalam RUU Pertanahan yang Bakal Rugikan Warga Sipil

Arief menilai, aturan ini ambigu dengan ketentuan Hak Guna Usaha.

"Jika hak pakai dapat diberikan untuk konsesi perkebunan, peternakan, penggaraman, lantas untuk apa diatur adanya hak guna usaha?" tutur Arif.

Selain itu, pembatasan maksimum perkebunan tidak mempertimbangkan luas wilayah, kepadatan penduduk, dan daya dukung lingkungan.

Dewi juga mengungkapkan, RUU Pertanahan mengatur impunitas penguasaan tanah skala besar atau perkebunan apabila melanggar ketentuan luas alas hak.

Kemudian RUU Pertanahan dianggap menyamakan konflik agraria dengan sengketa pertanahan biasa. Bahkan dalam RUU, penyelesaian konflik diselesaikan melalui mekanisme win-win solution atau mediasi dan pengadilan pertanahan.

Lalu kemudian terdapat kontroversi mengenai pendaftaran tanah. Dewi menerangkan, RUU Pertanahan semata-mata hanya mempercepat sertifikasi tanah.

Terakhir, RUU Pertanahan akan membentuk bank tanah yang dinilai hanya menjawab kelhan investor soal hambatan pengadaan dan pembebasan tanah untuk pembangunan infrastruktur.

"Jika dibentuk, bank tanah berisiko memperparah ketimpangan, konflik, dan melancarkan proses-proses perampasan tanah atas nama pengadaan tanah dan meneruskan praktik spekulan tanah," ucap Dewi.

RUU Minerba

Proses revisi RUU tentang Perubahan UU Mineral dan Batubara (Minerba) telah berlangsung selama bertahun-tahun.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Merah Johansyah mengatakan, RUU Minerba memiliki banyak kelemahan. Seperti dikutip dari laman Mongabay, Merah menuturkan, ada pasal yang hilang mengenai korupsi.

Pasal 165, misalnya. Dalam pasal ini, pejabat yang mengeluarkan izin pertambangan bermasalah dengan menggunakan penyalahgunaan wewenang dapat dijerat dengan tindak pidana korupsi. Namun pasal ini dihilangkan.

Baca juga: RUU PKS Belum Bisa Disahkan, DPR Minta Mahasiswa Bersabar

RUU Ketenagakerjaan

Selain kedua RUU di atas, RUU Ketenagakerjaan juga menjadi sorotan. Dari draf RUU yang beredar, terdapat 14 pasal revisi yang ditolak oleh para asosiasi buruh.

Pasal-pasal yang menjadi kontroversi antara lain, pasal 81 mengenai cuti haid yang bakal dihapus lantaran nyeri haid dapat diatasi dengan obat antinyeri.

Kemudian terdapat Pasal 100 yang menyebut akan menghapuskan fasilitas kesehatan. Lalu ada pula Pasal 151-155 mengenai penetapan PHK.

Dalam draf RUU tersebut, keputusan PHK hanya melalui buruh dan perusahaan tanpa melalui persidangan. Dalam revisi tersebut, pasal mengenai uang penghargaan masa kerja dan penambahan waktu kerja bagi buruh yang dihapuskan.

Namun, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri membantah draf tersebut bersumber dari pemerintah. Menurutnya, draf yang berisi revisi UU Ketenagakerjaan tersebut hoaks dan tidak jelas sumbernya.

RUU Pemasyarakatan

DPR dan Pemerintah sepakat untuk segera mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan).

RUU ini pun juga menuai kontroversi khususnya pada poin terkait pemberian pembebasan bersyarat terhadap narapidana kasus kejahatan luar biasa, salah satunya korupsi.

Selain itu berdasarkan Pasal 9 RUU Pemasyarakatan, narapidana berhak mendapatkan pendidikan, pengajaran, kegiatan rekreasional, serta kesempatan mengembangkan potensi.

Namun, RUU ini tidak menjelaskan secara spesifik kegiatan rekreasional yang dimaksud.

Baca juga: Dalam RUU Pemasyarakatan, Narapidana Berhak Rekreasi

Menanggapi hal ini, anggota Komisi III dari Fraksi PPP, Arsul Sani menilai, kegiatan rekreasional yang tercantum bukanlah aktivitas plesir atau jalan-jalan melainkan hak untuk bertemu dengan keluarga.

"Rekreasi itu bukan jalan-jalanlah, itu kalau sepemahaman saya, maksudnya adalah misalnya ketemu sama keluarga dan itu berlaku untuk semuanya," ujar Arsul

Selain itu, Wakil Ketua Komisi III Erma Ranik mengatakan, rancangan UU Pemasyarakatan yang akan disahkan dalam waktu dekat itu, meniadakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Dengan demikian aturan mengenai pemberian pembebasan bersyarat kembali ke PP Nomor 32 Tahun 1999.

Sumber: Kompas.com (Dani Prabowo, Ambaranie Nadia Kemala Movanita, Ihsanuddin, Kristian Erdianto), Mongabay

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi