Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soal Penangkapan Para Aktivis, Apa yang Terjadi dengan Pemerintahan Jokowi?

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/PUSPA PERWITASARI
Presiden Joko Widodo menyampaikan sikap tentang rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (20/9/2019). Presiden meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menunda pengesahan RKUHP dan mengkaji ulang sejumlah 14 pasal dalam RKUHP yang rencananya akan disahkan pada 24 September 2019. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/ama.
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Setelah penangkapan jurnalis, Dandhy Dwi Laksono dengan dugaan menebarkan kebencian berdasarkan SARA melalui media sosial, polisi kemudian turut menangkap mantan wartawan Tempo, Ananda Badudu pada Jumat (27/9/2019) pagi.

Berdasarkan laporan dari Wakil Koordinator KontraS, Feri Kusuma, Ananda Badudu ditangkap terkait dana yang dihimpunnya melalui media sosial guna disalurkan untuk aksi demonstrasi mahasiswa di depan Gedung DPR/MPR.

Dua kasus ini merupakan proses penangkapan akibat unggahan yang ditulis Ananda maupun Dandhy di media sosial yang dinilai menyalahi aturan pemerintah.

Lantas, dalam mengungkapkan kritik atau pendapat di media sosial, apakah saat ini justru tindakan penangkapan menjadi mempersempit ruang ekspresi di media sosial?

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Aditya Perdana mengungkapkan bahwa atas penangkapan dua aktivis hari ini membuat pemerintahan Jokowi berada dalam keadaan yang cukup memprihatinkan.

"Penangkapan aktivis, menurut saya itu sebenarnya tidak baik dan tidak bagus untuk kehidupan demokrasi," ujar Aditya saat dihubungi Kompas.com pada Jumat (27/9/2019).

Tak hanya itu, Aditya juga menyayangkan kejadian penangkapan tersebut. Sebab apa yang terjadi bertabrakan dengan pernyataan Jokowi ketika di Istana saat menerima para tokoh masyarakat tempo hari.

"Ia (Jokowi) mengatakan, Pak Jokowi akan berusaha keras untuk mempertahankan demokrasi. Ini kan jadi semacam ironi untuk peralihan kondisi," ujar Aditya.

Setelah pertemuan itu terjadi, kemudian muncul kenampakan pihak-pihak yang berseberangan atau tidak pada rezim Jokowi.

Baca juga: Wajah Demokrasi Baru di Balik Petisi Dukungan Aktivis yang Ditangkap

Apa yang sedang terjadi di Pemerintahan Jokowi hari ini?

Tidak hanya timbul rasa kecewa, Aditya mengungkapkan bahwa ada faktor lain yang harus digali lebih dalam seperti banyaknya kontradiksi antara satu sisi dengan sisi lainnya.

Menurutnya, jika salah satu sisi itu dibandingkan dengan era 1998, itu relatif.

"Initnya sama ketika ada orang yang berlawanan dengan rezim, maka rezim itu akan menggunakan banyak cara utnuk membuat kondisi pihak opisisi tidak berseberangan dengan pemerintah," ujar Aditya.

"Jadi hal itu yang terjadi saat ini. Menurut saya, ini sinyal yang bahaya buat demokrasi di Indonesia, apalagi kalau kondisi ini terus menerus terjadi dan respons Pak Jokowi seperti ini," kata dia.

Tak hanya itu, Aditya menegaskan jika pemerintahan Jokowi tetap seperti ini, maka bisa jadi segala macam kepercayaan terhadap Jokowi semakin menurun.

Hal inilah yang membahayakan bagi kondisi demokrasi Indonesia.

Sikap polisi dan UU ITE

Di sisi lain, Aditya mengungkapkan pada pemerintahan Jokowi ada sikap kontradiksi, misalnya Jokowi berbicara informasi A, tetapi aparat menerima informasi B.

Sikap inilah yang sangat disayangkan.

Menilik kasus yang beredar di media sosial, seperti adanya unggahan atau kritikan yang melanggar UU ITE, polisi bisa dengan mudah menahan atau menciduk orang tersebut.

Menurutnya, kepolisian bersikap seperti itu, karena mereka punya aturan yang berlaku soal UU ITE yang sebenarnya membuat Pasal Karet juga untuk pihak-pihak yang berlawanan dengan pemerintah.

"Kalau sekarang diakumulasi, banyak orang yang menyampaikan protes, kecewa, atau dianggap sebagai perusuh, atau dianggap provokator di media sosial, ya kemudian dia (polisi) akan dengan mudah menciduk orang-orang yang berlawanan," ujar Aditnya.

Menyikapi hal itu, dalam konteks negara demokratis, mengutarakan kritik atau tanggapan mengenai negara sebenarnya sah-sah saja. Sebab, ruang ekspresi dijamin oleh negara.

"Ruang ekspresi publik bahwa ada dukungan ataupun penolakan terhadap rezim itu dijamin oleh hukum, bebas untuk melakukan hal itu," ujarnya lagi.

Menurut Aditya, pasal-pasal demokrasi ada di dalam ruang ekspresi, namun lain persoalan jika rezim atau pemerintah menanggapi dengan respons yang berbeda.

Ia menjelaskan bahwa jika informasi atau kritik tersebut menguntungkan rezim atau pemerintah, mungkin akan dibiarkan, atau malah didukung penuh.

Sebaliknya, jika tidak menguntungkan, mungkin diambil tindakan-tindakan untuk menahan laju dari dukungan penolakan terhadap kritik tersebut.

"Nah kerangka itu yang kita harus paham kondisinya," ujar Aditya.

Ia menekankan kembali, sah-sah saja jika seseorang atau kelompok mengkritik terhadap pemerintah, karena tindakan tersebut ada jaminan konsitusinya.

Baca juga: Dandhy Laksono, Awkarin dan Menagih Komitmen Jokowi dalam Menjaga Demokrasi

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi