Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Kalau Kritik Ditangani dengan Kekerasan, Itu Bukan Jawaban..."

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS/Heru Sri Kumoro
Ilustrasi demo
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Demokrasi di era media sosial, seperti yang dirasakan hari ini, membuat masyarakat seharusnya bisa dengan bebas mencurahkan kritik, jika dirasa ada kebijakan negara yang kurang pas bagi kemaslahatan masyarakat.

Namun, berkaca dari kasus penangkapan jurnalis Dandy Dwi Laksono dan mantan jurnalis Tempo Ananda Badudu (saat ini keduanya telah dibebaskan, Dandhy masih tersangka) perihal kritik dan penggalangan dana yang dilakukan di media sosial, apakah membuat demokrasi di era media sosial terasa dibelenggu?

Pengamat politik Dodi Ambardi mengungkapkan bahwa kritik dan tuntutan yang dilakukan masyarakat merupakan hal yang normal dalam demokrasi.

Meskipun upaya penyampaian kritik atau tuntutan tersebut disampaikan dalam bentuk demonstrasi.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Ya, karena demokrasi intinya adalah penghormatan atas hak warga negara untuk melakukan semua itu dalam proses politik," ujar Dodi saat dihubungi Kompas.com, Jumat (27/9/2019).

Menurutnya, prinsip tersebut berlaku kapan pun, ada atau tidaknya media sosial.

"Jadi, kalau kritik ditangani dengan kekerasan dan penangkapan, itu bukan jawaban yang pas," kata dia.

Adapun persoalan yang terjadi adalah bagaimana masyarakat mem-frame, apakah ungkapan tersebut termasuk krtik atau hinaan.

Penggolongan inilah yang sering dirasakan semu atau kabur.

Baca juga: Ditangkap Polisi karena Galang Dana untuk Aksi Mahasiswa, Siapakah Ananda Badudu?

Batasan dan mekanisme hukum

Selain itu, Dodi menjelaskan bahwa sebagian permasalahan bisa diselesaikan dengan mekanisme hukum, hanya saja sampai saat ini batasan dan mekanisme hukum itu belum disepakati oleh semua.

"Pemerintah dan para aktivis berbeda pandangan tentang batas dan definisi penghinaan," ujar Dodi.

Ia juga menyampaikan bahwa kontroversi RKUHP salah satunya berpusat pada pengertian dan batasan penghinaan.

Sementara, dalam era media sosial, peran media sosial sesungguhnya memiliki fungsi melebarkan ruang ekspresi bagi publik untuk menyuarakan tuntutannya.

Namun, di saat yang sama, selain membuka ruang ekspresi, media sosial juga menjadi tempat tersebarnya disinformasi dan gelanggang penghinaan.

Menurutnya, pada urusan disinformasi dan penghinaan inilah yang perlu ditangani, bukan tindakan penangkapan yang memicu perlawanan.

"Tapi tidak dengan penangkapan-penangkapan, yang di situasi sekarang malah justru mengubah tuntutan politik menjadi perlawanan," kata dia.

Baca juga: Dituding Menebarkan Kebencian, Berikut Profil Dandhy Dwi Laksono...

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi