Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pusingnya Cari Rumah (1): Ketika Mimpi Beli Rumah Kepentok Gaji

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK
Ilustrasi.
|
Editor: Heru Margianto

 

KOMPAS.com - Gangsar Parikesit (29) sudah menetap di Jakarta sejak 2013. Ia bekerja di sebuah media nasional dan bertemu jodohnya di profesi yang sama. Mereka menikah pada 2016 dan kini sudah memiliki seorang anak.

Sayangnya, hingga kini Gangsar masih mengontrak di bilangan Mampang Prapatan. Setiap bulan, ia menghabiskan sekitar Rp 2 juta untuk membayar kontrakan dan listrik. Ia belum sanggup membeli rumah.

"Harga rumah udah enggak keuber. Kalau pun beli di luar Jakarta," ujar Gangsar.

Saat ini, Gangsar masih berusaha menabung untuk uang muka rumah. Ia memperkirakan paling cepat, tiga tahun lagi baru mampu untuk membeli rumah.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tentunya jika tak ada lonjakan harga dan ia mendapat pekerjaan dengan gaji jauh lebih tinggi.

Ia menargetkan mampu mengambil rumah yang uang mukanya sekitar Rp 60-80 juta dengan cicilan sekitar Rp 3 juta per bulan.

"Yang terpikirkan ya (dapat rumah di) daerah Bekasi pelosok kalau enggak Kabupaten Bogor, perbatasan Tangerang Selatan," kata dia.

Lajang

Tak cuma para pekerja yang sudah berkeluarga, mereka yang masih lajang juga sudah berpikir untuk punya rumah sendiri.

Contohnya Devy Ernis, karyawan swasta berusia 29 tahun.

Bagi Devy, punya rumah yang layak dengan harga terjangkau hanya jadi angan-angan. Devy tak juga mampu membeli rumah kendati sudah lima tahun mengontrak di Jakarta bersama ibunya.

Hal ini disadarinya ketika berkunjung ke pameran properti di Jakarta Convention Center (JCC) sebulan lalu.

"Dari lihat-lihat yang ditawarin di pameran itu, menurut gue, gue enggak mampu nyicil rumah yang layak," kata Devy.

Pasalnya, rumah layak yang diinginkannya di area Jabodetabek cicilannya sekitar Rp 5 juta per bulan, lebih dari setengah gaji bulanannya.

Sementara rumah yang mampu dibelinya, menurutnya kurang layak.

"Kemarin di Bogor aja udah Rp 500 jutaan rumah yang proper," ujar Devy.

Milenial butuh rumah

Devy dan Gangsar hanya beberapa pekerja di Jakarta yang gundah karena belum punya rumah.

Di Jakarta saja, berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018, baru 47,85 persen dari 10,5 juta penduduk yang tinggal di rumah sendiri.

Sisanya mengontrak atau menempati rumah dinas.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memperkirakan, ada sekitar 81 juta orang di Indonesia yang membutuhkan rumah.

Siapa saja mereka?

 

Mereka adalah generasi milenial yang lahir antara 1981 sampai 1996 atau saat ini berusia 22-37 tahun.

Pada 2020, diperkirakan 60 persen dari total populasi Indonesia adalah generasi milenial.

Pertanyaan berikutnya, berapa gaji mereka?

Saat ini, rata-rata pendapatan per kapita atau pendapatan orang Indonesia per tahun sebesar Rp 56 juta atau Rp 4,6 juta per bulan.

Angka ini memang terbilang kecil dan tak menggambarkan para pekerja kerah putih Jakarta.

"Kalau kita lihat rata-rata milenial di Jakarta dan kota besar gajinya Rp 7,5 juta," kata Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda.

Lalu, mampukah mayoritas kelompok penghasilan itu membeli rumah?

Simulasi

Mari kita simulasikan pembelian rumah dengan cara yang paling umum, yakni kredit.

Katakanlah gaji anda saat ini Rp 7,5 juta atau hampir dua kali lipat UMP Jakarta. Besar pengeluaran untuk rumah, idealnya tak melebihi 30 persen dari penghasilan.

Maka dengan penghasilan Rp 7,5 juta, besar pengeluaran untuk rumah atau cicilan tak boleh lebih dari Rp 2,5 juta.

"Kalau cicilannya Rp 2,5 juta maka harga rumahnya Rp 300 juta, di Jakarta udah enggak ada. Ini kan dilema bagi milenial," ujar Ali.

Ada rusunami DP 0 rupiah milik Pemprov DKI di Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Cicilannya Rp 1,1 juta per bulan selama 20 tahun untuk tipe studio (21 meter persegi).

Tapi syaratnya Anda harus ber-KTP DKI selama 5 tahun. Unit rusunami diprioritaskan bagi yang sudah berkeluarga dengan penghasilan tak lebih dari 7 juta per bulan.

Namun menurut Ali, rusunami DP 0 tak bisa diharapkan sebab baru terbangun satu tower.

"Ini belum bisa jadi model, belum ada yang masif," kata Ali.

Uang muka

Uang muka longgar tak jadi jaminan

Jangan lupa, itu baru simulasi cicilan. Pembelian rumah mensyaratkan adanya uang muka.

Tahun lalu, uang muka untuk rumah pertama minimal 10 persen dari harga rumah. Kini Bank Indonesia membebaskan uang muka bagi rumah pertama.

Besaran uang muka, memang diserahkan ke masing-masing pengembang dan bank. Namun pada umumnya, pengembang dan bank tetap mensyaratkan uang muka, dari 5 hingga 20 persen harga rumah.

"Enggak banyak bank mau, minimal lima persen lah untuk menghindari risiko kredit macet," ujar Ali.

Bagi yang lupa, pada 2008 Amerika Serikat pernah mengalami krisis yang nyaris menghancurkan perekonomiannya.

 

Salah satu penyebabnya, banjirnya kredit rumah yang diambil oleh masyarakat yang sebenarnya tak punya kemampuan membayar.

Kesalahan ini tentunya tak akan diulangi dengan memberi pinjaman yang terlalu longgar. Lagi pula, hunian yang tak mensyaratkan uang muka, akan memberatkan di cicilan bulanannya.

Berdasarkan simulasi Bank BTN misalnya, rumah dengan harga Rp 300 juta tanpa uang muka yang dicicil 20 tahun, cicilannya bisa mencapai Rp 2,9 juta per bulan.

Ini baru berdasarkan suku bunga 9,99 persen per tahun fix selama 20 tahun.

Masalah lain, kata Ali, anggaplah bank bisa memberi kelonggaran uang muka.

Namun berapa banyak rumah yang tersedia? Per 2019 saja, backlog atau kekurangan rumah mencapai 7,6 juta unit.

"Bukan di aturan masalahnya, tapi pasokan yang harga segitu (terjangkau tanpa DP) ada enggak? Apa cukup supply-nya?" kata Ali.

Lantas, siapa yang bisa membeli rumah?

Gaji Rp 15 juta per bulan

Perencana keuangan Budi Raharjo menghitung, mereka yang aman membeli rumah saat ini adalah yang penghasilannya Rp 15 juta per bulan.

"Itu kalau ingin seimbang. Misalnya juga memperhitungkan kendaraan, sekolah anak, dan kebutuhan rumah," kata Budi.

Dengan gaji sekitar Rp 15 juta per bulan, hunian yang mampu dibeli yang berkisar antara Rp 400-500 juta. Lokasinya tentu bukan di Jakarta.

Di Tambun Utara, Bekasi, saja, perumahan Darmawangsa Residence Bekasi menjual rumah tipe 36 seharga Rp 321 juta. Padahal jaraknya ke pusat kota Jakarta sudah 40 kilometer.

"Kalau pun di tengah kota bentuknya rusun. Apartemen Rp 400-500 juta di tengah kota bentuknya masih studio, itu pun apartemen kelas bawah," kata Budi.

Kenaikan harga properti yang tinggi tak sebanding dengan kenaikan penghasilan. Jarak antara penghasilan dan kemampuan membeli properti semakin lebar.

Dengan makin sulitnya para pekerja membeli rumah, sewa menjadi opsi yang paling memungkinkan.

"Sewa enggak apa-apa juga. Kita jangan menyamakan kehidupan kita seperti orang tua kita atau generasi sebelumnya. Dan bukan enggak mungkin kita hanya nyewa terus tapi sambil nabung dan suatu saat beli rumah," ujar Budi.

 

Bersambung...
Pusingnya Cari Rumah (2): Yang Harus Dikorbankan demi Rumah Impian

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi