Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pusingnya Cari Rumah (2): Yang Harus Dikorbankan demi Rumah Impian

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK
Ilustrasi.
|
Editor: Heru Margianto

Ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya. Sebelum melanjutkan membaca silakan baca serial pertama
________________________

KOMPAS.com - Indra Budiari, karyawan start-up yang bekerja di bilangan Blok M harus mengorbankan kariernya untuk bisa punya rumah impian.

Ceritanya, setelah menikah pada 2016, Indra dan istrinya baru terpikir untuk membeli rumah.

"Setelah nikah ortu tanya kapan kita punya rumah sendiri atau ngontrak," kata Indra.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indra dan istrinya pun mulai menabung. Mereka juga beruntung karena dapat pinjaman untuk uang muka rumah dari saudara.

Pertengahan 2017, mereka pun mengambil rumah di bilangan Tanah Baru, Depok. Rumah bertipe 43/75 itu harganya Rp 635 juta.

"DP Rp 135 juta, setengah dari tabungan sendiri, setengah dari saudara," kata Indra.

Setiap bulan selama 15 tahun, Indra dan istrinya harus mencicil Rp 5,2 juta. Cicilan itu menghabiskan separuh penghasilan gaji Indra dan istrinya setiap bulan.

"50 persen gaji habis buat nyicil rumah. Itu selama enam bulan. Kayaknya enggak sanggup, setelah itu mikir emang harusnya pindah kerja cari gaji yang oke," ujar Indra.

Indra pun terpaksa mengundurkan diri dari media tempatnya bekerja. Ia meninggalkan kegemarannya menulis. Gajinya sebagai pewarta tak cukup untuk mencicil rumah.

Apalagi, cicilan itu akan naik mengikuti bunga setiap tahun. Tahun depan, cicilannya saja naik jadi Rp 5,6 juta.

5 jam di jalan

Lebih malang dari Indra, ada Riki, seorang fotografer yang berhasil punya rumah di Jonggol, Bogor, Jawa Barat.

Setiap hari, Riki menghabiskan sekitar lima jam di jalan untuk berangkat dan pulang.

"Tahun 2015 ambil rumah karena kebetulan lagi ada dana untuk DP, ada Rp 20 juta dari menang lomba," kata Riki.

Dengan uang Rp 20 juta, pilihan Riki jatuh pada Cibubur dan Citayam. Di Citayam, ada akses KRL namun harga rumahnya lebih mahal dengan kualitas tak lebih bagus.

Sementara yang di Jonggol, jaraknya memang lebih dari 50 kilometer ke kantor namun harganya lebih murah. Riki memilih rumah di Citra Indah City yang hanya mengandalkan akses tol.

"Itu jaraknya 28 kilometer dari pintu tol Cibubur. Dari semua, yang masuk akal untuk pembeli pertama ya itu," kata Riki.

Ia hanya membayar DP 5 persen yakni sekitar Rp 20 juta, dan cicilan Rp 1,8 juta flat selama lima tahun.

 

Masalah muncul ketika Riki mulai menempati rumah itu sekitar tahun 2017.?? Ia harus bolak balik naik motor ke kantor.

Sebenarnya ada shuttle bus yang mengantarnya sampai Grogol, Jakarta Barat. Namun ongkosnya lumayan, Rp 18.000 sekali jalan.

Jika ditotal, sehari Riki harus merogoh kocek Rp 36.000 untuk pulang pergi, itu baru busnya.

Ia memilih mengendarai motor yang sehari bensinnya hanya menghabiskan Rp 25.000.

"Menyiasati dengan tidur di kantor dari Senin-Jumat. Jumat sore baru pulang ke rumah karena enggak kuat bolak-balik," kata Riki.

Namun setelah menikah tahun lalu, Riki tak bisa lagi melanjutkan kebiasaannya itu. Ia pun kembali naik motor bolak-balik Jonggol-Palmerah setiap hari.

"Tapi ngefek di badan. Akhirnya motor tinggal di rumah beralih ke bus," ujar Riki.

Kini, sebulan, Riki harus mengeluarkan sekitar Rp 1 juta untuk transportasi.

Demi membeli rumah

Tak semua orang beruntung dapat pinjaman dari keluarga atau dapat hadiah uang kaget. Bagi Anda yang hanya mengandalkan penghasilan sendiri, beli rumah bakal lebih sulit.

Perencana keuangan Budi Raharjo mengatakan selain harga yang mahal, milenial juga kesulitan beli rumah karena buruknya perencanaan keuangan.

Gaya hidup terutama di kota membuat pekerja mudah menghabiskan uang dan lupa menabung.

"Misalnya, selama ini dia nabung konvensional, berdasarkan perasaan aja. Sedangkan kalau kita lihat anak muda yang bisa beli aset, dia menyisihkan 50-60 persen penghasilannya. Itu pengorbanannya supaya dia beli aset," kata Budi.

Selain itu, mereka yang bisa beli rumah, tak hanya mengandalkan gajinya. Dengan UMP Jakarta yang baru Rp 3,9 juta, tak bisa hanya mengandalkan gaji kendati sudah dua kali UMP.

"Misalnya dagang, atau dia punya keahlian, freelance. Banyak peluangnya," ujar Budi.

Budi menghitung mereka yang aman membeli rumah saat ini adalah yang penghasilannya Rp 15 juta per bulan.

"Itu kalau ingin seimbang. Misalnya juga memperhitungkan kendaraan, sekolah anak, dan kebutuhan rumah," kata Budi.

Bagi yang gajinya tak mencapai dua digit, kata Budi masih ada kesempatan membeli rumah. Tentu dengan pengorbanan lebih besar.

"Gajinya enggak double digit tapi menghemat sebanyak mungkin, menunda kesenangan stay humble, sederhana aja," ujar Budi.

Bagi yang memang ingin beli rumah, seharusnya sejak awal karier sudah merencanakan keuangannya dengan baik. Yang harus disiapkan utamanya uang muka rumah.

"Perlu menyiapkan pondasi keuangan bukan berarti enggak boleh senang-senang di awal karier, memberi orang tua, traktir teman-teman, menghadiahi diri sendiri boleh. Tapi honeymoon jangan lama-lama, ingat usia produktif, ingat target hidup," kata Budi.

Selain itu, hindari punya utang di usia muda, apalagi karena kebutuhan gaya hidup yang sebenarnya tak perlu.

 

Bersambung...
Pusingnya Cari Rumah (3): Cari Rumah Rp 100-200-an Juta? Ada, tapi....

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi