Ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya. Sebelum melanjutkan membaca silakan baca serial pertama dan kedua.
__________________________
KOMPAS.com – Jika Anda bekerja di Jakarta dan gaji Anda hanya sebatas upah minimum regional yang besarnya Rp 3,9 juta, atau katakanlah 2 kali UMR Rp 7,8 juta, maka mimpi memiliki rumah sendiri yang dekat dengan kantor hanya sebatas mimpi.
Tapi, bukan berarti tidak ada harapan.
Bagi yang berniat beli rumah, lokasi dengan harga yang masih mungkin dijangkau tentunya yang di pinggiran Jakarta.
Mari kita simulasikan dengan simulasi KPR BCA.
Katakanlah Anda adalah karyawan di usia 25 tahun, masih lajang, dengan gaji Rp 5.000.000 atau hampir 1,5 kali UMP Jakarta.
Dengan suku bunga fixed 8,75 persen selama satu tahun dan tenor 20 tahun, BCA menilai rumah ideal Anda seharga Rp 221 juta.
Anda juga disyaratkan menyiapkan uang muka Rp 33 juta. Cicilan per bulannya kira-kira sekitar Rp 1,6 juta atau 30 persen dari gaji Anda.
Di mana rumah dijual dengan harga Rp 221 juta atau kurang?
Cikarang, Tenjo, hingga Cisauk
Berdasarkan penelusuran Kompas.com di sejumlah situs jual beli rumah, ada sejumlah rumah bersubsidi yang dijual di luar Jakarta.
Rumah tapak bersubsidi di area di Jabodetabek ditetapkan harganya Rp 158 juta oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Kementerian itu juga menetapkan rumah bersubsidi bisa diambil mereka dengan gaji maksimal Rp 7 juta per bulan.
Di timur Jakarta, ada Cikarang Utama Residence, Mutiara Sampurna, Telaga Harmoni Residence, Pesona Srimukti Residence, Wisma Asri Cibening, Cikarang Griya Pratama, Grand Cikarang Village dan Bumi Sampurna Permai.
Harga yang ditawarkan untuk tipe 36/60 sekitar Rp 148 juta sampai Rp 158 juta dengan DP tak sampai Rp 10 juta.
Kemudian di Provinsi Banten, rumah dengan harga sekitar Rp 140 juta masih tersedia di Permata Mutiara Maja dan Cluster Park Ville.
Citra Maja Raya menawarkan rumah sederhana tipe 21/60 dengan harga Rp 175 juta. Perumahan ini dekat dengan Stasiun Maja yang waktu tempuhnya sekitar 1,5 jam ke Stasiun Tanah Abang.
Di sekitar Bogor, rumah dengan harga serupa terletak di Cileungsi, Jonggol, dan Tenjo. Jaraknya ke pusat kota Jakarta sekitar 40 sampai 60 kilometer.
Bagaimana dengan rumah pinggiran Jakarta yang lebih dekat?
Di area Tangerang Raya ada Pondok Daru Permai di dekat Stasiun Daru yang menawarkan harga Rp 250 juta untuk rumah tipe 36/60.
Kemudian ada rumah tipe 36/60 di Arka Serpong Hills yang bisa dibanderol seharga Rp 325 juta. Ada pula Grand Flora Pertama di Legok yang menawarkan rumah tipe 40/60 dengan harga Rp 300 juta.
Di Cisauk, rumah paling murah yang tersedia harganya sekitar Rp 300 juta yakni di Perum Metro Cisauk dengan tipe 22/80.
Kemudian Puri Cendrawasih di Pasarkemis, menawarkan harga Rp 290 juta untuk rumah tipe 27/60.
Perumahan dengan harga Rp 250 hingga Rp 350 juta ini juga bisa ditemukan di Tambun, Bojong Gede, dan Klapanunggal.
Namun untuk bisa mencicil rumah dengan rentang harga itu, pendapatan minimal Anda harus sekitar Rp 7 juta hingga Rp 9 juta.
Rumah dengan jarak yang lebih dekat seperti Serpong, BSD, Pamulang Depok, Citayam, Bekasi, yang selama ini jadi favorit, harganya sudah lebih dari Rp 600 juta.
Untuk membeli rumah dengan harga ini, Anda harus bergaji setidaknya Rp 20 juta.
Bagaimana dengan rumah vertikal atau apartemen?
Apartemen baru yang dibangun saat ini banyak yang menyediakan subsidi. Sayangnya, harganya tak murah-murah amat.
Apartemen bersubsidi Urban Town di Alam Sutra, harganya sekitar Rp 216 juta dengan cicilan Rp 1 jutaan.
Begitu pula apartemen Mahata Tanjung Barat yang nempel dengan stasiun KRL. Harga unit tipe studio dengan luas 21 meter persegi sudah mencapai Rp 421 juta. Cicilan paling murah sebesar Rp 2,9 juta per bulan selama 20 tahun.
Di Stasiun Pondok Cina dan Stasiun Rawa Buntu, harganya tak beda jauh.
Apartemen yang jaraknya cukup jauh saja, seperti Meikarta di Cikarang, harganya unit barunya sudah mencapai Rp 280 juta.
Bagaimana, sanggupkah kira-kira Anda menyiapkan uang muka dan mencicil rumah di Jabodetabek?
Bersambung...
Pusingnya Cari Rumah (4): “Tempat Jin Buang Anak” dan Dilema Milenial