Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 15 Mar 2016

Alumnus Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia (UI) tahun 1995 dan Pascasarjana Kajian Gender UI tahun 2010. Menulis dan menyunting buku bertema seputar memoar dan pemikiran tokoh berkait sejarah Indonesia, kajian perempuan, Peristiwa 1965 dan kedirgantaraan. Karyanya: Kenangan tak Terucap. Saya, Ayah dan Tragedi 1965 (Penerbit Buku Kompas-PBK, 2013), Diaspora Indonesia, Bakti untuk Negeriku (PBK, 2015); Pak Harto, Saya dan Kontainer Medik Udara (PBK, 2017); Dari Capung sampai Hercules (PBK, 2017).

Aristides Katoppo, antara Skripsi dan Rawon

Baca di App
Lihat Foto
Repro buku APA-SIAPA ORANG INDONESIA 1983-1984.
Repro buku APA-SIAPA ORANG INDONESIA 1983-1984.
Editor: Ana Shofiana Syatiri

“Anda amati juga dong editorial cartoon Chee-Chuck milik Indonesia Observer (IO), jangan lupa, ia koran perjuangan, yang selalu dengar suara pembacanya. Itu bedanya dia dengan The Jakarta Post. Itu pula sebabnya Anda saya minta menulis dari sisi sejarah persnya juga.”

Kritik keras itu seakan baru terjadi minggu lalu. Jelas dalam ingatan, padahal terjadi 25 tahun silam. Diskusi kami berlangsung di ruang Pemimpin Redaksi Suara Pembaruan, Jalan Dewi Sartika Cawang, pertengahan tahun 1994. Sang Pemimpin Redaksi itulah Aristides Katoppo, yang baru saja tutup usia dalam usia 81 tahun (29/9).

Bang Tides, begitu dulu panggilan semua murid-muridnya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, Jurusan Ilmu Komunikasi, adalah sosok yang selalu dinanti jam kuliahnya.

Usianya ketika itu 51 tahun, dan kami semua baru 18-19 tahun. Stringer The New York Times ini dosen luar biasa untuk mata kuliah “Teknik Mencari dan Menulis Berita (TMMB)”, dan “Menulis Feature untuk Surat Kabar”, dan pembimbing beberapa skripsi kami.

Bang Tides mengkritik, kenapa saya tak mengulas Chee-Chuck. Itu kartun tentang celoteh dua ekor cicak yang selalu hadir di pojok kanan halaman muka Observer. Usil, tetapi cerdas menyuarakan apa yang menjadi protes masyarakat.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Maklum, zaman Orde Baru, seperti itulah cara surat kabar mengkritik kebijakan pemerintah. Bang Tides melihat, itulah kekurangan tulisan saya. Tidak melihat Chee-Chuck sebagai kekuatan Observer.

Saya ingat, saya bereaksi diam, mungkin juga takut. Sambil saya berpikir, ini kapan lulus ya, salah terus. Itu dalam hati saja. Saya tetap membolak-balik halaman-halaman lepas “Bab Temuan dan Analisa”, mencoret-coret beberapa kata kunci dari sang pembimbing skripsi.

Ilmu Wartawan

Kenapa kuliah Bang Tides selalu dinanti? Karena ia satu dari sangat sedikit dosen luar biasa yang mengajar dengan menuturkan pengalamannya menjadi wartawan cerdas, berani, nakal menerobos pakem, jeli menganalisa situasi, punya jaringan lobi yang mahaluas, tetapi justru dengan segera menghasilkan karya jurnalistik yang eksklusif.

Belum lagi ia pecinta alam tulen, yang konon menyebabkan ia lembut. Senyumnya selalu mengembang beberapa detik lebih dulu dari suaranya.

Salah satu yang membuat kuliahnya selalu cair dan kami tak takut berbagi cerita. “Halo, ada apa hari ini?” Selalu, sapaan pembukanya. Asyik. Seperti mendengar dongeng.

Itu sebabnya mingguan Mutiara, yang juga dipimpinnya, menjadi bacaan anak muda yang mimpi menjelajahi Indonesia. Mingguan yang banyak mengulas tentang penjelajahan alam yang tak ada duanya sampai kini. Mulai dari kisah penjelajahan perahu cadiknya almarhum Effendi Soleman, sampai foto-foto dan laporan perjalanan Don Hasman.

Saya juga masih ingat laporan “Pendakian Tujuh Puncak Dunia” dan musibah pendakian yang dialami Norman Edwin dan Didiek Syamsu, yang evakuasinya dipimpin langsung Bang Tides pada awal tahun 1992.

Kuliah-kuliahnya juga yang melambungkan angan-angan kami, yang ambil Program Studi Komunikasi Massa, ingin menjadi wartawan. Seorang teman saya, La Rane Hafied, malah ingat kuliah bersama Bang Tides seperti bersama teman sejawat.

Partner diskusi. Kita diskusi, bukan mendengar kuliah seorang dosen. Padahal, kita masih bau kencur, anak kemaren sore di dunia jurnalistik. Anak-anak baru pengalaman magang dua bulan di surat kabar-surat kabar ibukota. Koleganya sering pula diundang masuk kelas kami. Satu yang saya inga, Mochtar Lubis.

Jelang akhir studi, saya satu-satunya di angkatan yang mengambil topik skripsi terkait sejarah pers berbahasa Inggris dan manajemen media massa.

Ketua Jurusan menyarankan saya menemui Bang Tides, ragu juga, maukah ia jadi pembimbing skripsi yang topiknya sangat dasar ini dan kalau dibaca sekarang: naif. Judul itu. “Keterkaitan Manajemen Media Massa dengan Pertumbuhan Tiras pada Perusahaan Penerbit Surat Kabar Berbahasa Inggris: Studi Komparatif Manajeman Perusahaan Penerbit Surat Kabar Indonesian Observer dan The Jakarta Post”.

Ternyata, bukan cuma mau, Bang Tides juga menghubungkan saya dengan banyak kolega-nya. Maka, jadilah skripsi saya penuh dengan wawancara panjang dengan Raymond Toruan, Amir Daud, Herawati Diah, dan Enot Indarnoto.

Untuk keperluan menulis kolom ini, saya kembali membolak-balik skripsi terbitan 1995 ini dan kembali melihat jejaknya. Juga jejak pembimbing pertama, Prof. Dr. Harsono Suwardi, yang baru pula berpulang.

Ada satu pendapat Aristides Katoppo tentang editorial cartoon Observer yang disampaikan dalam sidang ujian pada 14 Agustus 1995, dan saya tulis dalam lampiran skripsi. Pendapat yang mungkin menjadi pengingat juga untuk para penggemar lama Indonesian Observer yang sudah tak bisa lagi menjumpai koran itu sejak tahun 2001.

“Chee-Chuck adalah keunggulan Observer, lepas dari seluruhnya produknya yang saat ini sudah tertinggal dan tidak diminati lagi karena kurang membaca selera, kebutuhan dan keinginan pasarnya.”

Rawon dan Biografi

Siang itu, 14 April 2019, kami makan siang bertiga bersama seorang teman yang juga pernah menjadi wartawan Tempo, Igg Maha Adi. Menu kami Nasi Rawon. Pertemuan yang tidak kami sangka menjadi pertemuan terakhir dengan Sang Guru Selamanya.

Segala pengetahuannya kembali saya dengar dan serap. Dan betul, Bang Tides tahu sangat banyak seperti dulu saya menjadi mahasiswanya. Tampaknya, ia selalu menjadi “Pemimpin Redaksi”.

Lelaki kelahiran Tomohon ini, sungguh guru selama-lamanya lewat berbagai karya tulisnya. Bahkan buku yang terakhir pun mengutip banyak dua karya biografinya: Sumitro Djojohadikusumo, Jejak Perlawanan Begawan Pejuang, diterbitkan Pustaka Sinar Harapan (2000) dan Des Alwi, Dari Banda Naira Menjadi Indonesia, diterbitkan Pustaka Sinar Harapan (2011).

Selamat jalan, Bang Tides...

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi