Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Banyak Orang "Kecanduan" Minum Pepsi dan Minuman Bersoda Lain?

Baca di App
Lihat Foto
Shutterstock
Ilustrasi Pepsi.
|
Editor: Resa Eka Ayu Sartika

KOMPAS.com - Produsen minuman berkarbonasi asal AS, PepsiCo, resmi berhenti menjual produknya di Indonesia pada pertengahan Oktober 2019.

Berdasarkan laporan Kompas.com, Kamis (3/10/2019), PT Anugerah Indofood Barokah Makmur (AIBM) dan PepsiCo Inc (PepsiCo) sepakat untuk mengakhiri kontrak yang berlaku efektif mulai 10 Oktober 2019 mendatang.

Padahal, minuman bersoda ini disukai banyak orang di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia.

Ya, tak hanya Pepsi, berbagai merek minuman bersoda memang bisa memicu efek kecanduan. Saat kita mengonsumsi minuman berkarbonasi, tubuh memproduksi hormon dopamin yang biasanya menciptakan rasa kecanduan dan rasa senang.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dampak ini hampir sama dengan yang dihasilkan ketika kita mengonsumsi heroin. Rasa senang akibat mengonsumsi minuman soda ini akan menyebabkan kecanduan serta ingin mengonsumsinya lagi.

Baca juga: Ramai Pepsi di Twitter, Ini Efek Minuman Berkabonasi Pada Tubuh

Peneliti dari Para peneliti dari Deakin University juga telah membuktikan minuman bersoda bisa bersifat adiktif, yang nantinya juga berkontribusi terhadap masalah obesitas.

Menurut peneliti, minuman bersoda juga mengandung kafein, yang merupakan bahan kimia pemicu efek kecanduan.

Diperkirakan lebih dari 60 persen minuman bersoda mengandung kafein. Dalam riset tersebut, peneliti menganalisis 99 peserta berusia antara 18 hingga 30 tahun.

Mereka dibagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok yang diminta untuk mengonsumsi minuman bersoda berkafein dan non kafein.

Peserta diminta untuk menilai kelezatan dari minuman bersoda beraroma lemon untuk menutupi tujuan sebenarnya dari penelitian ini.

Selama 28 hari, para peserta diizinkan untuk mengonsumsi sebanyak mungkin minuman ringan yang mereka inginkan.

Hasilnya, rata-rata peserta dalam kelompok minuman berkafein minum rata-rata 419 mililiter per hari.

Sementara itu, peserta yang mengonsumsi minuman ringan non-kafein hanya mengonsumsi rata-rata 273 mililiter sehari.

Peneliti juga menyiapkan satu kelompok terpisah untuk menilai perbedaan rasa antara minuman bersoda yang mengandung kafein dan non-kafein. Menurut penilaian mereka, tidak ada perbedaan rasa antara minuman bersoda yang mengandung kafein atau tidak.

Lynn Riddell selaku pemimpin riset mengatakan peserta tidak dapat merasakan perbedaan antara versi minuman ringan berkafein dan non-kafein.

Hal ini menantang klaim yang dibuat oleh produsen minuman ringan kafein digunakan sebagai penambah rasa.

"Temuan kami jelas menunjukkan kafein adalah zat adiktif dalam minuman ringan agar meningkatkan konsumsi," ucap Professor Riddell.

Ia juga mengatakan, minuman bersoda mengandung kalori dan gula yang bisa meningkatkan risiko obesitas.

Riset ini membuktikan minuman bersoda mengandung kafein juga lebih disukai daripada minuman soda tanpa kafein.

Baca juga: Hengkang dari Indonesia, Ini Sejarah Bisnis Pepsi di Tanah Air

Menurut Profesor Riddell, ini menunjukkan bahwa kafein dapat meningkatkan rasa suka dan konsumsi melalui pengaruh bawah sadar yang mungkin terkait dengan membalikkan gejala penarikan kafein.

“Senyawa aditif seperti kafein yang meningkatkan konsumsi melalui pengaruh bawah sadar bekerja melawan upaya untuk meminimalkan konsumsi energi," ucap dia.

Ia menambahkan, hasil penelitian dapat digunakan acuan agar produsen mengurangin tambahan zat adiktif dalam produk makanan yang dikonsumsinya, karena zat tersebutt elah dikonsumsi berlebihan oleh masyarakat.

“Meningkatnya konsumsi makanan dan minuman berenergi rendah yang miskin nutrisi adalah kontributor utama terhadap masalah kelebihan berat badan dan obesitas yang berkelanjutan,” kata Professor Riddell.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi