Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Buzzer, Influencer, Dampak dan Fenomenanya di Indonesia

Baca di App
Lihat Foto
Bloomberg
Ilustrasi Aplikasi Twitter di ponsel di depan logo Twitter
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com — Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko meminta kepada buzzer yang selama ini mendukung Jokowi untuk tidak menyuarakan hal yang desdruktif bagi pemerintahan Jokowi sendiri.

Menurut Moeldoko, dalam situasi saat ini tidak diperlukan lagi buzzer yang bersuara desdruktif, namun dukungan politik yang lebih membangun.

Selain itu, selama ini Moeldoko mengamati bahwa para buzzer sering melemparkan kata-kata yang tidak enak didengar dan tidak enak di hati.

Lantas apa itu buzzer?

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menanggapi pertanyaan tersebut, pengamat media sosial Enda Nasution mengungkapkan bahwa buzzer merupakan akun-akun di media sosial yang tidak mempunyai reputasi untuk dipertaruhkan.

"Buzzer lebih ke kelompok orang yang tidak jelas siapa identitasnya, lalu kemudian biasanya memiliki motif ideologis atau motif ekonomi di belakangnya, dan kemudian menyebarkan informasi," ujar Enda saat dihubungi Kompas.com, Jumat (4/9/2019).

"Kan tidak ada konsekuensi hukum juga menurut saya, ketika ada orang yg mau mem-bully atau menyerang atau dianggap melanggar hukum, dia tinggal tutup aja akunnya atau menghapus akunnya atau dibiarkan saja hingga tidak aktif lagi," lanjut dia.

Selain itu, menurut Enda, bila ada akun yang memiliki nama yang jelas dan latar belakang yang jelas, ia menyebutnya dengan influencer.

"Jadi kalo misalnya akun tersebut memiliki nama dan real orangnya, contohnya Denny Siregar, atau selebritis atau profesi lainnya yang punya follower besar dan punya sikap atau preferensi untuk mendukung sesuatu atau tidak mendukung sesuatu," kata Enda.

Menurutnya, dengan begitu akun tersebut tidak bisa seenaknya mengunggah sesuatu, karena bila salah atau terdapat orang yang tidak suka, dapat menimbulkan risiko terhadap pemilik akun tersebut.

"Dalam kategori influencer, mereka memiliki nama asli dan latar belakang yang jelas, misalnya orang-orang partai, politisi, orang bisnis, atau pengamat-pengamat politik, kita tidak bisa menyebut mereka sebagai buzzer, mereka adalah influencer yang punya preferensi dukung mendukung sesuatu isu atau orang," ungkap dia.

Baca juga: Mengenal Jaringan 5G, Cara Kerja dan Bahayanya

Fenomena buzzer di Indonesia

Menurut dia, fenomena buzzer sebenarnya sama seperti ketika media sosial pertama kali dijadikan ajang untuk perang opini dan berusaha memenangkan opini publik.

"Nah, dalam alam demokratis yang sifatnya kontestasi seperti ini, maka kemudian siapa yang menang secara opini, maka dia juga yg dianggap lebih populer, akhirnya kehadiran buzzer mulai muncul disitu," terang dia.

Hal itu dikarenakan ruang-ruang publik sekarang tidak lagi dipenuhi media mainstream, tetapi juga media sosial yang sama-sama mempengaruhi dan berusaha meyakinkan publik terhadap satu atau lain isu.

"Jadi sebenarnya konsekuensi real dari kehadiran ruang publik dan juga sistem demokrasi, makanya muncul lah buzzer-buzzer ini, kelompok-kelompok yang berusaha untuk berperang atau memenangkan opini di ruang publik," kata dia lagi.

Enda juga mengatakan, buzzer ada yang dibayar dan ada juga yang hanya sukarelawan.

Bila dia (sukarelawan), biasanya karena motif ideologis, karena memang dia setuju dengan isu ini.

Sedangkan buzzer yang dibayar biasanya memiliki motif ekonomi, artinya mungkin selain mendukung, ia juga profesional di bidang tersebut sehingga mendapat bayaran.

Baca juga: Demo Mahasiswa Ricuh, Kominfo Belum Berencana Batasi Akses Internet

Dampak buzzer

Menurut Enda, kehadiran buzzer memiliki dampak di masyarakat.

"Dampaknya yakni kebingungan dari masyarakat, siapa yang harus dia percaya, walaupun ada sumber-sumber yg kredibel misal media yang kredibel, pemerintah juga masih sebagai sumber yang kredibel," jelas dia.

"Tapi di zaman media sosial seperti sekarang, informasi tidak dilihat dari sumbernya yang mana, bahkan seringkali enggak tahu sumbernya dari mana karena merupakan hasil copy paste dari WhatsApp, atau status Facebook dan sebagainya," lanjut dia.

Sehingga, yang terjadi adalah masyarakat harus menentukan sendiri harus percaya dengan siapa.

Kebanyakan masyarakat mempercayai sesuatu melalui referensi yang telah ia miliki sebelumnya.

"Bila dia merasa kelompok A itu jahat, maka informasi yang mendukung referensi itu, akan ia percaya dan akhirnya ia sebarkan, begitu juga sebaliknya," kata Enda.

Jadi, menurut Enda banyak informasi yang sering kali membuat kita hidup dalam ketidakpastian.

"Bila akan terus begini, kita akan terjebak dalam popularism artinya seolah-olah yang paling populer itu yang benar, padahal kebenaran itu bukan masalah populer atau tidak," tutup dia.

Baca juga: Kominfo Pastikan Layanan Data Internet di Seluruh Papua Barat Sudah Dibuka

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi