Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyoal Fenomena Buzzer, dari Pernyataan Moeldoko hingga Bantahan Istana

Baca di App
Lihat Foto
Shutterstock
Ilustrasi Buzzer.
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Topik perihal buzzer politik hingga buzzer istana tengah ramai diperbincangkan publik akhir-akhir ini.

Selain muncul dari pernyataan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko yang menyebut para buzzer pendukung Presiden Joko Widodo di media sosial tidak dikomando, sebuah laporan yang dikeluarkan oleh Universitas Oxford, Inggris ikut meramaikan topik buzzer tersebut.

Pasalnya dalam laporan yang bertajuk The Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation tersebut megemuka adanya buzzer politik di Indonesia yang dibayar.

Dalam laporan tersebut, buzzer dikategorikan menjadi empat kategori, yaitu minimal cyber troop teams, low cyber troop capacity, medium cyber troop capacity, dan high troop capacity.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia menempati kategori low cyber troop capacity atau pasukan dengan kapasitas rendah.

Para buzzer tersebut tidak dikontrak secara permanen, dan dibayar Rp 1 juta hingga Rp 50 juta.

Lalu, bagaimana respons pemerintah soal buzzer?

Baca juga: Mengenal Buzzer, Influencer, Dampak dan Fenomenanya di Indonesia

Moeldoko sebut buzzer Jokowi tak dikomando

 

Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko pernah menyebut bahwa buzzer pendukung Presiden Joko Widodo yang tersebar di media sosial tidak dibayar.

Hal itu sebagaimana diberitakan Kompas.com (3/10/2019)

Menurut dia, buzzer-buzzer tersebut merupakan relawan dan pendukung setia Presiden Jokowi ketika gelaran Pilpres 2014 hingga 2019 kemarin.

Ia membantah bila ada pihak yang menuding bahwa Kantor Staf Kepresidenan yang dipimpinnya menjadi pemimpin para buzzer dari Jokowi.

Tak hanya itu, ia juga sependapat bila buzzer semua pihak di media sosial agar ditertibkan.

Baca juga: Benarkah Ada Bayaran Buzzer Politik di Indonesia?

Moeldoko sebut Presiden Jokowi tak butuh dukungan destruktif

 

Selain menyebut buzzer Jokowi tak dikomando, Moeldoko juga menegaskan bahwa Presiden Jokowi tidak membutuhkan dukungan yang destruktif oleh para buzzer-nya pada Jumat (4/10/2019).

Menurut dia, dalam situasi saat ini tidak diperlukan lagi buzzer-buzzer-an, namun yang diperlukan adalah dukungan politik yang lebih membangun.

Moeldoko mengamati bahwa selama ini buzzer Jokowi kerap melemparkan kata-kata yang tak layak didengar dan tidak enak di hati.

Ia juga mengingatkan agar para buzzer tak perlu menyebar kebencian secara berlebihan dengan tokoh yang saat ini bersebrangan dengan pemerintah.

Dibantah Staf Presiden

Mendengar riuhnya persoalan buzzer di masyarakat, staf khusus presiden bidang komunikasi, Aditia Irawati membantah hal tersebut, pada Sabtu (5/10/2019).

Menurut dia, buzzer istana secara resmi tidak pernah ada.

"Buzzer istana ini kan istilah yang diciptakan oleh netizen sendiri. Kita itu secara official kita enggak pernah ada buzzer istana," ujar Adita ditemui di sela gelaran Siberkreasi di Jakarta, Sabtu (5/10/2019), seperti dikutip Antara.

Namun, ia tak membantah bila terdapat sebagian pengguna media sosial yang membentuk suatu blok secara militan untuk mendukung pihak tertentu.

Blok-blok tersebut ada yang bersifat organik, asli manusia bukan mesin, dan ada juga yang bersifat anorganik.

Dengan militansinya tersebut, blok yang bersifat organik dalam tanda kutip membela apa yang menjadi program ataupun keputusan dari pemerintah.

Menurut dia lagi, di antara mereka yang organik, sebagian besar ialah relawan dan biasanya mereka tanpa perlu ada instruksi.

Lebih lanjut, Adita mengimbau agar mereka yang militan untuk menahan diri, karena saat ini yang terpenting adalah bersatu, solid, dan fokus dalam pembangunan.

Baca juga: Jumat Keramat Menteri Jokowi, dari Idrus Marham hingga Imam Nahrawi

(Sumber: Kompas.com/Ihsanuddin, Sandro Gatra)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi