Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wacana Amendemen UUD 1945 Akan Jadi Kemunduran Demokrasi jika...

Baca di App
Lihat Foto
Shutterstock.com
Ilustrasi Gedung DPR
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com – Wacana amendemen UUD 1945 mencuat setelah sepekan anggota DPR/MPR periode 2019-2024 dilantik pada 1 Oktober 2019.

Pada pidato pertamanya sebagai Ketua MPR, Bambang Soesatyo bahkan sudah menyinggung soal amendemen.

Ia berharap, ke depannya, MPR menjadi lembaga yang komunikatif dalam menyikapi kebutuhan amandemen.

Menurut Bambang, pilihan untuk mengamendemen UUD 1945 harus mengedepankan rasionalitas dan konsekuensi.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kini, wacana itu semakin menguat dengan mulai dilontarkannya poin-poin yang mungkin akan menjadi bahasan jika dilakukan amendemen UUD 1945.

Baca juga: Ketua MPR: Amandemen UUD 1945 terkait GBHN Merupakan Rekomendasi Periode Sebelumnya

Salah satu poin itu diusulkan DPR periode sebelumnya, 2014-2019, mengenai penyelenggaraan pemilihan presiden secara tidak langsung.

Selain itu, ada masukan agar MPR mempertimbangkan pemberlakuan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang sudah dicabut sejak tahun 2000.

Jika kedua poin ini disetujui MPR, maka ada konsekuensi yang pasti akan terjadi.

Misalnya, masyarakat tak lagi langsung memilih presidennya karena kewenangan sepenuhnya ada di tangan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.

Peneliti bidang politik dan hubungan internasional di Centre for Strategic and International Studies Arya Fernandes mengatakan, wacana ini akan menjadi kemunduran bagi demokrasi.

“Kalau UUD direvisi diamendemen, kalau untuk memperlemah sistem presidensial misalnya dengan menghidupkan kembali GBHN, saya kira itu satu set back, satu kemunduran demokrasi kita,” kata Arya saat dihubungi Kompas.com, Selasa (8/10/2019) pagi.

Baca juga: Bola Liar Amendemen UUD 1945, Potensi Presiden Kembali Dipilih oleh MPR...

Ia menyebutkan, pemberlakuan kembali GBHN akan membuat Indonesia kehilangan cirinya sebagai negara demokrasi dengan sistem presidensial.

“Kalau usulan amendemen itu untuk memberlakukan kembali GBHN seperti dulu, itu jelas memperlemah sistem presidensial,” kata Arya.

Padahal, penguatan sistem presidensial sudah diupayakan melalui 4 kali amendemen yang dilakukan sebelumnya (1999, 2000, 2001, dan 2002).

“Itu set back dan pukulan mundur bagi demokrasi, karena salah satu ciri sistem presidensial adalah presiden dipilih langsung oleh masyarakat. Kalau ciri pokoknya itu dihilangkan kan sebenarnya tidak utuh lagi demokrasi,” ujar dia.

Penguatan sistem presidensial pada amendemen-amendemen UUD 1945 sebelumnya, misalnya pemilihan presiden secara langsung, presiden bukan lagi mandataris MPR, pemakzulan diperketat, penetapan periode kepemimpinan yakni selama 5 tahun.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi