Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Buka-bukaan soal Buzzer (5): Apakah Berbahaya bagi Demokrasi?

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK
Ilustrasi.
|
Editor: Heru Margianto


Artikel ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya. Sebelum membaca, silakan baca dulu tulisan pertama, kedua, ketiga, dan keempat.
_____________________________

KOMPAS.com – Pegiat media sosial Pepih Nugraha gusar dengan tajuk sebuah media yang menyebut buzzer pendukung Presiden Joko Widodo berbahaya bagi demokrasi.

Pepih tak sependapat dengan anggapan itu. Sebagai buzzer pendukung Jokowi, Pepih menilai tak ada yang salah dengan keberadaan buzzer.

Ia bahkan menulis di situsnya, Buzzer, The Death of Reporter, meminjam judul buku Tom Nichols, The Death of Expertise (2017).

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Media resah akan keberadaan buzzer. Padahal itu hal yang biasa dalam kehidupan. Semua perlu buzzer," ujar Pepih.

Hadirnya media sosial memang mengubah pembentukan opini publik. Jika dulu opini dibentuk lebih banyak dari media, kini opini bisa digiring oleh siapa saja.

Mereka yang "ditokohkan" di media sosial, adalah konsekuensi dari demokrasi di era digital. Bebas, luwes, dan tak terbebani kode etik, benarkah para buzzer mengancam demokrasi?

Post-truth

Dosen Komunikasi Universitas Indonesia Firman Kurniawan menilai buzzer hari ini melekat dalam praktik bisnis maupun politik. Alasannya, masyarakat berkembang jadi network society atau masyarakat jejaring.

"Perubahan ini didorong oleh massifnya pemanfaatan perangkat mobile yang intens digunakan masyarakat," kata Firman.

Pendorong kedua adalah banjirnya produksi informasi. Keadaan ini menyebabkan khalayak tidak punya waktu yang cukup untuk menilai informasi.

"Maka ketika dihadapkan pada keharusan untuk bersikap terhadap substansi informasi maka jalan keluar yang dilakukan adalah merujuk pada network: siapa saja yang pro maupun kontra pada pendapat," ujar Firman.

Dari banyaknya informasi yang tersedia, dipilihlah opini yang paling sesuai dengan preferensi karakteristik individu. Tidak perlu rumit terlibat pada substansi isi informasi.

Cukup merujuk pada sentimen yang tersedia di jaringan yang kita suka. Di sini, buzzer berperan mengamplifikasi informasi. Mereka mendengungkan informasi yang seolah banyak penyokongnya.

Di dalam masyarakat jejaring, pendapat yang banyak penyokongnya, akan cenderung makin membesar pusarannya.

Bukankah sesuatu dianggap benar, ketika banyak pihak menerimanya sebagai kebenaran?

Selamat datang di era post-truth.

Warganet harus cerdas

Kembali soal demokrasi yang berarti mendasarkan keputusan dengan mempertimbangkan suara rakyat. Mutu demokrasi, secara ringkas terletak pada besarnya suara rakyat yang dilibatkan.

Kaitan dengan keberadaan buzzer, para pendengung ini berperan membangun jejaring pendapat, yang mengarah pada nada tertentu.

Suatu pendapat yang kemudian diamplifikasi oleh para buzzer dengan nada yang sama tentu akan membentuk opini dengan nada yang sama. Pada giliran berikutnya, mengkonstruksi opini masyarakat untuk jadi bernada sama.

"Maka jika dianggap merusak, itu karena dalam proses pembentukan opini masyarakatnya tak terjadi secara organik, melainkan terfabrikasi sebagai pendapat yang diarahkan untuk bernada sama," kata Firman.

"Kalau tidak merusak, setidaknya mencederai demokrasi," lanjut dia.

Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah demokrasi dicederai dengan media sosial? Firman menilai itu bisa dicegah jika warganet menggunakan kecerdasannya.

Warganet tak boleh sekadar larut pada tren maupun opini di media sosial.

Caranya, telaah dengan seksama tiap kandungan informasi. Luangkan waktu yang untuk mengkajinya. Gunakan rujukan yang valid, baru tentukan sikap.

"Problem hari ini, kebenaran hanya dihayati sebatas itu yang menyatakan teman saya atau bukan? Kalau teman saya, ya benar. Kalau bukan teman pasti salah. Padahal di antara teman itu, banyak yang pendapatnya yang telah diarahkan oleh para buzzer. Tak mudah lagi menentukan yang benar," kata Firman.

Selesai.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi