Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soal UU KPK, dari Fungsi Kontrol hingga Sebuah Keniscayaan

Baca di App
Lihat Foto
TOTO SIHONO
Ilustrasi KPK
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan revisi Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 17 September silam.

Meskipun mendapat penolakan dari berbagai elemen, pengesahan UU KPK tersebut dinilai sangat mulus dan berjalan cukup singkat. Terlebih DPR baru saja mengesahkan revisi UU KPK sebagai inisiatif DPR pada 6 September 2019.

Publik pun menunggu langkah Jokowi dengan penerbitan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu). Perppu tersebut dinilai sejumlah pihak merupakan langkah terakhir yang bisa diambil oleh Jokowi untuk menyelamatkan UU KPK.

Sejumlah politisi pun angkat bicara soal revisi UU KPK yang dikabarkan untuk mengawasi lembaga Anti Rasuah tersebut.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Diberitakan Kompas.com, Senin (7/10/2019), Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil menyebut, UU KPK perlu direvisi untuk mengontrol KPK.

Nasir mengungkapkan bahwa UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu direvisi guna mengontrol KPK.

Menurutnya, adanya pengontrolan ini agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh pegawai KPK, menilik krusialnya wewenang yang dimiliki KPK.

"KPK itu harus diawasi, kalau enggak, itu abuse dia, abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan), attempt corrupt (berupaya korupsi). Itu kan jelas tuh. Makanya harus ada pengawasan," ujar Nasir setelah menghadiri diskusi di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu (7/9/2019).

Selain itu, revisi UU KPK digadang-gadang akan mengatur mengenai mekanisme pengawasan terhadap KPK, di mana pembentukan dewan pengawas KPK masuk dalam draf revisi UU KPK.

Ia mengatakan bahwa dewan pengawas KPK akan bertindak sebagaimana mestinya Dewan Pers yang mengawasi media massa.

"Seharusnya pers yang enggak boleh diawasi, seharusnya bebas menyampaikan dan sebagainya, tapi kan diawasi juga, ketika macam-macam dilaporkan ke Dewan Pers, kan gitu. Ada kode etik dan sebagainya. Masa KPK enggak punya dewan pengawas?" kata dia.

Baca juga: Menilik 4 Anggota DPR Baru yang Diperiksa KPK...

Sebuah keniscayaan

Di sisi lain, politikus dari fraksi PDI Perjuangan Masinton Pasaribu mengungkapkan bahwa revisi UU KPK telah disepakati dan merupakan sebuah keniscayaan.

Ia menjelaskan bahwa revisi UU KPK dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

"Revisi ini keniscayaan. Di belahan dunia mana pun, undang-undang mengenai lembaga antikorupsinya pasti dia dilakukan revisi menyesuaikan kondisi zamannya," ujar Masinton kepada Kompas.com di kawasan Tebet, Jakarta pada Selasa (8/10/2019).

Menurutnya, pembahasan mengenai revisi KPK terkesan menjadi sesuatu yang tabu untuk dibicarakan sejak lama.

Terlebih untuk adanya dewan pengawas untuk mengawasi lembaga antikorupsi yang tak lain adalah KPK.

Diketahui, dewan pengawas KPK sebelumnya tidak diatur dalam UU KPK lama, tetapi pada hasil revisi UU KPK memuat sejumlah ketentuan yang menyangkut dewan pengawas.

Masinton mengatakan bahwa keberadaan dewan pengawas dinilai memperlemah KPK.

Hal ini dikarenakan, lembaga anti-korupsi itu harus mendapat persetujuan terlebih dulu kepada dewan pengawas, misalnya sebelum melakukan penyadapan.

Kemudian, Masinton mengungkapkan ada hal lain yang perlu direvisi, yakni terkait surat perintah penghentian penyidikan atau SP3 dan status pegawai KPK.

Adapun kewenangan SP3 merupakan kewenangan baru yang dimiliki KPK berdasarkan UU KPK yang telah direvisi.

Ketentuan tersebut salah satunya diatur pada Pasal 40 Ayat 1 yang berisi KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun.

Sementara, mengenai opsi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) UU KPK, Masinton menyarankan semua pihak tidak menekan Presiden Jokowi.

"Jangan ada siapa pun coba menekan-nekan presiden dalam hal (perppu). Itu hak subyektif presiden, hormati. Tidak boleh ada satu kekuatan pun yang menekan. Bahaya kalau ketenagakerjaan di konstitusi kita, kita letakkan pada tekanan-tekanan," ujar Masionton.

Meski begitu, Masinton menyampaikan ada kriteria tertentu yang harus dipenuhi untuk perppu sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138 Tahun 2009.

(Sumber: Kompas.com/Ardito Ramadhan, Dylan Aprialdo Rachman)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi