Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menelaah Fenomena Hiper Regulasi, Apa Sebabnya?

Baca di App
Lihat Foto
Kompas.com/Fitria Chusna Farisa
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Nur Sholikin usai diskusi di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (15/10/2019).
|
Editor: Resa Eka Ayu Sartika

KOMPAS.com - Hasil penelitian dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) baru-baru ini menyebutkan bahwa terjadi hiper regulasi atau penerbitan peraturan perundang-udangan yang sangat banyak di level eksekutif.

PSHK mencatat, sejak Oktober 2014 hingga 2018, ada 7.621 peraturan menteri. Peraturan menteri paling banyak dihasilkan oleh Kementerian Keuangan, kemudian Kementerian Perhubungan, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Sementara itu, jumlah peraturan presiden yang dihasilkan selama empat tahun mencapai 765. Sementara itu, peraturan pemerintah berjumlah 452.

Menurut Peneliti PSHK, Nur Sholikin, fenomena hiper regulasi ini berpotensi menyebabkan tumpang tindihnya peraturan.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belum lagi, sebuah kementerian umumnya memiliki lembaga turunan yang melekat dengan peraturan perundang-undangan tersebut.

Baca juga: PSHK: 4 Tahun Pertama Pemerintahan Jokowi, Eksekutif Hiper Regulasi

"Bicara tentang hiper regulasinya yang dimaksud PSHK, bisa dimaknai dua hal. Pertama, apakah memang birokrasi kita sudah bekerja secara efektif dan efisien dengan regulasi yang ada atau malah terjadi ketumpangtindihan regulasi," tutur Aditya Perdana, Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) saat dihubungi Kompas.com (16/10/2019).

Menurut Aditya, dalam kasus ketumpangtindihan regulasi, yang harus diperhatikan adalah setiap internal kementerian ataupun instansi pemerintahan.

"Misal, sebenarnya, instansi-instansi seperti kementerian ataupun pemerintah memiliki konsen, perhatian yang relatif sama terhadap satu aturan tertentu. Karena mereka mungkin bisa jadi memiliki koordinasi yang lemah, maka kadang tumpang tindih," tambah Aditya.

Aditya mengungkapkan bahwa kondisi tersebut berdampak kemudian terhadap efektivitas kinerja dan efisiensi birokrasi dalam menjalankan atau mengimplementasikan aturan tertentu.

Aditya juga menambahkan bahwa fenomena ini juga berkorelasi dengan penganggaran yang semakin besar karena sebenarnya mengerjakan sesuatu hal yang sifatnya sama tetapi dilakukan banyak pihak.

Dihubungi secara terpisah, Fifiana Wisnaeni, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Diponegoro (UNDIP) mengatakan bahwa fenomena hiper regulasi dapat dilihat dari materi muatan masing-masing peraturan yang berbeda.

Ia menilai bahwa banyaknya peraturan yang ada seperti peraturan Menteri diakibatkan oleh adanya peraturan yang tidak ada di Undang-Undang, tetapi perlu diatur. Begitu pula dengan Peraturan Presiden dan peraturan lain di level eksekutif.

Fifi menyampaikan bahwa peraturan tersebut menjadi banyak karena setiap institusi memiliki kewenangan membuat peraturan yang tidak diatur di atasnya. Jadi, komponen eksekutif dapat membuat peraturan dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan di bidangnya.

"Namun, memang itu terlalu banyak, terlalu gemuk. Benar kata PSHK, bisa terjadi tumpang tindih," ungkap Fifi saat dihubungi Kompas.com, Rabu (16/10/2019).

Menurut Fifi, untuk menghindari tumpang tindih, perlu adanya sinkronisasi harmonisasi terhadap hal-hal yang sudah diatur dalam peraturan.

"Misalnya, dalam satu kementerian yang sama, mengatur dua hal yang sama, tetapi dengan aturan yang berbeda," ujarnya.

"Artinya, jika sudah ada peraturan baru, aturan yang lama dicabut dulu. Jadi, ya memang harus ada sinkronisasi dan harmonisaasi. Itu mungkin yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk menghindari tumpang tindih regulasi," pungkas Fifi.

Baca juga: Banyak Aturan Tumpang Tindih, PSHK Dorong Revisi UU Nomor 12 Tahun 2011

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi