Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hari Ini dalam Sejarah: 2 Anggota KKO Dieksekusi Mati di Singapura

Baca di App
Lihat Foto
www.tnial.mil.id
Usman Janatin dan Harun Said.
|
Editor: Resa Eka Ayu Sartika

KOMPAS.com - Pada minggu kedua di Bulan Maret 1965 tepatnya pada tanggal 10, suasana sore hari di Singapura berubah kelam. Sebuah bom meledak di Mac Donald House (MDH) yang terletak di kawasan Orchard Road, Singapura.

Akibat dari peristiwa itu, enam orang tewas. Namun beberapa sumber mengabarkan, jika korban tewas berjumlah dua orang.

Sumber lain menyatakan, korban tewas berjumlah tiga orang sementara korban luka tercatat berjumlah 33 orang.

Menurut laman Singapore Infopedia, Usman dan Harun tiba di Singapura pada 10 Maret 1965 pukul 11.00.

Mereka berdua saat itu menyamar sebagai warga biasa dan mennuju ke bangunan MacDonald House. Keduanya saat itu meletakkan bahan peledak di lantai mezanine bangunan di dekat area lift.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Jokowi Ganti Nama Jalan Prapatan Menjadi Jalan Prajurit KKO Usman-Harun

Setelah itu, keduanya menyalakan sumbu, mereka berdua meninggalkan gedung pada pukul 15.00 dengan menaiki bus.

Seorang saksi mengatakan, dia melihat sebuah tas kanvas dengan logo Malayan Airways di lantai mezanine yang disebut merupakan lokasi ledakan.

Bom pun kemudian meledak pada pukul 15.07. Ledakannya merusak pintu lift dan merusak puluhan toko di dekatnya. Selain itu, ledakan juga merusak serta puluhan kendaraan roda empat rusak berat dan ringan.

Pemeriksaan terhadap bangunan menunjukkan sekitar 9 hingga 11 kilogram bahan peledak nitrogliserin digunakan untuk mmebuat bom.

Tiga hari setelah peristiwa itu, Pemerintah Singapura menangkap dua orang prajurit Korps Komando Operasi (KKKO) AL, yakni Usman bin Muhammad Ali dan Harun bin Said alias Tahir.

Mereka berdua ditangkap saat sedang berusaha melarikan diri dari Singapura.

Pemerintah Singapura akhirnya menjatuhkan putusan hukuman mati untuk keduanya karena dianggap bersalah melanggar controlled area sesuai dengan International Security Act.

Putusan ini diberikan pada tanggal 20 Oktober 1965.

Usman dan Harun adalah anggota pasukan khusus yang menyusup ke Singapura semasa Konfrontasi Ganyang Malaysia (1963-1966).

Penolakan

Keputusan Pemerintah Singapura untuk mengeksekusi mati kedua anggota KKO ini berbuah penolakan dari pihak Indonesia.

Selain itu, keduanya juga dituduh melakukan sabotase yang mengakibatkan meninggalnya dua orang warga sipil.

Harian Kompas, 16 Oktober 1968 mengabarkan, Pemerintah Singapura menolak permintaan Presiden Soeharto untuk meringankan hukuman terhadap dua anggota KKO tersebut.

Sebelumnya, Presiden Soeharto telah menyampaikan surat kepada Perdana Menteri Lee Kuan Yew pada tanggal 10 Oktober 1968 atau sehari setelah Menteri Luar Negeri Singapura, S Rajaratnam mengirimkan surat jawaban terhadap permintaan dari Menlu Adam Malik.

Saat itu, di Indonesia, penolakan Pemerintah Singapura dianggap sebagai tindakan yang tidak bersahabat.

Baca juga: Perjalanan Korps Marinir AL, Berawal dari KKO dan Sempat Masuk AD

Setelah menerima penolakan, Presiden Soeharto kembali mengirimkan utusannya, yaitu Brigjen Tjokropanolo untuk menegaskan kembali isi surat terdahulu dan meminta agar hukuman mati ditunda.

Tak hanya Pemerintah Singapura, pengadilan federal Malaysia (saat itu Singapura masih bergabung dengan Malaysia) juga telah menolak permintaan Pemerintah RI pada tanggal 5 Oktober 1966.

Hal ini kemudian membuat kedua anggota KKO itu dieksekusi mati di tiang gantungan pada 17 Oktober 1968 atau selang tiga hari setelah peristiwa ledakan di Orchard Road.

Eksekusi dan disambut sebagai pahlawan

Sebelum dieksekusi, Usman saat itu memberikan permintaan terakhir yang disampaikan oleh Kuasa Usaha al. RI di Singapura, Letkol Ramly. Dalam suratnya, Usman meminta agar jasadnya dibawa pulang ke Indonesia. Selain itu, ia meminta agar keluarganya diberi tahu

Harian Kompas, 18 Oktober 1968 menyebutkan, setelah dihukum gantung, jenazah kedua anggota KKO tersebut diterbangkan ke Tanah Air pada hari yang sama.

Tak hanya itu, kedatangan kenazah juga disambut oleh masyarakat yang memenuhi bandara Kemayoran. Segera setelah berada di Indonesia, Pemerintah dan menaikkan pangkatnya menjadi Kopral Anumerta dan Sersan Anumerta.

Pimpinan KKO juga mengusulkan agar keduanya dianugerahi Bintang Sakti serta diangkat menjadi pahlawan nasional.

Kemudian setelah meninap semalam di aula Hankam, jenazah Usman dan Harun dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan upacara militer.

Hubungan RI-Singapura

Peristiwa tersebut tentunya memengaruhi hubungan kedua negara. Setelah beberapa tahun berselang, PM Lee Kuan Yew menaburkan bunga di makam Usman dan Harun.

Arsip Harian Kompas, 28 Mei 1973 tersebut menyebutkan, PM Lee saat itu tak hanya menaburkan bunga di atas makam keduanya. Taburan bunga itu berlangsung sesaat setelah Lee menaburkan bunga di makam Pahlawan Revolusi.

Meski berlangsung singkat, namun peristiwa ini merupakan titik bersejarah dalam perkembangan hubungan RI dan Singapura pasca-eksekusi mati Usman dan Harun, delapan tahun sebelumnya.

Lee dalam bukunya berjudul From Third World to First: The Singapore Story:1965-2000, seperti dikutip dari pemberitaan Kompas.com 24 Maret 2014 menyatakan, ketika itu Dubes Singapura untuk Indonesia, Lee Khoon Choy, yang menyarankan untuk menutup episode kelam itu dengan sebuah bahasa tubuh diplomatik yang bersahabat.

Lee Khon Choy akhirnya menyarankan PM Lee untuk meletakkan karangan bunga di makam Usman dan Harun.

Hubungan kedua negara kembali memanas saat Pemerintah RI berencana memberi nama salah satu kapal perang baru buatan Inggris dengan nama KRI Usman-Harun.

Pemerintah Singapura menganggap, pemberian nama itu akan melukai rakyat Singapura terutama mereka yang menjadi korban peledakan bom.

Namun protes yang dilayangkan lewat Menteri Luar Negeri K Shanmugam ini hanya dianggap sebagai suatu bentuk keprihatinan.

"Kenapa harus seperti itu (diganti)? Kita cukup mencatat keprihatinan dari Pemerintah Singapura. Saya rasa demikian," ucap Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa seperti dikutip dari pemberitaan Kompas.com, 6 Februari 2014.

Namun karena tidak diindahkan, Pemerintah Singapura melalui Menteri Pertahanan Singapura Ng Eng Hen mengatakan negaranya melarang kapal perang Indonesia itu memasuki teritorinya, termasuk pelabuhan dan pusat pangkalan angkatan laut.

Meski dilarang untuk memasuki perairan Singapura, namun Panglima TNI Jenderal Moeldoko memastikan tak akan mengubah nama KRI Usman-Harun.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi