Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KPK Fana, Korupsi Abadi (3): Apakah Kita sedang Berjalan Mundur?

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA
Tulisan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tertutup kain hitam di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (9/9/2019). Penutupan tulisan KPK dengan kain hitam yang dilakukan sejak Minggu (8/9/2019) itu merupakan bagian dari aksi simbolis jajaran pimpinan hingga pegawai KPK jika revisi Undang-undang KPK disetujui dan pimpinan KPK ke depan diisi orang-orang bermasalah yang dipandang akan melemahkan KPK.
|
Editor: Heru Margianto

 

Artikel ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya tentang KPK Fana, Korupsi Abadi. Sebelum membaca, silakan baca dulu tulisan pertama dan kedua.

-------------------------------------------

KOMPAS.com - Sejak berdiri pada Desember 2002 silam, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memproses 1.064 orang dan korporasi atas kasus korupsi.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sebanyak 1.064 orang itu terdiri dari 255 wakil rakyat; 27 kepala lembaga dan menteri; empat duta besar; tujuh komisioner; 20 gubernur; 110 wali kota dan bupati; 208 pejabat eselon I hingga III; 22 hakim; delapan jaksa; dan dua polisi.

Lainnya, ada 11 pengacara; 266 orang dari swasta; enam korporasi; dan 118 sipil dengan berbagai profesi yang turut memuluskan korupsi.

Total uang yang diselamatkan KPK, atau potensi kerugian negara yang tidak jadi hilang karena terjadinya korupsi, sejak 2004 hingga 2018 mencapai Rp 161,1 triliun.

Bayangkan berapa sekolah, jalan, dan rumah yang bisa dibangun dengan uang sebanyak itu.

Korupsi tak pernah mati

Uang sebanyak itu bisa diselamatkan karena kewenangan yang dimiliki KPK.

KPK sendiri dilahirkan karena penanganan kasus korupsi yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan belum maksimal.

Kasus dugaan korupsi oleh Mantan Wali Kota Depok Nur Mahmudi yang ditangani Polres setempat misalnya, memang membuat warga Depok lega.

Namun setahun sejak Nur Mahmudi ditetapkan sebagai tersangka, kasusnya tak pernah terdengar lagi.

Penanganan kasus korupsi memang membutuhkan upaya luar biasa, yang selama ini dimiliki KPK.

Kalau tidak, bagaimana mungkin mafia hukum dari lembaga tinggi negara seperti Akil Mochtar bisa diproses?

Ketua Mahkamah Konstitusi (2012-2013) Akil Mochtar dicokok KPK karena terbukti menerima gratifikasi untuk sejumlah kasus sengketa pemilu.

Sebelum ada KPK, pemberantasan korupsi dilakukan setengah hati. Di era Orde Baru, Presiden Soeharto pernah membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK).

Namun lembaga itu tak punya taring. Ia ciut ketika harus mengusut kasus yang melibatkan kroni Soeharto.

TPK hanya mengusut kasus korupsi receh. Pembiaran terhadap kasus korupsi besar menuai protes dari mahasiswa dan masyarakat.

Tentu berlebihan jika menyebut KPK telah menyelamatkan negara ini dari korupsi. Sebab faktanya, setiap hari ada saja berita pejabat tertangkap tangan.

Pada 2018 lalu, survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengungkapkan 52 persen dari 2.000 responden menilai tingkat korupsi mengalami peningkatan.

Kendati demikian, tren korupsi yang terjadi dalam dua tahun terakhir disebutkan menurun.
LSI mencatat pada 2016 trennya mencapai 70 persen sementara pada 2017 trennya berada di level 55 persen.

Namun ini bisa berarti dua. Entah pemberantasan korupsi semakin kencang, atau memang korupsi makin marak.

Bukti lain korupsi masih menjadi ancaman nyata, Indonesia hanya mengantongi skor 66,54 dalam Ease of Doing Business Score yang dikeluarkan Bank Dunia pada 2018.

Indonesia berada di peringkat ke-73 dari 190 negara. Dari 10 komponen yang diukur, Indonesia masih bermasalah terkait upaya memulai bisnis, berurusan dengan perizinan, pemenuhan kontrak, dan membayar pajak.

Bagi sebagian perusahaan, suap dinilai memberatkan, tetapi mau tidak mau dilakukan karena birokrasi yang berbelit dan memakan waktu.

Bagian dari budaya

Lalu, apa artinya KPK gagal memberantas korupsi? Tentu tidak tepat jika KPK disalahkan atas masih maraknya korupsi.

Langkah KPK sendiri kerap dijegal. Tak jarang orang-orang di balik KPK harus bertaruh nyawa.
Mantan Ketua KPK Antasari Azhar misalnya, harus mendekam selama delapan tahun di penjara atas pembunuhan yang ia bersumpah tak pernah dilakukannya.

Kemudian penyidik KPK Novel Baswedan yang harus kehilangan sebagian pengelihatannya karena diserang dengan air keras pada 2017 lalu.

Korupsi memang sudah mendarah daging di negeri ini. Sejak era kerjaan dan penjajahan, pungutan ilegal dan suap menyuap sudah menjadi budaya.

Dikutip dari Korupsi: Membuka Pandora Box Perilaku Korup dari Dimensi Etika, Budaya dan Keperilakuan (2018), di awal kemerdakaan dan Orde Lama, jabatan dalam birokrasi dipegang orang yang dekat dengan partai dan penguasa.

Praktik korupsi sering dilakukan birokrat yang memiliki kewenangan untuk kepentingan pribadi dan partai politiknya.

Sulitnya ekonomi pada masa itu juga mendorong mereka yang berkuasa mencari penghasilan di luar profesinya.

Memasuki Orde Baru, korupsi merajalela. Masifnya pembangunan membuka celah birokrat, pejabat, dan pengusaha mengeruk keuntungan untuk masing-masing.

Pemerintahan yang otoriter juga menyuburkan nepotisme. Dunia menobatkan Presiden Soeharto sebagai diktator terkorupsi di abad 20.

Setelah Soeharto terjungkal, korupsi masih berjaya. Semangat antikorupsi yang dibawa reformasi, hanya jargon semata bagi sebagian politisi dan birokrat.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bahkan pernah menyebut KPK saat menyebutnya sebagai lembaga superbody yang berbahaya.

Menurut SBY, kekuasaan KPK terlalu besar tanpa kontrol memadai. Tapi kita semua ingat saat itu besan SBY, Aulia Pohan, ditangkap KPK.

Dua dekade setelah reformasi, korupsi masih dianggap wajar.

Survei LSI menyebut sekitar 34 persen responden menilai pemberian uang atau hadiah yang merupakan suap atau gratifikasi itu wajar.

Untuk kolusi dan nepotisme, 9 persen responden berpersepsi tindakan itu masih perlu dilakukan untuk memperlancar suatu proses.

Kemudian 30 persen responden menjawab hal itu tindakan normal.

Dengan adanya KPK saja, korupsi masih merajalela. Bagaimana dengan kini, saat KPK dilemahkan dan dipangkas kewenangannya?

Apakah mungkin korupsi bisa diberantas? Ataukah kita sedang berjalan mundur?

Selesai.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi