Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

UU KPK Versi Revisi Berlaku, Membayangkan KPK Setelah Ini...

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/DYLAN APRIALDO RACHMAN
logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung KPK.
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com – Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi berlaku pada hari ini, Kamis (17/10/2019).

Meski tanpa tanda tangan Presiden, UU KPK versi revisi berlaku 30 hari setelah disahkan DPR pada 17 September 2019.

Dalam perjalanan revisi UU KPK, muncul sejumlah kontroversi, terutama beberapa pasal yang dianggap akan melemahkan fungsi KPK.

Bagaimana KPK setelah UU KPK versi revisi ini berlaku?

Peneliti Indonesia Corruption Watch Kurnia Ramadhana menilai, ritme kerja KPK ke depan akan terganggu.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

“Seluruh UU KPK yang kita pandang bermasalah berlaku hari ini dan itu akan mengganggu ritme kerja KPK ke depannya,” ujar Kurnia, saat dihubungi Kompas.com, Kamis (17/10/2019).

Menurut Kurnia, salah satu yang dipandang bermasalah adalah ketentuan soal Surat Perintah Penghentian Penyidikan Perkara (SP3).

Baca juga: Tipo Tak Dikoreksi Melalui Rapat Paripurna, UU KPK Dinilai Tidak Sah

Berdasarkan UU KPK versi revisi, kasus-kasus yang jangka waktu penanganannya lebih dari 2 tahun, bisa dihentikan.

“Poin krusialnya, kasus-kasus yang berdimensi merugikan negara, besar kemungkinannya dihentikan dengan adanya undang-undang yang baru. Misalnya kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia, Bank Century, KTP elektronik, ini kan kasus yang penyelidikannya melebihi 2 tahun dalam waktu dekat ini,” ujar Kurnia.

Ia mengatakan, sejatinya, KPK tak memiliki wewenang dalam hal mengeluarkan SP3.

Hal ini, lanjut Kurnia, bertentangan dengan tiga putusan MK yang dikeluarkan tahun 2003, 2006, dan 2010.

Selama ini, sudah ada mekanisme penghentian perkara di KPK tanpa harus mengeluarkan SP3.

Ketika bukti tidak cukup saat kasus dalam penanganan, maka kasus bisa dilimpahkan ke persidangan dan terdakwa bisa dinyatakan bebas.

Menurut Kurnia, yang menjadi pertimbangan adalah setiap kasus memiliki kerumitan yang berbeda-beda.

Baca juga: UU KPK Hasil Revisi Berlaku, Masih Bisakah KPK Lakukan OTT ?

Oleh karena itu, pembatasan atau limitasi waktu dalam UU KPK versi revisi adalah hal yang tidak tepat.

“Tingkat kerumitan masing-masing kasus berbeda. Kalau kita bicara OTT, bukti mudah dengan modal penyadapan dihadirkan persidangan bisa selesai. Tapi kalau kasusnya case building yang misal terkait perbankan dan lain-lain, itu pasti butuh waktu untuk mengumpulkan buktinya,” kata Kurnia.

Ia mencontohkan, kasus Garuda Indonesia yang harus menunggu bukti-bukti dari Inggris, serta kasus KTP elektronik yang untuk mendapatkan perhitungan kerugian negara membutuhkan waktu sekitar 2-3 tahun.

Selain masalah SP3, ia menilai, jika Dewan Pengawas dibentuk, maka proses KPK saat melakukan tangkap tangan akan terganggu.

Alasannya, karena harus melalui birokrasi Dewan Pengawas sehingga tidak akan efektif.

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: 26 Poin RUU KPK yang Berisiko Melemahkan KPK

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi