Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Viral Kucing Dicekoki Ciu, Kenapa Warganet Mudah Sekali Marah?

Baca di App
Lihat Foto
Mashable
Ilustrasi
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Sebuah video yang menampilkan seekor kucing yang tengah sekarat diduga akibat dipaksa minum cairan dari dalam gelas yang diduga merupakan ciu atau minuman beralkohol ramai beredar di media sosial baru-baru ini.

Pasalnya, video yang diunggah oleh akun Twitter James, @tolovesme ini menimbulkan respons yang tinggi dari pengguna Twitter lainnya.

Mayoritas pengguna Twitter menuliskan tanggapan mereka yang marah dengan perlakuan yang dialami kucing tersebut.

"Liat ini jantung langsung degdegan parah. Emosi, sedih, campur aduk jadi satu. Sebegitu sayangnya saya sama kucing, enggak bisa lihat ada orang yang tega. Salah apa sih kucing itu sama kamu? Dosa apa sih yang sudah dia buat?," tulis akun @vinsnaa dalam twitnya.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Sekesel-keselnya saya sama kucing enggak akan tega buat ngelakuin hal sekejam itu..walau kucing tetangga udah makan burung peliharaan saya, jebolin atap rumah, geser genteng rumah sampai pada bocor pas ujan, berak sembarangan, hobi nyuri makanan di meja, tapi kalau mau marah enggak tega mukanya terlalu lucu," tulis akun @jaki_zackski dalam twitnya.

"Biadab kejam sekali. Semoga pelaku juga akan mendapat perlakuan yang sama. Biar dia rasakan apa yang kucing tersebut rasakan," tulis akun @EmmySumangkut dalam twitnya.

Menilik fenomena tersebut, dokter spesialis kesehatan jiwa di RS Gading Pluit, Kelapa Gading, Jakarta Utara, dr Dharmawan AP, SpKJ mengungkapkan bahwa fenomena warganet yang marah dengan video kucing yang viral merupakan reaksi yang reaktif dari masyarakat.

"Ini kan masyarakat yang belum dewasa menyikapi media sosial. yang posting pun tidak bijaksana, yang bereaksi kan sama aja yang reaktif terhadap suatu kasus baik di medsos maupun langsung kejadian di masyarakat," ujar Dharmawan saat dihubungi Kompas.com,  Sabtu (19/10/2019).

"Masyarakat yang reaktif, bukan asertif," kata dia.

Baca juga: Viral Video Kucing Diberi Ciu, Bagaimana Ceritanya?

Adapun asertif merupakan kemampuan untuk mengomunikasikan apa yang diinginkan dan dipikirkan kepada orang lain, namun tetap menjaga dan menghargai perasaan pihak lain.

Menyoal jika ada unggahan yang menimbulkan emosi, Dharmawan menyarankan agar warganet sebaiknya memiliki pendidikan kesehatan jiwa.

"Pendidikan kesehatan jiwa masyarakat harusnya bisa menghasilkan masyarakat yang bisa mengonfirmasi dulu setiap ada stimulus (tabbayun)," ujar Dharmawan.

Menurutnya, luapan emosi yang dituliskan warganet merupakan reaksi bahwa ciu tidak boleh diberikan pada binatang.

Tak hanya itu, tindakan merekam video juga dinilai tidak sesuai dengan etika bersikap terhadap makhluk hidup.

"Jadi, boleh saja bereaksi menentang sikap tidak berperasaan pada sesama makhluk hidup, tapi reaksi yang asertif bukan reaktif," ujar Dharmawan.

Tak hanya itu, Dharmawan mengungkapkan untuk upaya antisipasi agar fenomena emosi berlebihan tidak terjadi, ia mengungkapkan agar menerapkan pendidikan sejak kecil.

Adapun pendidikan ini diinisiasi supaya masyarakat dapat mengenali dan mengolah rasa serta mengendalikan perilaku.

Baca juga: Cerita Panjang di Balik Tenarnya Ciu Bekonang

Tanggapan Sosiolog

Sementara itu, Guru Besar Sosiologi dari Universitas Airlangga (Unair) Bagong Suyanto menjelaskan bahwa ketika informasi cepat menyebar luas tanpa adanya kejelasan, maka kemungkinan kabar tersebut adalah hoaks.

"Memang ketika informasi cepat meluas, tapi tidak diimbangi dengan literasi kritis yang kuat, maka kemungkinan termakan hoaks akan besar," ujar Bagong saat dihubungi Kompas.com secara terpisah pada Sabtu (19/10/2019).

Ia mengungkapkan bahwa agar tidak termakan hoaks, sebaiknya masyarakat menerapkan literasi kritis.

"Net generation disebut now generation. Kalau apa-apa ingin seketika, tapi tidak kritis," kata dia.

Adapun efek ke depannya jika masyarakat cenderang mudah terbawa emosi, yakni daya imunitas untuk menenggang perbedaan (tidak mudah tersinggung) akan makin tipis dan berpotensi memicu konflik.

Selain itu, agar masyarakat luas lebih paham mengenai informasi dan situasi media sosial, ada baiknya memiliki sikap skeptis dan menakar terlebih dahulu akurasi informasi.

Bagong juga mengimbau kepada masyarakat agar membiasakan diri menjeda ketika menerima informasi, dan menunggu klarifikasi baru kemudian baru bisa bersikap.

Baca juga: Mengenal Jenis dan Gangguan Kesehatan Mental

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi