KOMPAS.com - Bisnis prostitusi di Indonesia sudah ada sejak zaman dahulu dan kerap menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat.
Hal itu karena keberadaannya tidak diatur dalam regulasi yang jelas sehingga berstatus ilegal dan dipraktikkan secara sembunyi-sembunyi tanpa kontrol.
Efek sosial dan kesehatan yang timbul akibat bisnis prostitusi ini kerap menjadi masalah tersendiri di tengah kehidupan masyarakat.
Untuk itu, kerap terdengar usulan untuk melegalkan bisnis ini agar dapat dikelola dengan lebih rapi.
Tidak hanya pengelolaan, akan tetapi memantau efek kesehatan dan meminimalisir sanksi sosial yang mungkin muncul pada para pelaku dan pegiatnya.
Melegalkan prostitusi bisa saja terjadi, namun Kriminolog asal Universitas Indonesia Iqrak Sulhin menyebut akan ada tantangan besar jika diterapkan di Tanah Air.
Baca juga: Kasus Prostitusi di Batu, Kok Orang Justru Fokus pada Sosok PA?
"Bila perspektifnya melindungi pelaku dan masyarakat dari persebaran penyakit, maka prostitusi yang terkendali mungkin bisa dianggap solusi yang dapat diterima," kata Iqrak saat dihubungi, Minggu (27/10/2019).
"Meskipun tentu, dalam konteks Indonesia, akan berbenturan dengan pandangan masyarakat atas dasar agama," lanjutnya.
Masalah yang tidak kalah besar di tengah masyarakat adalah adanya pelabelan bagi perempuan-perempuan pekerja seks yang langsung diganjar stigma buruk.
Bentuk eksploitasi
Padahal, bisa saja mereka terjerumus ke lembah prostitusi karena adanya paksaan pihak lain.
Di lingkaran yang sama, terdapat pula orang-orang yang pantas untuk dipersalahkan, misalnya mucikari atau konsumen yang membuat penawaran jasa ini tersedia.
Namun, seringkali mereka lolos dari sanksi sosial dan bahkan dari sanksi pidana.
Hal ini menjadikan hukuman yang diterima oleh si perempuan menjadi berlipat ganda, hanya karena berdasar pada objektifikasi gender semata.
Perempuan pekerja seks terlanjur dilabeli hina, sementara para laki-laki yang membisniskan dan menikmatinya bebas dari stigma apapun.
Ini juga terjadi hingga di ranah media yang terkadang lupa dengan besaran porsi berita mengenai kasus prostitusi yang lebih mengekspos posisi si perempuan.
"Yang masalah memang peberitaan media yang tidak proporsional. Dalam kasus prostitusi, yang disorot selalu perempuan pelaku, namun porsi untuk pengorganisir atau yang memperdagangkan atau yang menjadi konsumen selalu minim," ujar Iqrak.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.