Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tak Selalu Baik, Sedotan Logam Juga Simpan Bahaya bagi Bumi

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK
Ilustrasi sedotan logam.
|
Editor: Resa Eka Ayu Sartika

KOMPAS.com - Berbagai upaya seringkali dilakukan untuk memiliki gaya hidup yang ramah lingkungan. Salah satu upaya yang populer digalakkan beberapa tahun terakhir adalah peralihan dari penggunaan sedotan berbahan plastik ke bahan-bahan non plastik.

Dampak dari peralihan tersebut telah sering dibahas.

Baru-baru ini, dampak penggunaan bahan non plastik sebagai bahan sedotan kembali dibicarakan setelah muncul postingan twitter @bene_dion yang membagikan tangkapan layar dari postingan akun Instagram @clayperon.ugm.

Baca juga: Tren Tinggalkan Sedotan Plastik, Seberapa Besar Kontribusinya untuk Lingkungan?

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dalam postingan akun Clayperon UGM, disebutkan bahwa sedotan besi sebagai salah satu alternatif bahan sedotan ramah lingkungan dinilai boros energi dan menyumbang emisi CO2 terbesar.

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan, hasil penelitian yang ditampilkan dalam bentuk grafik tersebut berasal dari ENGR308 Technology and Environment and Humbolt State University, HSU Straw Analysis.

Melansir dari HSU Straw Analysis, penelitian dilakukan pada sedotan berbahan plastik, besi, kaca, kertas, dan bambu. Analisis membandingkan tiga metrik, yaitu emisi karbon dioksida, energi yang melekat, dan biaya.

Setelah dilakukan penelitian, disimpulkan bahwa material yang digunakan, diangkut, dan dibuang dari penggunaan satu sedotan plastik membutuhkan 23,7 kJ energi dan 1,46 gram emisi karbon dioksida.

Sebagai perbandingan, satu sedotan besi dalam pembuatannya menggunakan 2420 kJ energi dan melepaskan 217 gram karbon dioksida.

Baca juga: Susi: Kalau Minum Pakai Sedotan Plastik, Malu-maluin...

Sementara, satu sedotan kaca menggunakan 1074 kJ energi dan melepaskan emisi karbon dioksida sebesar 65,2 gram. Satu sedotan kertas menggunakan 16 kJ energi dan emisi karbon dioksida sebesar 1,38 gram.

Sedangkan sebuah sedotan bambu menghabiskan 756 kJ dan melepaskan karbon dioksida sebesar 38,8 gram.

Untuk mengurangi energi yang melekat tersebut dan emisi karbon dioksida yang ada di dalam sebuah sedotan besi, sedotan kaca, dan sedotan bambu, sedotan tersebut harus digunakan secara berulang-ulang.

Untuk sedotan besi, harus digunakan kembali sebanyak 102 kali (untuk parameter energi) dan 149 kali (untuk parameter emisi karbon dioksida).

Sedangkan untuk sedotan kaca, harus digunakan kembali sebanyak 45 kali (untuk parameter energi) dan 45 kali (untuk parameter emisi karbon dioksida).

Pada sedotan bambu, harus digunakan kembali sebanyak 32 kali (untuk parameter energi) dan 27 kali (untuk parameter emisi karbon dioksida).

Namun, penelitian tersebut menunjukkan bahwa plastik memiliki energi paling kecil dalam proses pembuatan dan emisi karbon dioksida.

Akan tetapi besarnya dampak negatif pada lingkungan yang ditimbulkan akibat penggunaannya yang sekali pakai tetap harus dicari alternatifnya.

Setelah plastik, sedotan kertas juga dibuat dengan energi dan emisi karbon dioksida yang kecil.

Sedangkan untuk bahan-bahan yang dapat digunakan kembali, energi yang dibutuhkan dan emisi karbon dioksida paling kecil ada pada bahan bambu.

Pada dasarnya, semakin sering digunakan, sedotan-sedotan non plastik memiliki dampak yang semakin besar.

Bahaya Lain

Melansir dari Kompas.com (24/07/2019), Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Dwi Sawung menilai bahwa apapun bahannya, selama digunakan dengan bijaksana, maka akan berdampak baik untuk lingkungan.

Menurutnya, maraknya penggunaan sedotan besi/logam sebenarnya membawa dampak terkait pertambangan.

Namun, ia menilai bahwa dampaknya tidak sebesar dampak yang ditimbulkan oleh limbah sedotan plastik.

Baca juga: Perempuan di Inggris Tewas Akibat Tertusuk Sedotan Logam

Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Juru Kampanye Urban Green Peace Indonesia Muharram Atha Rasyadi. Menurutnya, sedotan besi, bambu, kertas, atau yang lainnya, tidak membawa dampak serius yang buruk bagi lingkungan karena dapat dipakai berulang kali dan mudah diurai kembali.

Dalam pemberitaan tersebut, Green Peace dan Walhi sama-sama mengingatkan bahwa peralihan penggunaan barang-barang yang tak sekali pakai akan lebih berdampak jika terkait penggunaan sehari-hari.

Sedotan dinilai bukan barang wajib dalam konsumsi sehari-hari. Kecuali, bagi yang memiliki keterbatasan fisik hingga membutuhkan sedotan saat hendak minum.

“Langsung diminum saja tanpa alat bantu, kecuali beberapa orang yang difable yang perlu sedotan. Jadi kalau misal bisa enggak pakai sedotan, ya enggak usah pakai sedotan,” ujar Dwi. Sementara itu, Atha mengatakan, sedotan bukan salah satu kebutuhan primer yang harus ada.

“Kami melihat pada konteks sedotan, ini bukan menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat. Dan lebih ke arah gaya hidup yang sudah menjadi kebiasaan. Kecuali kalau kita bicara dalam hal para difabel yang memang memiliki kebutuhan khusus,” jelas Atha.

(Sumber: Kompas.com/ Luthfia Ayu Azanella |Inggried Dwi Wedhaswary)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi