Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Serikat Guru Beri 4 Saran untuk Mendikbud Nadiem Makarim

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim saat pelantikan menteri-menteri Kabinet Indonesia Maju di Istana Negara, Jakarta, Rabu (23/10/2019). Presiden RI Joko Widodo mengumumkan dan melantik menteri-menteri Kabinet Indonesia Maju.
|
Editor: Resa Eka Ayu Sartika

KOMPAS.com - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) memberikan empat catatan terkait fokus yang harus diperhatikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim.

Dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Rabu (30/10/2019), FSGI merasa cemas karena Nadiem dinilai belum memiliki pengalaman dalam mengurus pendidikan.

Meski begitu, FSGI juga tak memungkiri kesuksesan Mendikbud dalam mengelola bisnis aplikasi transportasi online. Adapun keempat catatan tersebut antara lain:

Persoalan guru

Data dari badan akreditasi sekolah/madrasah (BAN S/M) menunjukkan ada berbagai permasalahan terkait guru terutama mengenai kompetensi. FSGI menilai, angka capaian Uji Kompetensi Guru (UKG) secara nasional rendah.

Ini terlihat dari capaian UKG pada tahun 2015-2017. Dengan skala 1-100, capaian UKG secara nasional berturut-turut sebagai berikut:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Kemendikbud Tegaskan Nadiem Makarim Tak Punya Akun Medsos

Menurut FSGI, angka capaian ini masih jauh dari harapan. Salah satu penyebabnya adalah minimnya pelatihan guru oleh pemerintah daerah.

"Di Jakarta sekalipun. Adapun pelatihan, tapi dengan metode 'itu-itu saja', cara yang sama dilakukan, tapi berharap hasilnya berbeda," tulis FSGI.

Selain itu, menurut Wasekjen FSGI, Satriwan Salim, banyak daerah yang hanya mengalokasikan anggaran pendidikan di bawah 20 persen sebagaimana kewajiban menurut UUD 1945. Bahkan banyak daerah yang hanya mengalokasikan anggaran pendidikannya sebesar 10 persen dari APBD atau di bawahnya.

Persoalan guru yang kedua adalah perlindungan guru dalam menjalankan profesi.

Meski sudah ada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbu) Nomor 82 Tahun 2015 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan dan Permendikbud Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan, namun selama lima tahun, FSGI mencatat kekerasan yang dialami guru semakin beragam dan relatif meningkat.

Kekerasan tersebut termasuk perundungan yang dilakukan oleh siswa, orangtua, dan kepala sekolah. Perundungan yang dialami bukan hanya kekerasan verbal semata, namun juga mencakup fisik dan psikis.

Salah satunya adalah guru honorer Budi yang dianiaya dan dibunuh oleh siswanya di Sampang pada 2018. Contoh lain adalah pembunuhan guru di Manado pada tahun ini.

Baca juga: Mendikbud Nadiem Makarim Diminta Reformasi Pola dan Format Pelatihan Guru

"Para guru kepala sekolah, siswa, orang tua, pengawas sekolah sampai birokrat pendidikan di daerah sangat jarang diberi pelatihan bagaimana pengimplementasian kedua aturan penting tersebut," tulis FSGI.

Selain itu, penyebab meningkatnya kekerasan yang terjadi pada guru juga disebabkan oleh belum tersosialisasinya pedoman tekni tersebut di lingkungan sekolah.

Persoalan guru ketiga adalah minimnya kesejahteraan guru honorer. FSGI menyoroti masih ada guru honorer yang digaji di bawah Rp 500.000 per bulan dengan tuntutan dan beban yang sama dengan guru tetap atau mereka yang sudah berstatus sebagai aparatur sipil negara (ASN).

Tak hanya itu, jumlah guru honorer yang mencapai hampir separuh dari total jumlah guru nasional sebanyak 3,1 juta orang.

Untuk itu, FSGI menyarankan adanya format pelatihan yang berbobot. Ukuran kulaitas pelatihan bukan dari lama atau singkatnya, tetapi lebih kepada konten dan pengelolaan pelatihan guru tersebut yang efektif, praktis, dan berisi.

Kemudian pelatihan juga harus bermakna dan sesuai dengan kebutuhan guru danbukannya pemerintah.

"Sebab kebutuhan guru-guru itu berbeda, mengingat sebaran guru yang luas, karakteristik geografis yang berbeda, ditambah jenjang sekolah yang bertingkat pula," tulis FSGI.

Lalu pelatihan juga harus berdampak terhadap proses dan hasil pembelajaran siswa. Pelatihan tersebut harus bisa mengubah cara pandang guru, kualitas pembelajaran, serta metode pembelajaran.

Selanjutnya, pelatihan guru harus berkelanjutan dan ada kontinuitas atau bahkan malah berjenjang.

Adapun saran terakhir adalah adanya evaluasi setelah pelatihan agar pemerintah khususnya pemda memiliki data perkembangan para guru.

Lulusan SMK

Satriwan mengatakan, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan pemasok angka pengangguran tertinggi di Indonesia. Padahal jumlah SMK swasta di Indonesia sekitar 10.500, sedangkan SMK negeri berjumlah sekitar 3.500 sekolah.

Meski SMK swasta memiliki jumlah lebih banyak dibanding SMK negeri. Meski begitu, lulusan SMK negeri lebih banyak dibanding SMK swasta.

"SMK kekurangan guru mata pelajaran produktif; Kurikulum SMK tidak relevan (tidak link and match) dengan kebutuhan dunia industri," tutur Satriwan.

Baca juga: Respons Debat Capres, FSGI Sebut Penanaman Pancasila di Sekolah Sudah Dilakukan

Penyebab lain adalah pendirian SMK swasta minim pengawasan serta minim ketersediaan calon guru mata pelajaran produktif di LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan).

Untuk itu, FSGI menyarankan Mendikbud untuk membenahi kurikulum SMK agar sesuai dengan kebutuhan dunia industri dengan mempertimbangkan karakteristik SMK dan konteks daerah tempat SMK berdiri.

Selain itu, pemerintah juga harus memberikan insentif lebih kepada guru mata pelajaran produktif agar tertarik menjadi guru di sekolah vokasi.

"Kemdikbud bisa menginstruksikan LPTK (di bawah Kemdikbud) untuk membuat semacam kontrak agar lulusannya mengajar matpel produktif di SMK sehingga lulusan LPTK berminat menjadi guru matpel produktif," tulis FSGI.

LPTK juga bisa membuka prodi-prodi industri kreatif yang dibutuhkan oleh dunia industri. Tak hanya itu, pemerintah bisa menggandeng dunia industri untuk mendesain kurikulum SMK yang berbasis pada karaktristik serta fokus penjurusan di sekolah tersebut.

"Pemerintah (daerah) lebih ketat dalam pemberian izin pendirian SMK baru; Pemerintah daerah bisa mengadopsi pola pendidikan di SMK Swasta tertentu yang dinilai berhasil menyerap tenaga kerja," tulis FSGI.

Implementasi PPK

Adapun persoalan ketiga adalah implementasi Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang dinilai membingungkan guru. FSGI berpendapat pendidikan karakter direduksi hanya menjadi acara seremonial semata ketika ada pejabat daerah maupun pusat yang berkunjung.

Adanya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2017 Tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) juga dinilai tidak dibantu dengan pedoman pelaksanaan yang efektif dan berkelanjutan.

"Alhasil para guru dan kepala sekolah pun gamang jika ditanya bagaimana PPK diimplementasikan di sekolahnya," tulis FSGI.

Untuk itu, pelatihan PPK harus berjalan sinergis dengan program pembinaan karakter lainnya, seperti ekstrakurikuler (Pramuka), penguatan nilai-nilai Pancasila, dan pastinya Kurikulum 2013.

Baca juga: Mantan Mendikbud Optimistis Nadiem Ciptakan Terobosan di Kemendikbud

Pengelolaan guru

Sekjen FSGI, Heru Purnomo menilai seharusnya ada semacam grand design yang dibuat oleh Kemdikbud untuk pengelolaan guru, mulai dari rekrutmen mahasiswa calon guru di LPTK.

Heru menyarankan agar Mendikbud menata ulang kembali keberadaan LPTK dan FKIP yang tidak bermutu yang tersebar di seluruh Tanah Air, termasuk membenahi kurikulum pendidikan di LPTK agar sesuai kebutuhan dan perkembangan teknologi.

Saat ini, potret LPTK di Indonesia dinilai memprihatinkan. menurut data Kemristekdikti dari 421 LPTK (2016), yang terakreditasi A (hanya 18 LPTK), akreditasi B (81 LPTK), sisanya akreditasi C, dan belum diakreditasi.

"Ke depan pemerintah harus memperketat, bahkan kalau perlu memoratorium pembukaan prodi-prodi pendidikan yang baru. Bahkan kami mendorong pemerintah mewujudkan UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 23 ayat 1," ucap Heru.

Heru menambahkan, pemerintah juga harus mampu menyiapkan serta mendistribusikan para guru sehingga persoalan guru di daerah terluar, tertinggal, dan terdepan terpenuhi.

Tak hanya itu, Kemdikbud harus mendorong membangun sinergisitas, dan koordinasi yang konstruktif dengan Kemendagri dan Pemerintah Daerah, khususnya dalam penganggaran APBD dalam pendidikan.

 
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi