Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Soeratin Sosrosoegondo, Ketua Umum Pertama PSSI, Insinyur Pencinta Sepak Bola...

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS/TOTO SIHONO
Ketua Umum Pertama PSSI SOeratin Sosrosoegondo saat Kongres PSSI pada 1938
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com – Tahukah Anda, siapa Ketua Umum pertama Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI)?

Dia adalah Soeratin Sosrosoegondo.

Soeratin Sosrosoegondo menjadi ketua pertama PSSI pada masa-masa awal berdirinya organisasi ini, yakni 19 April 1930.

Soeratin menjabat untuk masa waktu 10 tahun, sejak 1930-1940.

Selain ketua pertama, pria kelahiran Yogyakarta, 17 Desember 1898 ini juga merupakan salah satu pendiri PSSI.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mari mengenal lebih jauh sosok Soeratin.

Seorang insinyur

Soeraton adalah anak dari seorang guru dan pengarang buku bernama R. Soesrosoegondo.

Kemudian ia menikahi R.A. Srie Woelan yang merupakan adik kandung Dr. Soetomo, tokoh utama pendiri organisasi Budi Utomo.

Soeratin merupakan seorang insinyur sipil yang menyelesaikan pendidikannya di sebuah sekolah tinggi teknik di Heckelenburg, Jerman pada tahun 1927.

Baca juga: Indra Sjafri Harap Ketum PSSI Baru Hasil KLB Konsisten Memimpin

Sebelumnya, ia mengenyam pendidikan di Koningen Wilhelmina School (KWS) selama 5 tahun.

Dikutip dari laman resmi PSSI, setahun setelah menyelesaikan pendidikan di KWS, Soeratin kembali ke Indonesia dan bekerja di sebuah perusahaan bangunan milik Belanda di Yogyakarta, Sizten en Lausada.

Dia menjadi satu-satunya orang Indonesia yang duduk di posisi tinggi sejajar komisaris dalam perusahaan itu, bersanding dengan orang-orang dari bangsa lain.

Selama bergabung di sana, Soeratin sempat terlibat dalam proyek pembangunan gedung dan jembatan di Tegal, Jawa Tengah dan Bandung, Jawa Barat.

Tidak lama bekerja di perusahaan tersebut, Soeratin aktif di ranah pergerakan.

Gagas pembentukan organisasi sepak bola

Kegemarannya akan sepak bola dan kecintaannya terhadap Tanah Air mendorongnya untuk menjadikan olahraga itu sebagai media pemersatu kaum muda Indonesia.

Kala itu, untuk menentang kolonialisme Belanda yang masih terjadi.

Berlandaskan semangat Sumpah Pemuda, ia bergerak secara diam-diam untuk bertemu dengan sejumlah tokoh di bidang sepak bola di beberapa kota seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, dan Solo.

Pergerakan diam-diam ini dimaksudkan untuk menghindari sergapan Polisi Belanda (PID).

Pembicaraan mengenai perlunya membentuk sebuah organisasi sepak bola nasional dimatangkan saat Soeratin bertemu dengan Ketua Voetbalbond Indonesische Jakarta (VIJ) Soeri di Hotel Binnenhof di kawasan Kramatjati, Jakarta.

Baca juga: Menaruh Harap pada Kongres Luar Biasa PSSI

Di kota-kota lainnya, Soeratin bertemu dengan sejumlah tokoh pergerakan yang dilakukan menggunakan jasa kurir, lagi-lagi dalam upaya menghindari sergaan PID.

Singkat cerita, pada 19 April 1930, tokoh-tokoh dari sejumlah organisasi sepak bola daerah berkumpul di Yogyakarta.

Organisasi itu adalah VIJ, Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond (BIVB), Persatuan Sepak Bola Mataram Yogyakarta (PSM), Vortendlandsche Voetbal Bond Solo (VVB), Madionsche Voetbal Bond (MVB), Indonesische Voetbal Magelang (IVBM), dan Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB).

Pada saat itulah PSSI pertama kali terbentuk.

Ketika itu, PSSI merupakan singkatan dari Persatoean Sepak Raga Seloeroeh Indonesia.

Hingga kemudian disepakati "Sepak Raga" diubah menjadi "Sepak Bola" dalam Kongres PSSI di Solo tahun 1930.

Pada kongres itu, Soeratin juga ditetapkan sebagai ketua umum PSSI.

Setelah itu, mulai tahun 1931, PSSI menyelenggarakan kompetisi sepak bola yang mempertemukan klub-klub dari daerah di Indonesia secara rutin.

Sebagai seorang yang memiliki jasa dalam terbentuknya PSSI, nama Soeratin hingga saat ini masih dikenang dalam dunia persebakbolaan nasional, yakni dijadikan nama trofi dalam kompetisi bola junior nasional.

Ya, Piala Suratin.

Akhir hidup Soeratin

Namun, di akhir masa hidupnya Soeratin harus berjuang dalam sakit dan kemiskinan yang membelenggunya.

Dikutip dari Harian Kompas edisi 8 Juli 2006, Suratin tinggal di rumah berdiding anyaman bambu berukuran 4x6 meter di Jalan Lombok, Bandung.

Kediamannya sempat diobrak-abrik oleh Belanda karena ia aktif sebagai anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan pangkat Letnan Kolonel.

Ia akhirnya meninggal pada tahun 1959, karena tidak lagi mampu menebus obat untuk sakit yang dideritanya.

Tak ada yang ditinggalkan selepas kematiannya, selain PSSI, organisasi yang ia dirikan atas dasar cinta kepada Indonesia.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi