Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah "Layangan Putus" dan Perdebatan Pelakor, Bukti Masyarakat Masih Bias Gender

Baca di App
Lihat Foto
Ilustrasi selingkuh
|
Editor: Resa Eka Ayu Sartika

KOMPAS.com - Banyak kasus perselingkuhan yang muncul akhir-akhir ini memunculkan fenomena baru yakni pelakor atau perebut laki orang.

Fenomena ini terus ada bahkan sering menuai perhatian dari khalayak. Dalam beberapa hari ini, fenomena tersebut kembali mencuat saat kisah seri berjudul Layangan Putus menghiasi lini masa media sosial warganet di Indonesia.

Dalam kisah itu, disebutkan rumah tangga sepasang suami istri yang telah berjalan selama delapan tahun harus kandas karena adanya orang ketiga.

Pembahasan mengenai Layangan Putus tersebut kemudian membuat warganet bertanya-tanya siapa sebenarnya orang di balik cerita itu. Mereka mulai mencari identitas asli hingga akun media sosial para pelakon.

Berbagai macam hujatan diberikan kepada wanita yang dianggap menjadi orang ketiga dalam kisah itu atau disebut pelakor. Bahkan beberapa orang bahkan mengklaim menemukan pelaku asli hingga akun media sosialnya.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Kisah Layangan Putus, Kenapa Orang yang Sudah Menikah Selingkuh?

Dengan viralnya kisah tersebut, akun media sosial yang disinyalir menjadi milik dari para pemeran aslinya pun mulai penuh dengan hujatan warganet dan terpaksa harus menutup kolom komentarnya.

Pembahasan ini menjadi trending di media sosial. Bahkan pada pencarian Twitter Indonesia, tagar #LayanganPutus memuncaki daftar terpopuler dengan total 11.600 tweet pada Senin (4/11/2019) siang.

Adapun sebagian besar dari pembahasan tersebut meliputi kisah, pelaku, dan sebutan pelakor yang buah bibir. Perlakuan yang diterima oleh perempuan yang disebut sebagai pelakor tersebut menimbulkan keresahan.

Pengurus organisasi perlindungan perempuan Rifka Annisa, Harti Muchlas mengatakan, pelabelan kata pelakor kepada satu orang seolah-olah menimpakan kesalahan perselingkuhan pada perempuan semata.

"Padahal belum tahu juga posisi masalahnya seperti apa," ucap Harti menjawab Kompas.com, Senin (4/11/2019).

Bukan hanya Harti, ahli linguistik Nelly Martin memiliki pandangan serupa. Dalam salah satu artikel yang tayang di laman The Conversation pada 23 Februari 2018, istilah pelakor secara sosiolinguistik berpihak pada laki-laki dan dan meminggirkan perempuan.

Lebih dari itu, istilah pelakor biasanya hanya berdiri sendirian tanpa ada istilah lain yang memasukkan peran laki-laki di dalamnya.

Baca juga: Cerita Layangan Putus, Mungkinkah Pasangan Selingkuh Meski Seks Memuaskan?

Dengan adanya istilah ini, Nelly berpendapat, masyarakat menujukkan bias negatif terhadap perempuan. Adapun dalam kasus perselingkuhan, masyarakat masih menerapkan bias gender.

Senada dengan Nelly, Harti juga mengatakan, munculnya istilah pelakor ini merupakan pesoalan budaya masyarakat yang masih menempatkan perempuan sebagai penjaga moral.

"Dan memberikan privilege pada laki-laki berupa pemakluman kalau terjadi peristiwa seperti itu," ucap dia.

Budaya masyarakat yang masih bias gender ini, menurut Harti, diajarkan lewat media termasuk iklan, sinetron, dan film.

Tak hanya itu, dia juga berpendapat, jika budaya masyarakat yang masih meminggirkan perempuan juga bisa datang dari tafsir agama yang bias gender pula.

Dengan kata lain, hal-hal tersebut juga memengaruhi persepsi masyarakat khususnya dalam memandang fenomena perselingkuhan.

Hal ini rentan menimbulkan penghukuman terhadap sosok yang dianggap merebut laki-laki dalam rumah tangga. Sedangkan, peran laki-laki dalam persoalan perselingkuhan dibiarkan bebas.

Sosok yang dianggap pelakor tersebut kemudian rentan mendapatkan perundungan dan hukuman yang tidak manusiawi dari masyarakat.

"Lihat aja para netizen kalau berkomentar di sosmed," ucap Harti.

Wanita yang pernah menjabat sebagai Direktur Rifka Annisa ini menyebutkan, fenomena penghukuman massal kepada perempuan yang dianggap sebagai pelakor tak hanya merupakan akibat dari pandangan masyarakat yang masih bisa gender.

Tetapi juga didukung oleh literasi bermedia sosial yang masih buruk. Selain itu, pandangan ini juga bisa disebabkan karena masyarakat mudah menelan informasi tanpa mengecek sumber dan kebenarannya terlebih dahulu.

Baca juga: Menalar Fenomena ?Pelakor?, Ketika Perempuan Bertikai dengan Perempuan

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi