Wahai, penguasa dunia yang fana!
Wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta!
Apakah masih buta dan tuli di dalam hati?
Apakah masih akan menipu diri sendiri?
Apabila saran akal sehat kamu remehkan
berarti pintu untuk pikiran-pikiran kalap
yang akan muncul dari sudut-sudut gelap
telah kamu bukakan!
Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi
Airmata mengalir dari sajakku ini.
KOMPAS.com - Penggalan puisi tersebut merupakan bagian puisi WS Rendra yang berjudul "Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia".
Puisi tersebut digubah pada 17 Mei 1998 dan dibacakan oleh Rendra di DPR keesokan harinya.
Hari ini 84 tahun lalu, "Si Burung Merak" WS Rendra lahir pada 7 November 1935.
Ia merupakan salah satu sastrawan Indonesia yang kerap melontarkan kritikan terhadap pemerintah melalui karyanya.
Tak hanya itu, banyak dari karya Rendra menjadi saksi atas nasib rakyat.
Puja puji dan caci maki pernah mewarnai kehidupannya sebagai seorang sastrawan.
Baca juga: 10 Tahun Berpulangnya WS Rendra, Mengenang Karya dan Sosoknya...
Masa Kecil
Rendra lahir dengan nama Willibrordus Surendra Broto Rendra. Ayahnya merupakan seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa, sedangkan ibunya adalah penari Keraton Surkarta Hadiningrat.
Ia menghabiskan masa kecilnya itu di kota kelahirannya hingga menginjak masa remaja.
Puisinya pertama kali dipublikasikan di media massa pada tahun 1952 di majalah Siasat.
Ketika duduk di bangku SMA, Rendra berhasil mendapat penghargaan dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia setelah mementaskan drama "Orang-orang di Tikungan Jalan".
Baca juga: Adnan Buyung Nasution hingga WS Rendra Terima Penghargaan Pejuang Kemanusiaan
Kehidupan Seni
Sejak saat itu, Rendra semakin gemar menuliskan sejumlah karyanya, seperti "Ballada Orang-orang Tercinta" (1960) dan "Rendra: 4 Kumpulan Sajak (1961).
Dikutip dari Harian Kompas, 23 Agustus 1967, Rendra mendapat kesempatan untuk belajar drama di American Academy of Dramatic Art pada tahun 1964-1966.
Akademi tersebut telahirkan aktor-aktor kenamaan waktu itu, seperti Lauren Bacall, Grace Kellly, Jennifer Jones, Spencer Tracy, Kirk Douglas, Robert Cummings, Edward G Robinson dan Pat O'Brein.
Selain mempelajari drama, Rendra juga mendapat kesempatan belajar gerak indah dan latihan improvisasi di Jean Erdman's School of the Dance.
Baca juga: Penyair Semarang dan Kendal Mengenang WS. Rendra
Di Amerika, ia menuliskan puisi sebagai respon atas kejadian di Jakarta, yaitu "Bersatulah Pelacur-pelacur Jakarta".
Rendra merasa murka karena para pelacur dianggap sebagai sumber kebobrokan masyarakat.
Setelah pulang ke Indonesia, ia mendirikan Yayasan Teater di Yogyakarta beserta Bakdi Sumanto, Arief Budiman, dan Gunawan Mohammad pada 30 Oktober 1967.
Yayasan tersebut bertujuan untuk mendirikan sebuah akademi seni drama dan mengadakan pagelaran-pagelaran sandiwara, seperti dikutip dari Harian Kompas, 2 November 1967.
Baca juga: Berkaca pada Puisi Rendra
Bagi Rendra, seni tak hanya berhenti pada bentuk estetik, tetapi menjadi seuran hati nurani yang berfungsi kritis.
Problem-problem sosial pun banyak tercermin dalam puisi-puisi Rendra.
"Mungkin karena pelajaran sosiologi yang saya terima di Amerika Serikat. Atau mungkin karena hidup sosial saya yang makin mendesak," kata Rendra saat ditanya alasannya mengangkat problem sosial, dikutip dari pemberitaan Harian Kompas, 19 April 1969.
"Sebagai penyair, saya hanya tahu mengumpat ke kiri ke kanan," sambungnya.
Represi terhadap Rendra
Akibat prinsip seni yang ia pegang itu membawa konsekuensi besar bagi Rendra dan kelompoknya.
Saat mementaskan Mastodon di Universitas Gadjah Mada tahun 1974, pementasannya diberangus oleh rektor, seperti dikutip dari Harian Kompas, 8 Agustus 2009.
Baca juga: 21 Mei 1998, Saat Soeharto Dijatuhkan Gerakan Reformasi...
Saat pementasan akan dipindahkan ke Institut Teknologi Bandung, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro bahkan merasa perlu berunding dengan Rendra.
Tak hanya itu, Rendra juga pernah dipanggil ke Komdak (Komando Daerah Kepolisian) Metro Jaya dan ditahan selama enam bulan pada tahun 1978.
Pangkopkamtib Laksamana Sudomo, waktu itu, tidak pernah menyangkal Rendra ditahan dengan tuduhan telah menyebarkan hasutan yang dapat menyebabkan orang lain berbuat melawan hukum.
Penangkapan dan pemberangusan pentas-pentas Rendra pun menempatkan dirinya sebagai oposisi pemerintah Orde Baru.
Akhir Hidup
Sebelum meninggal dunia, WS Rendra telah dirawat selama satu bulan akibat serangan jantung koroner di sejumlah rumah sakit.
Sebelum meninggal, peraih SEA Write Award 2008 dari Raja Thailand itu mengucap kata terakhir kepada istrinya, Ken Zuraida, bahwa dirinya mengaku sangat bahagia.
Kata-kata itu diucapkan Rendra sekitar pukul 20.00. Menurut Ken, setelah itu tangan Rendra terasa sangat dingin dan gemetar.
Padahal, sebelumnya Rendra sangat ceria dan bercerita banyak.
"Ia bercerita satu jam lebih, seperti tak bisa dihentikan. Itulah kata-kata terakhirnya, ia sangat bahagia," kata Ken, dikutip dari pemberitaan Harian Kompas, 8 Agustus 2009.
Rendra menghembuskan nafas terakhirnya pada 7 Agustus 2009 di Rumah Sakit Mitra Keluarga, Depok.
Rendra di Mata Sastrawan Lain
Sutardji Calzoum Bachri menyebut Rendra sebagai penyair besar dengan karya besar.
Menurutnya, banyak seniman punya karya besar, tetapi tidak memiliki kepribadian besar.
Sementara itu, penyair Sapardi Djoko Damono menganggap Rendra sebagai "tukang kata" yang telah menyihir dirinya untuk memasuki dunia sunyi seorang penyair.
Baca juga: Sapardi Djoko Damono Ikut Main Film Hujan Bulan Juni
"Ia telah meyakinkan saya untuk bisa dihayati penyair tak boleh berlindung di balik bahasa yang ruwet, hanya dengan demikian kata bisa unggul dari bedil," kata Sapardi, dikutip dari Harian Kompas, 7 Agustus 2009.
Sumber: Harian Kompas