Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sepak Terjang Ruhana Kuddus, Penerima Gelar Pahlawan Nasional 2019

Baca di App
Lihat Foto
Dok. Wikipedia
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo hari ini dijadwalkan akan memberikan gelar pahlawan nasional kepada Ruhana Kuddus, jurnalis perempuan pertama Indonesia asal Sumatera Barat (Sumbar).

Selain jurnalis, Ruhana juga tercatat sebagai pejuang dan pemberdaya perempuan di tanah kelahirannya, Kota Gadang.

Bersama Dewi Santika, Ruhana pernah mendirikan sekolah untuk perempuan.

Pengusulan Ruhana Kuddus sebagai pahlawan nasional sebenarnya telah dilakukan sejak 2018 lalu, tetapi baru diangkat pada tahun ini.

Kepala Dinas Sosial Sumbar Jumaidi mengatakan, pihaknya telah menerima surat undangan dari Kementerian Sosial yang ditujukan kepada Gubernur Sumbar Irwan Prayitno untuk menghadiri penganugerahan tersebut pada Jumat (8/11/2019).

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lantas, siapakah Ruhana Kuddus?

Kehidupan Awal

Ruhana Kuddus lahir pada 20 Desember 1884 di Kota Gadang, Kecamatan Ampek Koto, Kabupaten Agem, Sumatera Barat.

Emil Salim dalam artikel "100 Tahun Pemberdayaan Perempuan" yang dimuat di Harian Kompas, 21 April 2011 menyebutkan, Ruhana sejak kecil tumbuh di lingkungan berpendidikan.

Ayahnya, Muhammad Rasyad Maharajja Sutan merupakan seorang Hoofd Jaksa yang rumahnya dijadikan sebagai tempat sekolah, bermain, membaca buku, majalah, dan surat kabar.

Karenanya, sejak kecil kecil Ruhana mampu berbicara dan menulis dalam bahasa Melayu dan Belanda.

Saat pergi merantau bersama ayahnya, Ruhana mulai bersentuhan dengan dunia luar yang memperkenalkannya dengan berbagai ketrampilan dan kerajinan tangan.

Baca juga: 4 Oktober 1965, 7 Jenazah Pahlawan Revolusi Dievakuasi dari Sumur Lubang Buaya

Menikah

Di tahun 1908, Ruhana menikah dengan Abdoel Koeddoes, seorang notaris, penulis, dan aktivis pergerakan.

Bersama suaminya, Ruhana semakin bersemangat belajar dan mendidik kaum perempuan Kotagadang.

Namun, apa yang dilakukan oleh Ruhana itu justru dianggap telah merusak budi pekerti perempuan Kota Gadang.

Kehidupan sosial Minangkabau yang memberlakukan sistem matrilineal, pewarisan dan kepala keluarga mengikuti garis keturunan ibu dan disandingkan dengan ajaran Islam menumbuhkan pola kehidupan sosial yang sangat protektif terhadap perempuan.

Oleh karena itu, Ruhana dan suaminya terpaksa meninggalkan Kota Gadang dan merantau ke Padang Panjang dan Maninjau.

Di Minanjau, Ruhana mendalami agama dan mempelajari kedudukan perempuan dalam Islam kepada ayah Buya Hamka, Buya Syekh Abdul Karim bin Amrullah.

Baca juga: Daftar Kekerasan Terhadap Jurnalis Saat Meliput Aksi Demo Mahasiswa

Memperjuangkan Perempuan

Saat tengah menjalani masa merantau itu, Ruhana diketahui pulang ke kampung halamannya untuk mendirikan perkumpulan perempuan.

Diberitakan Harian Kompas, 11 Februari 2011, Ruhana yang saat itu berusia 27 tahun memimpin sebuah pertemuan yang dihadiri oleh 60 perempuan, empat orang ninik-mamak dan ulama.

Pertemuan tersebut menyepakati dibentuknya "Perkumpulan Karadjinan (PK) Amai Satia" yang bertujuan untuk memajukan perempuan Kotagadang dalam berbagai aspek kehidupan yang diketuai oleh Ruhana.

PK Amai Setia pun mulai bergerak dengan membangkitkan semangat pemberdayaan perempuan Minangkabau serta membekali mereka dengan ilmu dan ketrampilan.

Jurnalis

Selain memimpin PK Amai Satia, Ruhana juga diminta untuk menjadi penulis tetap yang kemudian menjadi Pemimpin Redaksi Sunting Melayu, sebuah surat kabar perempuan.

Hal itu membuat namanya tercatat dalam sejarah sebagai perempuan pertama Indonesia yang memimpin surat kabar.

Melalui surat kabar itu, Ruhana dan PK Amai menarik perhatian pemuka Belanda di Batavia (Jakarta).

Mereka kemudian mengundang Ruhana untuk ikut serta dalam Pameran Internasional di Belanda untuk menunjukkan kreativitas hasil kerajinan tangan dari perempuan Kota Gadang yang fasih berbahasa Belanda.

PK Amai pun tercatat telah mendapat sejumlah penghargaan, seperti Bronzen Ster (1941) dan Penghargaan Upakarti dari Presiden Soeharto (1987), dan Penghargaan Kebudayaan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (2007).

Baca juga: Mengenal Jabatan Wakil Panglima TNI yang Kembali Dihidupkan Jokowi

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi